Asmara Berdarah - kho ping hoo

Discussion in 'Creative Art & Fine Art' started by cerita-silat, Dec 10, 2014.

  1. cerita-silat

    cerita-silat Member

    Joined:
    Dec 7, 2014
    Messages:
    292
    Likes Received:
    6
    Trophy Points:
    18
    Google+:
    Kota Ceng-tao terletak di tepi laut, merupakan
    sebuah kota pelabuhan yang besar di Propinsi Shan-
    tung. Setiap hari perahu-perahu dagang yang besar
    berlabuh di situ, ada yang datang membawa barang-
    barang dagangan dari luar daerah, bahkan dari luar
    negeri ke kota itu, ada pula yang mengangkut
    barang-barang dari dalam keluar. Bukan hanya
    perdagangan yang meramaikan kota Ceng-tao, akan
    tetapi juga hasil penangkapan ikan di laut daerah
    pelabuhan itu amat baik sehingga pantai itu penuh
    pula dengan perahu-perahu nelayan dan
    terbentuklah sebuah pasar ikan di tepi pantai.
    Biasanya, sejak pagi sekali, pantai itu telah sibuk,
    terutama sibuk dengan para nelayan yang baru
    pulang dari tengah la-utan di mana mereka bekerja,
    semalam suntuk menangkap ikan, membawa hasil
    penangkapan ikan mereka yang meme-nuhi perahu
    mereka. Bau amis ikan-ikan mati akan memenuhi
    tempat itu, dan bu-kan hanya lalat-lalat yang
    merubung, akan tetapi juga manusia-manusia yang
    berebutan melelang ikan-ikan itu untuk dijual
    kembali ke pasar dan memperoleh untung yang
    kadang-kadang lebih besar daripada para nelayan itu
    sendiri.
    Kadang-kadang nampak pula peman-dangan yang
    mengharukan, menyedihkan den mendatangkan rasa
    penasaran dalam hati. Sebagian besar para nelayan
    itu ha-nya alat-alat belaka dari para juragan yang
    melepas uang untuk memberikan perahu-perahu,
    jala-jala den alat-alat perlengkapan yang baik untuk
    menangkap ikan. Dan mereka inilah yang menentu-
    kan harga jika para nelayan kembali da-ri tengah
    laut. Harga ditekan sedemikian rupa dan para
    nelayan tidak berani me-lawan karena mereka telah
    terbenam da-lam hutang setinggi leher. Selain itu,
    para juragan itu membawa tukang-tukang pukul
    yang galak dan kejam. Tidak ja-rang terjadi
    pemukulan-pemukulan di te-pi pantai itu oleh para
    tukang pukul ter-hadap nelayan yang berani
    membangkang. Ada pula nelayan-nelayan yang
    menangis karena hasilnya terlampau sedikit untuk
    dapat menghidupkan keluarganya, apalagi kalau ada
    anggauta keluarga yang sedang sakit dan
    membutuhkan uang untuk biaya pengobatan.
    Akan tetapi, pada pagi hari itu keadaan di tepi pantai
    agak sunyi. Hujan te-lah turun sejak malam tadi.
    Karena hu-jan badai membuat air laut meliar, para
    nelayan banyak yang terpaksa pulang malam tadi
    tanpa memperoleh hasil.
    Setelah matahari mulai muncul, hujan mereda, tidak
    selebat semalam, akan te-tapi masih juga turun
    rincik-rincik. Di kota Ceng-tao sendiri, biarpun pagi itu
    masih hujan gerimis, namun di jalanan penuh juga
    oleh orang berlalu-lalang me-makai payung atau
    memakai caping lebar untuk melindungi diri dari
    timpaan air lembut yang dingin. Nampak pula
    gerobak-gerobak yang membawa barang-ba-rang
    dagangan seperti sayur-mayur, ikan dan sebagainya,
    berbondong-bondong me-nuju ke pasar yang berada
    di tengah ko-ta. Ada pula tukang-tukang pikul yang
    memikul barang-barang berat menuju ke pasar.
    Mereka ini tidak berbaju dan tubuh yang bagian
    atasnya telanjang itu tertimpa air hujan. Tubuh yang
    berkeri-ngat itu menjadi semakin basah. Air hu-jan
    bercampur air keringat membuat tubuh itu
    mengkilap, nampak kuat dengan otot-otot
    menjendol. Namun mereka ti-dak terganggu oleh air
    hujan yang dingin. Bahkan terasa enak di badan,
    sejuk dan banyak mengurangi rasa lelah.
    Bermacam orang berlalu-lalang di jalan raya menuju
    ke pasar. Dari keadaan pakaian mereka, dapat
    diketahui siapa di antara mereka yang pedagang
    beruang dan siapa yang hanya kuli miskin. Pakaian
    mereka yang mendatangkan perbedaan itu, bukan
    hanya pakaian, akan tetapi juga pandang mata dan
    sikap mereka. Sebagian besar manusia
    mencerminkan keadaan kehidupan mereka pada
    sikap dan air muka. Yang kaya, pandai atau berke-
    dudukan biasanya mengangkat muka ting-gi-tinggi,
    merasa lebih daripada orang lain. Sebaliknya, orang-
    orang yang mera-sa dirinya miskin, bodoh dan tidak
    ada kekuasaan, banyak menunduk dan meren-
    dahkan diri.
    Akan tetapi pada pagi hari itu, ter-dapat suatu
    suasana gembira yang dapat dirasakan oleh semua
    orang dari segala tingkatan. Semacam kegembiraan
    yang aneh, yang terasa oleh seluruh badan dan
    batin, kegembiraan yang tercipta oleh keadaan bumi
    dan udara. Setelah hujan lebat semalam, jalan-jalan
    raya, genteng-genteng rumah, kesemuanya nampak
    ber-sih tercuci oleh air hujan. Biarpun hujan masih
    gerimis dan matahari masih tertu-tup kabut, namun
    suasana terasa bersih, sejuk dan jernih. Suara air
    selokan yang menampung air hujan dan segala
    kotoran yang disapu olehnya, seperti dendang pa-gi
    yang amat merdu. Bahkan pohon-pohon nampak
    berseri karena merekapun dicuci bersih dari debu-
    debu, juga daun-daun tua dirontokkan. Setiap daun
    kini nampak hijau bersih kemilau. Suasana ini
    mendatangkan suatu rasa gembira yang ajaib.
    Di pintu gerbang kotapun nampak beberapa orang
    atau gerobak lewat. Mereka datang dari dusun-dusun
    di luar kota Ceng-tao. Matahari sudah naik agak
    tinggi namun hujan masih turun rintik-rintik,
    walaupun sudah mulai jarang. Dan pada saat itu,
    pintu gerbang telah sunyi, tidak nampak orang lewat
    lagi. Agaknya orang-orang dusun yang menuju ke
    kota Ceng-tao sudah habis. Mereka datang mulai
    pagi sekali tadi, takut kalau kesiangan yang akan
    membuat dagangan mereka jatuh harga atau tidak
    laku. Para penjaga pintu gerbang duduk bersantai di
    dalam gardu. Mereka itu tentu saja merasa enggan
    untuk berjaga di luar dan tertimpa air hujan. Pula,
    dalam keadaan aman seperti hari itu, perlu apa
    berjaga dengan ketat? Yang memasuki pintu
    gerbang bukan lain hanyalah orang-orang dusun
    yang hendak berjualan ke pasar kota.
    Suasana di sekitar pintu gerbang sunyi dan hening.
    Para penjaga yang berada di dalam gardu
    mengasyikkan diri bermain kartu sambil minum arak
    untuk menghangatkan tubuh. Tiba-tiba, dari jauh
    terdengar suara nyanyian Suaranya agak parau,
    dalam, dan terdengar lucu, nada-nadanya seenaknya
    saja. Mau tidak mau para penjaga mendengarnya
    juga karena suara itu terdengar lucu dan aneh,
    merekapun setengah memperhatikan. Suara
    nyanyian itu kini diseling suara ringkik kuda dan
    makin didengarkan, makin tertariklah hati para
    penjaga karena memang suara nyanyian itu lucu dan
    juga aneh kata-katanya. Apalagi diseling ringkik
    kuda, seolah-olah manusia dan kudanya bernyanyi
    bersama-sama.
    "Tok-tak-tok-tak
    hujan turun bertitik
    Top-tap-top-tap
    langkah kudaku cantik
    Hiiii... yeeehhhh... (ringkik kuda)
    Biar hujan biar panas,
    manusia tetap mengeluh
    biar panas biar hujan,
    kuda takkan mengaduh
    Hiii... yeeehhhh... (ringkik kuda)
    Manusia memang pintar,
    pandai berkeluh-kesah
    kudaku memang tolol,
    tak kenal hati susah
    Hiii... yeeehhhh... (ringkik kuda)
    Ha-ha-hi-ha-ha-ha-ha"
     
Loading...
Similar Threads - Asmara Berdarah ping
  1. cerita-silat
    Replies:
    1
    Views:
    3,869

Share This Page