Balada Pendekar Kelana - seri pendekar cinta

Discussion in 'Creative Art & Fine Art' started by cerita-silat, Dec 10, 2014.

  1. cerita-silat

    cerita-silat Member

    Joined:
    Dec 7, 2014
    Messages:
    292
    Likes Received:
    6
    Trophy Points:
    18
    Google+:
    Di lembah luas membentang
    sesaat setelah terguyur hujan
    udara sejuk segar
    terasa akhir musim gugur 'kan tiba
    senja nanti
    rembulan menyinari hutan pohon pinus
    oh, air kali jernih
    gemericik mengalir di antara bebatuan.
    Di tengah rumpun bambu, terdengar risik suara
    perempuan-perempuan yang pulang
    sehabis mencuci pakaian
    daun teratai bergoyang
    muncul perahu-perahu kecil penangkap ikan
    Oh
    walau musim semi yang merbak
    telah berlalu
    namun pemandangan di gunung
    masih juga menambatku untuk tinggal di sini.
    (Wang Wei, “Senja hari musim gugur di desa”)
    Pagi terasa begitu menyegarkan, aliran sungai itu
    begitu alami dengan gemericik air jernih mengalir di
    antara bebatuan serta dahan pepohonan
    menggelayut menggapai permukaan, terdengar
    begitu indah. Pagi itu terasa cerah. Awan putih
    berarak di langit, memberi sentuhan warna lain di
    angkasa yang biru. Matahari yang cenderung bersinar
    terang terasa menghangatkan tubuh. Semua itu
    seolah menjadi pertanda bahwa ini adalah hari yang
    baik untuk memulai sebuah perjalanan jauh.
    Tan Sin Liong bangun dengan mata setengah malas.
    Bersandar di sebuah ranting pohon yang besar,
    pandangannya mengarah ke atas dilatari langit biru
    yang cerah.
    Dihadapannya terbentang pemandangan serba hijau
    segar, dengan langit biru cerah, udara terasa begitu
    menyegarkan namun pikirannya berkelana bebas,
    liar, tanpa ada satu batasan.
    Pemuda itu sudah tidak muda lagi, kira-kira
    mendekati akhir tiga puluh tahunan.
    Namun wajahnya masih begitu tampan, tulang
    wajahnya terlihat menonjol tapi tak menghapuskan
    ketampanannya sebaliknya terlihat sangat kokoh,
    gagah dan
    menawan. Tingkah lakunya sangat tenang dan
    berwibawa. Kepandaiannya
    memainkan pedang sudah melegenda selama
    belasan tahun. Sebagai jago pedang
    nomor satu tentu saja banyak sekali ahli pedang
    yang ingin mengalahkannya,
    merampas gelar “pendekar pedang nomor satu.” Tapi
    sejauh ini belum ada yang
    mampu mengalahkannya, alih-alih merampas gelar
    nomor satu, yang didapat
    hanyalah secercah lubang di tenggorokan, mengantar
    mereka ke akhirat. Ya, tusukan pedang si “Pendekar
    Kelana” Tan Sin Liong, sangat terkenal keganasannya
    juga tak mengenal ampun. Dimana pedang yang
    keluar dari sarungnya pasti akan meminta
    nyawa. Tidak banyak orang yang mampu
    memperkirakan kemana arah
    menyambarnya pedang Tan Sin Liong, kapan pedang
    itu keluar dari sarungnya.
    Kecepatan dan kegesitan Tan Sin Liong sungguh
    jarang ditemui lawannya.
    “Bertahun-tahun aku mengelana di sungai telaga,
    entah berapa banyak lawan yang telah kuhadapi,
    ratusan pertempuran kujalani, puluhan nyawa
    kubinasakan, keringat darah yang kukucurkan demi
    gelaran kosong, “pendekar pedang nomor satu
    sungai telaga” tapi hidupku terasa sunyi, entah
    berapa ratus hari kulewatkan malam
    bersama angin sepoi-sepoi.” gumamnya.
    Kenangan demi kenangan terlintas dibenaknya,
    kadangkala teramat pahit untuk
    diredah, tetapi ia terlalu manis untuk dikenang. Hidup
    tak selalunya indah tapi yang indah itu tetap hidup
    dalam kenangan. Andainya hadirnya cinta sekadar
    untuk
    mengecewakan, lebih baik cinta itu tak pernah hadir.
    Kecewa bercinta bukan
    bermakna dunia sudah berakhir. Masa depan yang
    cerah berdasarkan pada masa
    lalu yang telah dilupakan.
    Tiba-tiba benaknya dipenuhi bayangan wajah
    seorang gadis muda dengan wajah
    tersenyum namun sendu, terlihat kesedihan dibalik
    senyuman itu, ada keharuan dibaliknya. Matanya
    yang lentik nampak sendu dan bibir merah ranum
    mengiurkan, menusuk jantung kalbu Tan Sin Liong.
    Walaupun kenangan itu telah belasan tahun lamanya
    namun seolah-olah bagaikan kemarin, begitu jelas
    dan intens.
    Dipikirannya masih tergambar dengan jelas wajah
    gadis pujaannya itu, tatapan matanya, tatapan mata
    rindu itu yang berbinar, senyuman haru. Tak sanggup
    Tan Sin Liong menghilangkan bayangan-bayangan itu
    selama belasan tahun ini.
    Hidup macam apa yang akan kutawarkan padanya,
    pikir Tan Sin Liong saat itu dalam hati. Membuat
    pandangannya menerawang, akan sebuah perasaan
    yang sudah
    mulai dibangunnya untuk seseorang, dia merasa
    harus menghancurkannya, karena dia tidak ingin
    seseorang itu mempunyai beban lain yaitu dia dan
    hidupnya yang penuh mara bahaya. Perlahan selama
    belasan tahun ini, dia menata hati untuk
    menghindari sosok yang selama ini dia yakini
    mempunyai sebuah hati untuk dia singgahi, tatapan
    bening bola mata yang memancarkan kejujuran dan
    kebaikan hati, dia harus mulai melupakan semuanya.
    Masih jelas terbayang dibenaknya saat-saat
    mengharukan, meski sudah
    membelakangi sang gadis, dia masih mendengar
    isakan sendu yang makin lama
    makin mebuat hatinya terenyuh perih. Air mata
    sudah membanjiri pelupuknya, Tan Sin Liong makin
    meluruskan pandangannya ke depan, menghindari
    tatapan penuh
    tanya dan mata yang kemerahan berbinar air mata.
    Sekarang belasan tahun berlalu, ia berhasil meraih
    impiannya tapi impian itu tidak seindah yang ia
    bayangkan. Badai mulai datang dalam berbagai
    bentuk,
    persahabatan dan pengkhianatan, persaingan dan
    gangguan yang harus dihadapi, hidup dalam keadaan
    senantiasa waspada, penuh tekanan adalah harga
    yang harus ia bayar.
    Hidup adalah pilihan, tentu ia harus konsekuen
    dengan pilihan yang diambilnya terlebih kehidupan di
    sungai telaga, tidak ada jalan mundur baginya. Suka
    atau tidak suka, siap atau tidak siap, berat atau
    ringan keadaan ia harus menjalaninya.
    Lepas dari bayangan sang kekasih, benaknya mulai
    terisi bayangan seorang pemuda seusianya, dengan
    wajah cukup tampan dan sinar mata yang sangat
    tajam, tanda si pemilik mata itu memiliki tenaga
    dalam yang susah diukur dalamnya. Tapi dari balik
    mata itu terpancar kedengkian, kekejaman yang
    menggiriskan hati.
     
Loading...

Share This Page