Bahagia Pendekar Binal

Discussion in 'Creative Art & Fine Art' started by cerita-silat, Dec 10, 2014.

  1. cerita-silat

    cerita-silat Member

    Joined:
    Dec 7, 2014
    Messages:
    292
    Likes Received:
    6
    Trophy Points:
    18
    Google+:
    BAHAGIA BINAL
    Gui Moa-ih pikir diri sendiri memang tidak mungkin
    tahan seperti Siau-hi-ji, tapi ia menjadi gusar dan
    mendamprat, “Kau sudah terpikat oleh bocah ini,
    dengan sendirinya segalanya kau puji.”
    “Dia memang hebat dan harus dipuji, kalau tidak ...
    kalau tidak masa aku sampai terpikat olehnya?”
    Gui Moa-ih jadi melengak dan kikuk sendiri,
    katanya, “Ucapan begini pun dapat tercetus dari
    mulutmu?”
    “Mengapa aku tidak berani mengucapkan isi hatiku
    sendiri? Ini kan bukan sesuatu yang memalukan?
    Jika main sembunyi-sembunyi, diam-diam makan
    dalam menyukai seorang, tapi tidak berani
    mengutarakannya, cara beginilah baru memalukan
    dan menggelikan .... Betul tidak?”
    Wajah Gui Moa-ih yang pucat kekuning-kuningan itu
    jadi merah jengah juga, segera ia menjengek pula,
    “Tapi meski kau menyukai dia, rasanya belum tentu
    dia suka padamu.”
    “Yang penting aku suka padanya, apakah dia juga
    suka padaku atau tidak bukan soal, kau tidak perlu
    ikut khawatir,” kata So Ing.
    “Hm, kau ....” Gui Moa-ih bermaksud
    mencemoohkannya, tapi tidak tahu apa yang harus
    diucapkannya.
    Dengan tertawa So Ing menyambung, “Apalagi
    seumpama sekarang dia tidak suka padaku, nanti
    juga aku ada akal untuk membuatnya suka padaku.”
    Sampai di sini, tak tahan lagi Siau-hi-ji, ia bergelak
    tertawa, katanya, “Tepat, tepat sekali. Rasanya
    sekarang juga aku sudah mulai menyukai kau.”
    Air muka Gui Moa-ih sebentar putih sebentar hijau
    saking menahan geramnya.
    Teriaknya kemudian dengan bengis, “Jika demikian,
    bila dia mati tentu kau sangat berduka, bukan?”
    So Ing tersenyum, jawabnya, “Sejak mula sudah
    kuketahui kau pasti akan memperalat dia untuk
    memeras diriku. sesungguhnya apa kehendakmu?
    Masa kau tidak enak untuk bicara terus terang?”
    Melihat kerlingan mata si nona yang menggetar
    sukma, melihat dadanya yang berombak perlahan di
    bawah bajunya yang tipis itu, hati Gui Moa-ih
    menjadi berdebar dan bibir pun terasa kering,
    serunya, “Aku ... aku ingin kau ....”
    mendadak ia menggerung dan berputar cepat sambil
    memukuli dada sendiri beberapa kali, ia tidak berani
    menatap si nona pula, teriaknya, “Aku ingin kau
    ceritakan rahasia yang kau dengar kemarin.”
    “O, kau sudah bertemu dengan Pek San-kun?”
    “Hmk,” dengus Gui Moa-ih.
    Tiba-tiba So Ing tertawa dan berkata, “Sebenarnya,
    sekalipun yang kau inginkan adalah diriku pasti juga
    akan kuserahkan padamu, cuma sayang kau sendiri
    tiada punya keberanian sehingga kesempatan baik
    ini tersia-sia.”
    Gui Moa-ih meraung gusar, mendadak ia membalik
    tubuh dan mencengkeram pundak si nona, teriaknya
    dengan suara parau, “Kau ... kau budak busuk,
    perempuan hina, kau ... kau ....”
    Tapi So Ing tetap tenang-tenang saja, ucapnya
    dengan tersenyum genit,
    “Kutahu sekarang kau menyesal mengapa tadi tidak
    berani mengutarakan isi hatimu. Tapi itu urusanmu
    sendiri, mengapa aku yang menjadi sasaran
    kedongkolanmu?”
    “Persetan” bentak Gui Moa-ih murka. “Siapa
    menghendaki perempuan busuk macam kau, kau ….”
    karena tak tahu apa yang dikatakan, mendadak
    sebelah tangannya menampar muka So Ing.
    Namun si nona tidak berkelit, sebaliknya mukanya
    yang molek itu seolah-olah sengaja disodorkan
    malah, katanya, “Jika ingin memukul aku, silakan
    pukul saja. Tapi apakah kau sampai hati
    memukulku?”
    Di bawah cahaya bintang yang berkelip-kelip itu
    wajah So Ing kelihatan kemerah-merahan laksana
    bunga mawar yang baru mekar dengan
    pandangannya yang sayu. Tangan Gui Moa-ih jadi
    terhenti di udara dan tidak jadi memukul.
    So Ing malahan terus mendekatkan tubuhnya ke
    sana, katanya sambil memejamkan mata, “Pukul,
    ayolah pukul Mengapa tidak jadi pukul”
    Tubuh Gui Moa-ih seperti mulai gemetar, hatinya
    menggereget. Kalau bisa dia ingin memeluk si nona
    sekarang juga, tapi dia justru sangsi dan tidak berani.
    Wajahnya yang pucat kuning tampak berkeringat.
    Dongkol dan geli pula Siau-hi-ji menyaksikan semua
    itu. Tiba-tiba dilihatnya salah satu jari So Ing yang
    lentik itu entah sejak kapan telah memakai sebuah
    cincin yang mengkilap.
    Karena dia tergantung menjungkir, matanya tepat
    berada di depan cincin itu. Di bawah sinar bintang
    yang remang-remang dapat dilihatnya di atas cincin
    itu ada sebuah jarum yang lembut dan runcing.
    Dengan gaya yang menggiurkan serta suara yang
    samar-samar, perlahan So Ing mengangkat
    tangannya yang bercincin itu dan merangkul leher
    Gui Moa-ih.
    Dalam keadaan begitu bila kulit leher Gui Moa-ih
    tergores sedikit saja oleh jarum perak itu, maka
    jiwanya pasti akan melayang. Padahal saat ini Gui
    Moa-ih dalam keadaan kesengsem, hati berdebar-
    debar, mata terbelalak bingung, pikiran melayang
    entah ke mana, dengan sendirinya tak terpikir
    olehnya maut sedang mengintai jiwanya.
    Pada saat itulah, mendadak Siau-hi-ji berteriak,
    “Awas tangannya Tangannya berjarum berbisa”
    Gui Moa-ih meraung kaget, berbareng sebelah
    tangannya terus mengebas sehingga So Ing
    terdorong mundur beberapa kaki.
    Tubuh So Ing terbentur pohon, dengan terbelalak ia
    pandang Siau-hi-ji, serunya, “Kau ... apakah sudah
    gila?”
    “Siapa bilang aku gila? Otakku cukup waras” jawab
    Siau-hi-ji sambil tertawa.
    “Lalu mengapa ... mengapa kau ....”
    “Kau heran mengapa aku malah menolong dia,
    begitu bukan?”
    So Ing menggigit bibir dan tidak berucap lagi.
    Gui Moa-ih terkejut dan gusar pula, ia pun tak
    mengerti mengapa Siau-hi-ji berbalik menolongnya
    malah. Sebab itulah dia hanya mendelik dan juga
    tidak bersuara.
    Maka terdengar Siau-hi-ji berkata dengan tertawa,
    “Sebabnya kutolong dia, karena aku pun ingin tahu
    rahasia apa yang dimaksudkannya itu.”
    “Ap ... apa katamu?” tanya So Ing.
    “Cinta saudara padamu ini sudah merasuk tulang
    sumsum, tapi pada kesempatan baik untuk
    melaksanakan idam-idamannya ini dia justru
    menyampingkan urusan cinta dan cuma minta kau
    menjelaskan sesuatu rahasia, ini suatu tanda bahwa
    rahasia yang dimaksudkannya terlebih penting
    daripada dirimu yang dicintainya.”
    “Hmk,” Gui Moa-ih hanya mendengus dan tidak
    menanggapi komentar Siau-hi-ji itu.
    Segera Siau-hi-ji menyambung pula, “Sebaliknya kau
    rela menyerahkan tubuhmu padanya daripada
    menceritakan rahasia yang dia minta, ini pun suatu
    tanda bahwa kau memandang rahasia itu jauh lebih
    penting daripada tubuhmu sendiri.”
    So Ing menggigit bibir, katanya kemudian sambil
    membanting-banting kaki,
    “Tolol kau, masa ... masa kau tidak tahu maksudku?”
    “Sudah tentu kutahu maksudmu,” jawab Siau-hi-ji
    dengan tertawa. “Tapi bila dia mengetahui dirinya
    keracunan, apakah dia dapat mengampunimu?”
    “Dia tidak berani membunuhku,” ujar So Ing, “Sebab
    kalau aku dibunuhnya maka selanjutnya jangan
    harap akan dapat mengetahui rahasia itu.”
    “Itulah dia, kan cocok dugaanku” seru Siau-hi-ji
    dengan tergelak-gelak. “Jadi apa pun juga dia tetap
    ingin mengetahui rahasia ini. Dari sini dapat diketahui
    bahwa rahasia yang dimaksud pasti sangat hebat,
    maka aku jadi ingin tahu juga.”
    “Tapi kalau kau ....”
    “Agar kau mau membeberkan rahasia yang
    dimaksud, jalan satu-satunya ialah biarkan kau
    dipaksa oleh dia,” sela Siau-hi-ji sebelum So Ing
    bicara lebih lanjut.
    “Sebab kalau kau sampai terbunuh, jelas rahasia ini
    takkan kau ceritakan dan aku pun tidak dapat
    mendengarnya.”
    So Ing membanting-banting kaki dengan
    mendongkol, katanya, “Tapi kan aku mau
    menolongmu, mengenai rahasia ini kelak kan dapat
    kuberitahukan padamu?”
    “Belum tentu,” ujar Siau-hi-ji dengan tertawa. “Kalau
    melihat aku akan mati, kau khawatir, lalu rahasia itu
    akan kau beberkan. Tapi bila aku tertolong, kau
    khawatir pula aku akan kabur, untuk ini kau pasti
    akan ceritakan rahasia ini untuk mengikat diriku,
    bukan mustahil aku harus menunggu dan menunggu
    terus, entah sampai kapan barulah kau mau
    memberitahukan rahasia ini. Nah, mana aku sanggup
    bersabar menunggu selama itu?”
     
Loading...

Share This Page