Bentrok Para Pendekar

Discussion in 'Creative Art & Fine Art' started by cerita-silat, Dec 10, 2014.

  1. cerita-silat

    cerita-silat Member

    Joined:
    Dec 7, 2014
    Messages:
    292
    Likes Received:
    6
    Trophy Points:
    18
    Google+:
    Lanjutan Anak Berandalan
    Jilid 1 : Tujuh Orang Buta
    Awal musim rontok, cuaca panas.
    Sinar matahari menembus lubang-lubang kertas
    jendela, menyorot masuk menyinari kulit badan nan
    putih
    halus bagai sutra. Suhu air sedikit lebih hangat dari
    sinar matahari. Ia sedang rebah santai dalam bak air,
    dua kaki yang jenjang mulus diangkat tinggi-tinggi
    sambil menikmati hangatnya sinar matahari yang
    tepat
    menyorot telapak kakinya. Cahaya nan lembut ibarat
    tangan kekasih yang mengelus badan.
    Hong Si-nio sedang dirundung susah, hatinya gundah.
    Setengah bulan ia harus pontang-panting, hari ini
    sempat mandi air panas, boleh dikata sebagai hari
    yang
    paling bahagia, namun seseorang bila hatinya sedang
    gundah, banyak pikiran seperti Hong Si-nio saat itu,
    rasanya tiada sesuatu persoalan apapun yang dapat
    menggembirakan hatinya.
    Hong Si-nio bukan perempuan yang mau
    dikendalikan pera-saannya, kelihatannya hari ini ia
    benar-benar
    risau, bimbang dan cemas.
    Angin sepoi-sepoi di luar jendela, semilir membawa
    bau kembang. Di luar sana adalah perbukitan
    berbatu,
    batu-batu berse-rakan.
    Dua tahun lalu ia pernah berada di tempat ini.
    Dua tahun lalu, seperti sekarang dalam rumah papan
    yang reyot ini sedang mandi, masih segar dalam
    ingatannya, wak.tu itu hatinya amat gembira. Jauh
    lebih gembira dibanding sekarang.
    Keadaannya sekarang rasanya tidak banyak beda
    dengan keadaan dirinya dua tahun lalu. Dadanya
    masih
    kencang montok, pinggangnya masih ramping,
    perutnya masih rata mulus, sepasang paha kakinya
    tetap
    mulus, kencang lagi mengkilap. Bola matanya juga
    masih terang menarik, bila tertawa tetap menawan,
    begitu menggiurkan.
    Dua tahun ia tetap merawat tubuhnya dengan baik,
    tidak menyia-nyiakan keindahan tubuhnya,
    menikmati
    kehidupan ini. Ia masih senang menunggang kuda
    yang dilarikan kencang, memanjat gunung yang
    tinggi,
    makan hidangan yang amat pedas, minum arak
    yang paling keras, memainkan golok yang tercepat,
    membunuh orang yang paling dibenci. Pokoknya
    menikmati hidup, sepuas-puasnya menikmati
    kehidupan.
    Namun sayang, ia sudah hidup sesuai hasrat hatinya,
    memburu kesenangan apa saja yang bisa ia lakukan,
    namun ia tidak mampu mengusir rasa ‘sepi’ hatinya,
    rasa sepi yang meresap sumsum, ibarat kayu yang
    keropos digerogoti rayap, raga ini seperti menjadi
    kosong.
    Kecuali sepi, lebih parah lagi ia dijangkiti penyakit
    ‘rindu’. Rindu masa remaja, rindu masa lalu, dari
    segala
    rindu nan rindu, semua bertumpu pada seseorang.
    Walau ia tidak ingin mengakui, namun tiada orang
    lain di dunia ini yang dapat mengisi posisi orang itu di
    relung hatinya.
    Termasuk Nyo Khay-thay, tiada kesan sama sekali.
    Ia sudah menikah dengan Nyo Khay-thay. Tapi
    malam itu juga ia minggat dari kamar pengantin.
    Terbayang muka Nyo Khay-thay yang berbentuk
    kotak, sikap-nya yang sopan penuh aturan, cinta
    kasihnya
    yang tulus, Hong Si-nio merasa bersalah, tidak
    semestinya ia mengingkari suami yang baik hati lagi
    jujur itu,
    namun ia sendiri bingung kenapa semua itu ia
    lakukan.
    Satu hal yang ia akui, ia tidak bisa melupakan Siau
    Cap-it Long.
    Tak peduli ia berada di ujung langit, masih hidup atau
    sudah mati, ia tidak bisa melupakan perjaka itu,
    selamanya takkan terlu-pakan.
    Seorang perempuan kalau pujaan hatinya tidak
    berada di sampingnya, umpama tiap hari ia hidup
    berbaur di
    tengah ribuan orang, ia masih akan tetap merasa
    kesepian.
    Apalagi Hong Si-nio sudah berusia tiga puluh lima
    tahun, rasanya tiada rasa ‘sepi’ dan ‘rindu’ di dunia ini
    yang bisa menyiksa hatinya, siksa yang tak
    tertahankan lagi.
    Dengan terlongong ia mengawasi pahanya nan indah
    mulus, kulit badannya yang halus lembut, tanpa
    terasa
    air mata berkaca-kaca di pelupuk matanya ... “Blang”.
    Dalam waktu yang sama, jendela, pintu dan dinding
    papan jebol diterjang dari luar, berlubang tujuh
    delapan
    bagian.
    Bukannya kaget, Hong Si-nio malah tertawa.
    Dua tahun lalu, juga saat ia sedang mandi, terjadi
    peristiwa yang sama.
    Seperti dua tahun lalu, ia sedang rebah menikmati air
    hangat dalam baskom besar, dengan handuk sedang
    menggosok lengan.
    Mendadak air mukanya berubah, sungguh hatinya
    merasa aneh dan bingung. Karena orang-orang yang
    mengintip dirinya mandi tenyata semuanya buta.
    Dari tujuh lubang besar itu, tujuh orang melangkah
    masuk. Rambut panjang menghitam gilap, pakaian
    serba
    hitam pula, kelo-pak matanya juga berlubang gelap,
    tangan kiri mereka memegang sebatang tongkat
    putih,
    tangan kanan memegang kipas.
    Begitu melangkah masuk tujuh orang buta berdiri
    mengelilingi Hong Si-nio yang sedang mandi dalam
    baskom besar, wajah mereka tarnpak pucat,
    memutih tanpa perubahan air muka.
    Hong Si-nio cekikikan geli, “Wah, si buta juga
    menonton aku mandi, memangnya gaya mandiku ini
    menarik?”
     
  2. cerita-silat

    cerita-silat Member

    Joined:
    Dec 7, 2014
    Messages:
    292
    Likes Received:
    6
    Trophy Points:
    18
    Google+:
Loading...

Share This Page