Bocah Tanpa Pusar eps 1

Discussion in 'Creative Art & Fine Art' started by cerita-silat, Dec 12, 2014.

  1. cerita-silat

    cerita-silat Member

    Joined:
    Dec 7, 2014
    Messages:
    292
    Likes Received:
    6
    Trophy Points:
    18
    Google+:
    PARA penduduk mulai cemas mendengar suara
    gemuruh di kejauhan. Mereka segera keluar dari
    rumah masing-masing dan memandang puncak
    gunung. Jauh di sana bertengger puncak gunung tinggi
    yang dinamakan mereka Gunung Cadas Geni.
    Warnanya putih keabu-abuan.
    Biasanya puncak gunung itu tampak jelas dari Desa
    Kilangan. Sekarang tampak buram. Ada kabut hitam
    menutupinya dan langit di atas puncak berwarna
    gelap.
    Ada api menyembur dari dalam puncak, dan suara
    gemuruh terdengar lagi.
    "Celaka Kita akan dilanda musibah," ujar lelaki
    setengah umur.
    "Kita harus cepat mengungsi. Sebentar lagi desa kita
    akan disapu lahar panas. Gunung Cadas Geni mau
    meletus Cepat" teriak tetangganya.
    "Apa? Gunung meletus? Siapa suruh?" tanya istrinya.
    "Mana aku tahu? Aku tidak pernah menyuruhnya
    Cepat kemasi barang. Jangan banyak tanya"
    "ly... iya.... Baik. Baik..." sang istri gugup. Barang
    dikemasi. Apa yang bisa dibawa, dibawanya. Yang
    tidak bisa dibawa berusaha dibawanya pula.
    "Kumpulkan anak kita"
    "Ada berapa ya?" gumam sang istri dengan linglung.
    Mungkin karena panik. Sebab di luar rumah orang-
    orang juga panik. Mereka saling teriak.
    "Cepat mengungsi Cepat pindah... Gunung itu akan
    meletus Cepat cari tempat yang aman Hoi, hoi...,
    jangan bengong saja kamu Cepat pergi dari sini"
    Ada juga suara lain yang berseru, "Baju hitamku ke
    mana, Mak?"
    "Jangan urusi baju hitam, Tong Cepat bantu Emak
    kemasi barang"
    "Barangku ada di mana, Mak?"
    "Husy Jangan pikir barangmu sendiri. Urus juga
    barangnya Emak itu, Tong"
    "Barang Emak kan sudah diurus Bapak"
    Suara kentongan berbunyi. Waktu itu, bunyi
    gemuruh terdengar yang ketiga kalinya. Tanah
    berguncang makin jelas. Gayung di cantelan sempat
    jatuh. Daun pohon rontok sebagian. Genteng di
    pojokan rumah melorot tiga. Jatuh. Mengenai kepala
    anak kecil.
    Anak itu menangis keras-keras. Bapaknya keluar
    dengan berang melihat kepala anaknya bocor dan
    berdarah.
    "Kurang ajar Siapa yang melempar kepala anakku
    sampai bocor begini, hah? Mau mengungsi malah bikin
    perkara saja"
    Para penduduk menghambur keluar dari rumah.
    Barang-barang dirakit. Siap dibawa pergi. Gulungan
    tikar, kendil, anak kambing, diikat dijadikan satu.
    Gayung sumur, ember timbaan, nasi jagung, singkong
    rebus, dibungkus dijadikan satu. Kepanikan demi
    kepanikan berlangsung. Mereka bersimpang siur. Ada
    yang saling tabrak dan saling caci sendiri.
    Ada yang berteriak-teriak memanggil istrinya, takut
    ketinggalan. Ada yang berteriak-teriak mencari
    anaknya, takut hilang. Ada yang berteriak-teriak
    menarik anjingnya, takut disembelih orang. Ada yang
    berteriak-teriak memanggil neneknya, takut tertukar
    kambing bandot.
    Gaduh dan riuh desa itu. Tapi toh masih ada yang
    tidak menghiraukan suasana. Seorang bocah duduk di
    atas punggung kuda. Ia sedang belajar menunggang
    kuda. Bocah itu tertawa-tawa. Seorang lelaki gemuk
    yang dipanggilnya Paman Dubang berlari-lari di
    samping kuda merah kecoklatan.
    "Jangan kencang-kencang menarik talinya, Suto"
    seru Paman Dubang kepada anak di atas kuda. Ia
    tampak cemas. Takut jadi terbalik, kuda di atas anak
    itu.
    "Paman... Bagaimana cara menghentikannya"
    "Kencangkan talinya" sambil si paman masih berlari-
    lari di samping kuda. "Lekas kencangkan talinya"
    "Baik, baik... Baik, Paman" Anak itu agak cemas, Ia
    buru-buru mengencangkan tali celananya. Paman
    Dubang membentak, "Bukan tali celanamu, Suto Tapi
    tali kekang kuda. Tarik ke belakang supaya berhenti"
    "O, baik. Baik..." . Tali kekang kuda ditarik. Kuda
    meringkik. Kaki depannya naik. Bukan karena tarikan
    tali kekang, tapi karena suara gemuruh dan
    guncangan tanah tadi. Rupanya kuda juga takut
    dengan tanda-tanda gunung akan meletus.
    "Paman Bagaimana ini?"
    "Kendorkan talinya"
    "Sudah."
    "Tarik lagi jangan disentak."
    Tali ditarik lagi. Tidak disentak. Tapi kuda meringkik.
    Kakinya naik lagi. Tinggi. Sampai bocah yang bernama
    Suto itu tersentak ke belakang. Bluukk... Ia jatuh.
    "Aaauuuh..." teriaknya kesakitan. Paman Dubang
    segera menolongnya sambil menggerutu.
    "Tadi sudah Paman pesan, jangan sampai jatuh.
    Kepalamu bisa bonyok kalau begini caranya. Ayo,
    bangun Lekas bangun."
    "Baik, Paman"
    "Kamu harus bisa menunggang kuda. Jangan sampai
    kuda yang menunggang kamu"
    "Kudanya nakal, Paman Cari kuda betina saja."
    "Husy Kamu masih kecil. Tidak boleh menunggang
    kuda betina. Belum akil balik kok sudah mau cari
    kuda betina? Kuda jantan saja Ayo, lekas... naik lagi
    ke punggung kuda."
    Suto terpacu semangatnya, ia bergegas naik ke
    punggung kuda lagi. Paman Dubang berteriak, "Hoii...
    Jangan lewat ekornya Lewat samping"
    "Bantu aku naik, Paman"
    Paman Dubang membantu Suto. Pantat Suto
    didorong naik. Kaki anak itu melangkahi pelana. Pada
    saat itu, gemuruh dan guncangan tanah yang kedua
    terdengar oleh sang kuda. Rupanya sang kuda
    menjadi takut, ia kembali mengangkat kaki depannya
    sambil meringkik. Suto nyaris jatuh lagi.
    "Paman, Paman... Awas..."
    "Pegang tali kekangnya" sentak Paman Dubang
    dengan jengkel.
    Suto memegang tali kekang dengan kaki belum
    sempurna melangkah. Sang kuda semakin kaget dan
    berlari dalam sentakan awal.
    "Hati-hati, Paman" Suto segera berseru.
    "Diamlah Paman sedang kebingungan" Rupanya
    Paman Dubang ikut terbawa lari. Kaki kirinya terseret-
    seret, ia menjadi panik dan gugup. Pelana dipakai
    gelantungan. Pundaknya mendorong Suto. Anak itu
    bisa duduk di pelana. Tapi tangan Paman Dubang
    tertindih pantatnya, "Jangan kau duduki tangan
    Paman, Suto"
    "Habis aku duduk di mana?"
    "Agak maju sedikit, biar tangan Paman bebas.
    Aduh, kaki Paman terseret-seret. Bagaimana ini?"
    "Ya bagaimana? Paman kan pawang kuda.
    Hentikanlah, Paman"
    "Susah, Tolol" sentak lelaki gemuk pendek itu.
    Kuda tetap berlari dengan liar. Suaranya meringkik-
    ringkik bagaikan tawa perawan di malam pengantin.
    Paman dan Suto sama-sama tegang. Sama-sama
    kebingungan. Akhirnya sama-sama terbawa oleh
    kuda ke arah kesibukan para penduduk yang siap-
    siap mengungsi. "Lihat, Suto... Gara-gara kamu tak
    becus mengendalikan kuda, para penduduk menjadi
    panik begini" kata Paman Dubang.
    "Oh, maaf, Paman," bocah itu matanya jelalatan ke
    mana-mana. Memandang tiap orang dengan
    kesibukannya masing-masing.
    Kuda meringkik lagi semakin keras, semakin
    kencang larinya. Bahkan kali ini melompat tinggi.
    Seorang nenek yang bingung mencari tusuk kondenya
    yang jatuh di tanah, dilompati oleh kuda itu. Sang
    nenek terkejut dan terkesima dengan mulut melongo.
    "Burung apa itu tadi?" gumamnya dengan bingung.
    Kuda disangka burung. Tapi siapa yang tahu
    gumaman sang nenek, kecuali nenek itu sendiri.
    Paman Dubang masih terseret-seret. Kuda semakin
    beringas. Lari sana lari sini. Akhirnya Paman Dubang
    ketakutan dan berteriak keras-keras.
    "Tolooong... Tolooong... Tolong hentikan kuda ini..."
    Tentu saja orang-orang tak menghiraukan. Tak ada
    yang datang menolong. Semua panik dengan upaya
    menyelamatkan diri sendiri-sendiri.
    Di saat itulah, tak lama kemudian muncul seorang
    lelaki tua. Dia adalah sesepuh kampung tersebut. Dia
    hanya sesepuh, bukan kepala desa. Tubuhnya berdiri
    di sebuah tempat tinggi dan berseru.
    "Tenang Tenang Jangan panik, Saudara-saudara"
    Suara sesepuh itu didengar oleh penduduk. Mereka
    mulai berhenti berlarian. Mereka berkumpul di depan
    sesepuh itu. Pada saat yang sama, kuda yang
    ditunggangi Suto dan Paman Dubang menabrak
    sebuah kedai yang telah kosong penghuninya. Bruss...
    Braaak...
    Semua mata jadi memandang ke arah kedai
    bernasib malang itu. Salah seorang ada yang berseru.
    "Hoi, ada sesepuh mau bicara kok malah main kuda-
    kudaan"
    Suto meringis menahan sakit. Tubuhnya tersangkut di
    tiang atas kedai. Paman Dubang merintih kesakitan.
    Tubuhnya jatuh di atas meja bertindih patahan tiang
    atap. Ia berusaha bangkit begitu melihat kaki Suto
    bergelantungan di atas. Kemudian ia bergegas
    menolong bocah itu untuk turun dari atap. Tapi Suto
    menolak, kakinya menjejak-jejak.
    "Biar. Biar, Paman. Aku bisa turun sendiri."
    Suto pun melompat turun. Huuhp...
    Braak... ,
    "Aaauh..." teriak Paman Dubang. Suto jatuh di meja,
    mejanya patah dan menjatuhi kaki Paman Dubang.
    Tentu saja Paman Dubang menjerit. Seseorang
    kembali menyentak.
    "Hooi... Disuruh diam dan tenang kok malah terbahak-
    bahak"
    "Terbahak-bahak apanya? Kakiku sakit" bantah Paman
    Dubang. Suto hanya cekikikan geli.
    Mereka segera bergabung dengan kerumunan orang
    di depan sesepuh. Kemudian terdengar suara sesepuh
    berkata, "Saudara-saudara, warga Desa Kilangan,
    kuharap kalian tidak menjadi panik dan jangan salah
    langkah. Gunung Cadas Geni itu tidak akan meletus.
    Jadi kalian tidak perlu panik dan mencari tempat
    untuk mengungsi. Kembalilah ke rumah kalian
    masing-masing.
    Gunung itu tidak akan meletus"
    "Tapi kok mengeluarkan semburan api?"
    "Dan juga bergemuruh, Pak Tua"
    "Betul. Sudah tiga kali kami mendengar gemuruhnya."
    "Itu sebuah pertanda akan ada bahaya di desa kita
    ini. Akan ada bencana, tapi bukan bencana alam,"
    jawab sesepuh desa berusaha menenangkan
    rakyatnya.
    "Masa begitu?"
    "Betul. Dari zaman buyutku hidup di tanah Desa
    Kilangan ini, gunung itu tidak pernah meletus. Tapi jika
    desa ini akan terserang wabah, misalnya, maka
    gunung itu memberikan tanda. Menyemburkan api
    dan asap hitam tiga kali, mengeluarkan bunyi
    gemuruh yang mengguncangkan bumi, tiga kali."
    "Ooo... jadi bukan mau meletus, ya Pak Sepuh?"
    tanya seseorang.
    "Tidak. Jangan takut. Cuma kalian harus waspada.
    Jaga diri kalian baik-baik. Jaga keluarga kalian baik-
    baik. Tetaplah bersatu dan gotong-royong jika terjadi
    sesuatu secara tiba-tiba"
    Kepala mereka manggut-manggut. Mulut mereka
    melongo mengeluarkan gumam. Kemudian terdengar
    kasak-kusuk seperti serombongan lebah bergaung.
    Mereka mulai melangkah menuju rumah mereka
    masing-masing. Sedangkan Suto mendesak Paman
    Dubang untuk melangkah mencari kudanya. Toh
    gemuruh gunung tersebut memang berhenti. Tidak
    menyemburkan asap dan api lagi. Tidak terasa ada
    guncangan tanah kembali. Gunung itu tenang, hati
    masyarakat desa pun jadi lapang.
    Tapi beberapa saat kemudian, suara gemuruh itu
    datang lagi. Orang-orang yang telah tenang menjadi
    tegang kembali. Mereka keluar dari rumah saling
    pandang dalam keheranan. Suara gemuruh itu
    disimak baik-baik. Mata mereka menatap ke puncak
    gunung.
    Salah seorang berseru, "Bukan suara gunung"
    "Ya, sepertinya suara gemuruh kaki kuda."
    "Betul. Makin lama semakin dekat suaranya."
    Seorang lelaki tua terbatuk-batuk. Lengannya ditepuk
    oleh istrinya, "Jangan berisiklah... Kita sedang
    menyimak suara gemuruh itu. Kamu kok malah
    bergemuruh sendiri"
    "Batuk. Aku batuk," kata suaminya yang tua.
    "Iya. Batuk ya batuk. Tapi nanti saja, kalau kita sudah
    yakin suara apa yang bergemuruh itu"
    Lelaki tua itu bergegas masuk ke rumah sambil
    menggerutu, "Orang mau batuk kok disuruh
    menunda..."
    Gemuruh itu memang kian mendekat. Kemudian
    mata mereka memandang ke arah batas desa.
    Tampak samar-samar sesuatu yang bergerombol
    bergerak maju.
    Kian lama kian jelas. Mereka kian paham bahwa ada
    serombongan orang berkuda mendatangi desa
    mereka.
    Bertambah dekat bertambah jelas. Orang-orang
    penunggang kuda itu memiliki wajah garang, buas,
    menyeramkan dan tampak keji-keji. Jumlah mereka
    ada tiga belas orang. Semua menunggang kuda.
    Semua bersenjata. Sepertinya siap tempur.
    Salah seorang yang menjadi ketua mereka
    mengangkat tangan mengepal. Kuda-kuda itu
    berhenti.
    Tapi kudanya sendiri keterusan. Akhirnya berhenti
    agak jauh dari rombongan anak buahnya. Mata orang
    itu menatap liar di sekelilingnya. Kudanya bergerak
    pelan mendekati rombongan. Sambil begitu, orang
    tersebut berseru kepada penduduk yang melongok
    dari pintu rumah, atau yang tersembunyi mengintip
    dari celah dinding papan, atau yang bersembunyi di
    balik batang pohon, termasuk kepada anak kecil yang
    bersembunyi di balik sarung bapaknya.
    "Mana Ronggo Wiseso...?" teriak orang berbadan kekar
    dengan dada bidang berbulu. Kumisnya tebal
    melintang dan kelopak matanya berbelok bagai
    burung hantu.
    "Tunjukkan, mana rumah Ronggo Wiseso" seru orang
    yang berpakaian serba hitam itu. Ia menyandang
    pedang di punggungnya. Pedang besar, sebanding
    dengan ukuran lengannya yang besar pula.
    Karena tak ada penduduk yang berani buka mulut,
    selain buka baju karena kegerahan, maka orang
    tersebut segera turun dari kudanya. Berjalan dengan
    mata liar. Menggetarkan hati tiap manusia yang
    memandangnya.
    Seorang pemuda bertubuh kurus yang bersembunyi di
    kolong bangku kedai yang rusak ditabrak kudanya
    Suto itu, segera ditarik keluar. Dijambak rambutnya,
    ditengadahkan kepalanya. Lalu, pedangnya dihunus,
    dan ditempelkan di leher anak muda kurus itu.
    "Mana rumah Ronggo Wiseso Cepat tunjukkan, atau
    kugorok batang lehermu Lekas..." bentaknya bagai tak
    sabar.
    "Ad...
    Serial Pendekar Mabuk 01. Bocah Tanpa Pusar
     
  2. gumara44

    gumara44 New Member

    Joined:
    Dec 15, 2014
    Messages:
    4
    Likes Received:
    0
    Trophy Points:
    1
    Gunung mau meletus aja dikira ada monster yang sedang ngamuk di puncak gunung hahaha, orang-orang jaman dulu emang pengetahuannya dangkal banget ya, tapi imannya kental banget orang-orang jaman kerajaan dulu hehehehe
     
Loading...

Share This Page