Masih ingatkah anda dengan istilah blusukan? Berabad-abad yang lalu, manusia mengembangkan akal budinya dan mendapatkan cara untuk mengolah tanah agar bisa menjadi penghidupan yang nyata. Diantara sistem olah tanah yang populer dan menjadi prioritas manusia adalah bersawah dan berladang. Kegiatan bersawah pada umumnya mengolah tanah yang semula merupakan lahan kering, kemudian diolah menjadi lahan basah yang siap dan bisa untuk ditanami padi. Meski generasi sekarang banyak yang tidak mengetahui bagaimana cara mengolah tanah, bercocok tanam padi, dan kemudian di-ini itukan sedemikian rupa hingga kemudian menjadi nasi yang disantap bersama lauknya, tetapi hingga detik ini para generasi muda itu pun masih suka makan nasi, bukan makan gadget. Singkat cerita tentang sawah, dalam Bahasa Jawa dikenal istilah “blusukan”. What the meaning of blusukan? Setahu saya, blusukan bisa diartikan begini: kegiatan menginjak lahan becek (tanah mengandung kadar air/ lumpur). Dari kegiatan blusukan, biasanya orang di sawah atau di tanah lumpur akan mengalami keblusuk, yaitu: kaki tidak sengaja terpleset masuk ke dalam lumpur yang menjebak. Ketika seseorang terblusuk di lumpur, biasanya seketika kaki akan sulit ditarik, atau jika memamkai sandal, maka sandal akan tertinggal di dalam lumpur. Sekedar tambahan kosa kata, dalam Bahasa Jawa juga ada juga istilah blasakan, yang kurang lebih artinya: melangkahkan kaki di pekarangan (lahan penuh semak belukar). Ada juga istilah mBlêsêk, yaitu sesuatu berada di posisi yang dalam. Jika mungkin penerjemahannya belum sempurna, mohon diterjemahkan lagi di komentar, agar tidak menimbulkan kekacauan pikir..hehe Sekedar wawasan dan pra kata tentang tanah lumpur di atas, lalu kita beranjak pada pembahasan mengenai blusukan yang dilakukan oleh seseorang untuk bertugas sebagai pemimpin. Ya.., masih ingatkah istilah tersebut? Pak Joko mempopulerkan istilah blusukan dalam kegiatan sehari-harinya. Maklum, beliau adalah seorang pemimpin ibu kota saat itu, jadi istilah ndesa (bukan istilah gaul khas kota) pun langsung populer dan melebarkan telinga hingga membesarkan mulut orang-orang seantero jagad Indonesia yang kagum terhadapnya. Bagaimana tidak mungkin, karena dalam program dan kegiatan blusukannya, beliau (Pak Jokowi) selalu dibuntuti wartawan. Jalan kakinya, bersepedanya, memungut sampahnya, semua masuk televisi, internet, dan koran. Akhirnya, se-Kor pun jadi se-jaran. Saking populernya gara-gara blusukan (blusukannya bukan ke sawah, tapi terjun ke masyarakat), Pak Joko berhasil menarik perhatian dan mengambil hati masyarakat luas. Bahkan, metode blusukannya diikuti oleh banyak gubernur, walikota, dan bupati di negeri ini. Ada juga orang desa di Sulawesi yang awalnya tidak pernah mendengar istilah blusukan, saat itu langsung ikutan mempopulerkan blusukan, karena sangat salut ketika mengetahui di berita bahwa ada pemimpin (gubernur) yang suka melihat langsung kondisi masyarakat. Dari rating beberapa survey, nama Pak Jokowi melambung tinggi dan menempat di posisi teratas. Kebetulan saat itu sudah waktu menjelang pilpres. Partai A, B, C, dsb, masing-masing berembug untuk membahas siapa orang yang akan dicapreskan, agar bisa memenangkan pemilu. Pada saat itu, banyak partai yang bingung untuk menentukan capresnya, karena kondisi dalam partai itu sendiri namanya sedang kurang menancap di hati masyarakat. Yang dikarenakan ada hasil survey yang mengagumkan, Pak Joko sempat menjadi rebutan beberapa partai. Namun, karena pak joko terlahir dari partai yang mewadahinya ketika pilgub jakarata, akhirnya pak joko resmi menjadi capres dari partai itu. Wah... kondisi saat itu sungguh meriah di berita berbagai media. Semua rakyat terhibur sekaligus tertegun sambil menaruh harapan yang sangat dalam. Membaca koran pagi: blusukan. Buka berita online siang-siang: blusukan. Nonton berita sore di televisi: blusukan. Pokoknya, di saat itu, tiada waktu tanpa blusukan. Singkat cerita, pilpres kemudian dilaksanakan. Dan, partai yang mengusung Pak Joko sukses memenangkan pemilu. Pak Joko pun menjadi Presiden, resmi menggantikan presiden sebelumnya. Meski belum dilantik, kegiatan blusukan yang dimulai sejak Pak Joko belum menjabat Gubernur DKI tetap dijalani secara terbuka dan terliput. Blusukan melihat waduk, blusukan melihat orang sakit, blusukan ke pasar, blusukan ke pemukiman kumuh, dll. Masyarakat sungguh sangat senang dan sangat berharap kesungguhan untuk membawa Indonesia menjadi sangat baik di hati rakyatnya. Bahkan setelah dilantik resmi menjadi presiden, pak joko pun tetap berblusukan ria ke sana ke mari. Ke Medan, ke Aceh, dan sebagainya bahkan hingga ke Papua. Namun, selang beberapa waktu, istilah blusukan semakin mengendur dan sekan-akan hilang begitu saja. Entah kenapa saya pun tidak tau persis. Untung isitilah blusukan saat ini sudah jarang didengar lagi. Sebab, saat itu, ada kekhawatiran dalam diri saya. Maklum, sebagai orang desa, saya pernah beberapa kali keblusuk di tanah lumpur. Dan yang saya khawatirkan adalah, suatu yang populer bernama blusukan itu, merupakan sebuah pertanda. Dan, jika diterapkan dalam kegiatan sebuah negara, bisa saja rakyatnya dan bahkan pemimpin-pemimpinnya akan mengalami keblusuk. Sebab, barang siapa yang suka berlari, maka ia akan mengalami terjatuh. Dan, siapa yang blusukan, ia bisa keblusuk. Kekhawatiran saya saat itu yang lainnya adalah bahwa blusukan bisa saja bentuk dari ilusi politik. Tapi, kayanya sih bukan. Karena, sisi positif dari blusukan tersebut adalah teori dan praktek dijalani semua. Mungkin seperti itu kiranya. Andai negeri ini akan sejahtera, berarti kita harus siap mental untuk damai bahagia. Namun, jika belum menggapai sejahteranya, kita juga harus meguatkan jiwa dalam menghadapinya. Dan, jika akan terjadi sebuah bencana, berdoalah, semoga kita termasuk orang yang selamat.
Blusukan yang dahulu sempat pepoler sempat saya prediksi ... Rakyat Indonesia saat ini dan mungkin di awal pemilu kemarin di landa satu penomena yang sangat kritis, kurang bahkan hilangnya kepercaya'an masyarakat pada pemimpin ...itu terjadi bukan hanya di pusat namun di daerah, alasannya jelas di mana banyak pemimpin bahkan wakil rakyat yang hanya janji manis di awal namun ingkar pada akhirnya, yang ada hanya memikirkan korupsi dan menciptakan proyek untuk keuntungan pribadi belaka, penemona tersebut menurut saya cukup kritis hingga ada sosok seorang cikal bakal pemimpin yang katanya wong cilik suka blusukkan, media memberitakan profilnya layaknya profil pemimpin idaman rakyat yang di landa kresis kepercaya'an pada pemerintah ... satu sisi lain sosok pemimpin yang tegas di mana lahir dari sisa pengalaman pahitnya pemerintah terdahulu tergambar, seolah jelas sosok sisa orang lama yang di singkirkan karena kepentingan pemerintah saat itu benar-benar menggambarkan seolah bahwa orang tersebut adalah nilai balik dari buruknya pemimpin terdahulu... yang intinya dua calon pemimpin yang sangat di harapkan mampu memberikan perubahan, alhasil semangat kepercaya'an publik pun kembali bergairah walau di warnai perbeda'an karena sudut pandang. Saat itulah saya berfikir tepat pemimpin yang katanya wong cilik resmi menjadi pemimpin di indonesia, ini taruhan besar ini titik sakral sudut pandang masyarakat. Inodnesia pernah mengalami kehilangan kepercaya'an dari rakyat karena olah sejumlah elit politik ... jika pemimpin sekarang pun sama, tidak bisa membuktikan bahwa bisa di percaya, menepati janji manis nya dengan lebel wong cilik... saya khawatir kedepannya pemerintah benar-benar kehilangan kepercaya'an dari rakyat, terciptanya rakyat auto pilot yang sebenarnya sudah terjadi di daerah2 yang jauh dari pusat pemerintahan seperti perbatasan dll
Setiap orang mempunyai opini tersendiri, tapi saya tidak terpengaruh banyak dengan pemerintahan, karena dari jaman SBY saya pun bekerja sampai sekaragpun saya juga tetap bekerja. Intinya: Kita kerja ya dapat rezeki kalau tidak kerja ya jauh dari rezeki, biarlah pemerintah yang ngurusin negara dan mari kita perbaiki diri hingga menemui titik kesuksesan hehehe Mohon maaf jika sedikit ngawor
Benar juga mas. Namun, kita tidur, berjalan, bekerja, dan hidup di negeri ini mas. Air yang kita minum dari negeri ini juga. Sebagian besar makanan yang di makan juga dari negeri ini juga. Lalu, jika kita tidak memikirkan negeri ini, apakah bukan termasuk orang yang lupa? Indonesia adalah Ibu Pertiwi kita. Dari rahimnya kita terlahir hingga kita bisa menjalani hidup seperti sekarang. Jika terjadi sesuatu (kehancuran atau bahkan kemajuan) pada negeri kita ini, tentu akan berdampak juga terhadap saya, anda, mereka, dan kita semua yang menjadi Warga Negara Indonesia. Karena, pada hakikatnya, setiap insan wajib gotong royong, bukan untuk memikirkan dirinya saja. Maaf mas @ranggadek, tulisan di atas untuk semua pembaca.
Saya setuju jika kita sama sama memikirkan nasib negara ini, tapi kita jug tidak harus pesimis memandang pemerintahan, kita percayakan pada mereka, jika ada yang salah mari kita serukan kesalahan mereka. Tapi sedikit di ingat pemerintah tidak akan bisa bekerja sendirian jika kita tidak membantu. Contoh sedikit; kita dilarang buang sampah sembarangan, tapi ternyata kita masih melakukan itu dan ketika banjirpun datang siapa yang disalahkan? sejauh ini ketika saya melihat berita di tv, pemerintahlah yang slalu disalahkan. Saya setuju bila pemerintah maju dan saya semakin setuju jika kita sadar, kita butuh pemerintah dan pemerintah butuh kita.
Pengertian Blusukan menurut saya sih menerobos, keluar masuk di tempat yang jarang dilewati atau didatangi orang. Seperti contoh "mblusuk ngisore amben" (masuk ke kolong tempat tidur=Ind). Jokowi "blusukan" untuk mendatangi tempat-tempat yang memang jarang didatangi pejabat (Gubenur DKI). Dulu jaman orba terkenal dengan istilah "turba" pejabat turun kebawah untuk menjaring inspirasi masyarakat, namun dengan diam-diam untuk menghindari ABS (asal bapak senang). Namun akhirnya ramai dan makna turba sebenarnya-pun hilang. Demikian dengan blusukan yang kini lebih banyak dianggap pencitraan. Kalau saja blusukan maupun turba masih dengan konsep idealisme-nya bisa menjadi salah satu sikap tanggungjawab terhadap amanat rakyat, tanggungjawab terhadap harta, keamanan, keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Yaa...begitulah. Andai apa yang diinginkan manusia semuanya bisa terwujud, mungkin semua tidak akan sedih. Namun, ini sesungguhnya merupakan ketetapan-Nya. Ada rahasia (hikmah) di balik semua ini, meski kita akan menghadapinya dengan berat hati dan penuh keprihatinan.
Ya... intinya sama kaya gitu lah @KangAndre.. hehe Namun, saya waktu itu sempat tertegun juga, dikala Pak Presiden dan juga para bawahannya sibuk berblusukan, lalu terjadilah tanah longsor di Banjarnegara. Sejenak ada heningan di diri saya terkait blusukan itu. Iya... dulu turba juga serupa tapi tidak sama. Dan beberapa waktu setelah ramai-ramai turba, ternyata juga hasilnya membingungkan. Oh ya, tadi saya buka berita online, kemarin Pak Pres juga habis blusukan dan bagi2 sembako. Mungkin di saat rakyat butuh terhibur hatinya karena kesedihan harga bahan pangan yang naik, langkah demikian dianggap tepat.
dulu waktu jadi guberbur blusukan, sekarang diblusuk pendemo piss kalau masalah tata bahasa, yang disebut adalah ini, tapi bertentangan dengan KBBI ane tetep ikutin tren aja
kalau jaman khalifah Umar Beliau sering melakukan blusukan untuk melihat keadaan negerinya apakah rakyatnya sengsara atau tidak ... memeberi makan fakir miskin Namun tidak ada yang tahu, cuma kejadian ini diceritakan oleh mereka rakyat kecil, Bukan seperti negara kita saat ini... Blusukan diliput oleh media televisi... sepertinya ada maksud dan tujuan tertentu
bukan cuma dulu kalau blusukan ga di siar di tv yang digusur lebih parah dari jaktim tanpa ganti rugi ga disiarin