Bocah Tanpa Pusar eps 2

Discussion in 'Creative Art & Fine Art' started by cerita-silat, Dec 12, 2014.

  1. cerita-silat

    cerita-silat Member

    Joined:
    Dec 7, 2014
    Messages:
    292
    Likes Received:
    6
    Trophy Points:
    18
    Google+:
    ada... ada di pojok desa, sebelah barat, Paman"
    "Biadab Berani kau memanggil Kombang Hitam
    dengan sebutan Paman, hah? Panggil aku Tuan"
    "Ba... baik.., baik, Tuan"
    "Nah, begitu" lalu ia menggerutu, "Ketua Begal Utara
    kok dipanggil Paman Memalukan" Ia kembali
    bertanya meyakinkan.
    "Jadi benar, rumah Ronggo Wiseso ada di pojok
    sana?"
    "Benar, Tuan Kombang Hitam."
    "Bagus. Terima kasih," katanya sambil melepas rambut
    pemuda kurus itu. Pedang pun kembali dimasukkan
    dalam sarungnya. Ia melangkah setelah bersalaman
    dengan pemuda kurus itu sambil
    mengucapkan kata terima kasih lagi.
    "Serang rumah itu" teriak Kombang Hitam kepada
    anak buahnya. "Bantai semua penghuninya Jangan
    ada yang tersisa"
    Kemudian rombongan itu pun menuju ke rumah
    pojok desa. Deru kaki kuda bergemuruh,
    menerbangkan jutaan debu menyirat ke mana-mana.
    Kombang Hitam sendiri memacu kudanya lebih cepat
    dan selalu berada di depan rombongan.
    '' "Untung kamu selamat, Nang..." kata seorang
    perempuan paro baya kepada pemuda kurus tadi.
    Rupanya pemuda itu anak perempuan tersebut.
    "Mak... aku... lemas... aku...."
    "Lho, lho... Nang? Lho, kenapa wajahmu pucat?
    Lho... Nang? Kok wajahmu membiru? Nang...?
    Anakku...?"
    "Mak..." suaranya pelan sekali. Matanya meredup.
    Ia pun terkulai jatuh dalam pelukan emaknya.
    Emaknya tak kuat, akhirnya jatuh ke tanah secara
    bersamaan.
    Brukkkk...
    "Anakku Naang..." teriak perempuan itu histeris
    setelah ia tahu anaknya sudah tidak bernapas lagi.
    Pemuda itu mati dalam keadaan sekujur tubuhnya
    menjadi biru kehitaman.
    "Dia keracunan makanan" seru seseorang yang
    mangerumun.
    "Bukan keracunan makanan. Pasti gara-gara salaman
    sama Kombang Hitam itu"
    "Benar Pasti waktu salaman, Ketua Begal Utara itu
    menyalurkan tenaga dalamnya yang amat beracun
    dan berbahaya"
    "Edan Jahat sekali orang itu."
    "Gawat. Pasti keluarga Ronggo Wiseso tak mampu
    melawannya"
    "Apa benar begitu? Ronggo Wiseso kan pejabat
    kadipaten?"
    *
    * *
    2
    RONGGO Wiseso memang pejabat istana kadipaten.
    Dia menjadi penasihat sang adipati untuk urusan
    hukum. Setiap ada perkara, Ronggo Wiseso yang
    menyelesaikan secara hukum dan peraturan yang
    berlaku, lalu sang adipati yang memutuskan
    ketetapan hukuman terakhir. Tapi karena waktu itu
    Ronggo Wiseso sering sakit-sakitan, maka ia diizinkan
    untuk beristirahat. Untuk itu diangkatlah seorang
    penasihat hukum yang bisa menggantikan Ronggo
    Wiseso. Tetapi penasihat baru itu kurang begitu
    piawai dalam masalah hukum kadipaten, sehingga
    masih sering minta pendapat Ronggo Wiseso. Pihak
    kadipaten sendiri masih menganggap Ronggo Wiseso
    sebagai orangnya dan tetap menerima upah
    perbulannya.
    Usia orang itu antara enam puluh tahun. Tubuhnya
    kurus dengan tulang-tulang wajah yang keras, sedikit
    menonjol. Ia terkejut ketika pintu gerbang rumahnya
    diterjang kuda. Suaranya bergemuruh mengagetkan
    seekor ayam yang sedang bertelur di belakang
    rumah.
    Serombongan orang berkuda itu segera mengepung
    rumah tersebut sampai di bagian belakang.
    Bergegas lelaki kurus karena penyakit batuk-batuknya
    itu menuju serambi depan. Dan ia berpapasan dengan
    Kepala Begal Utara yang tampak menggeram.
    Kakinya berdiri tegak merenggang dengan mata
    menatap buas. Ronggo Wiseso berkerut kening
    merasa heran.
    "Siapa kau?"
    "Ronggo Wiseso, kau tentu ingat Mandra Dayu yang
    atas usulmu dijatuhi hukuman mati oleh sang Adipati,
    bukan?"
    "Mandra Dayu...?" gumam Ronggo Wiseso. Ia berpikir
    sejenak. "O, ya. Benar. Rasanya memang layak
    Mandra Dayu menerima hukuman mati, karena ia
    nyaris membunuh sang Adipati. Kenapa?"
    "Aku adalah kakak Mandra Dayu. Aku menuntut atas
    kematian adikku itu, Ronggo Wiseso Satu-satunya
    saudaraku telah kau lenyapkan dengan keputusan
    hukummu yang tidak adil itu, maka sebagai gantinya,
    keluargamu harus kulenyapkan pula, supaya kau bisa
    merasakan bagaimana hidup tanpa sanak keluarga"
    "Tunggu dulu..."
    Kombang Hitam sudah tak sabar. Ia berseru, "Anak-
    anak, bantai habis mereka"
    "Hiaaat..." teriak mereka bersamaan. Dua belas anak
    buah Kombang Hitam mengamuk. Tak ada
    tetangga yang bisa menolong, tak ada dari mereka
    yang berani mendekat. Jerit dan teriakan bagai
    suasana di alam neraka.
    Pada waktu itu, Paman Dubang dan Suto sudah
    berhasil menemukan kudanya. Kuda itu menjadi jinak
    kembali. Suto duduk di atas punggung kuda,
    sementara Paman Dubang menuntun, dengan
    memegangi tali kekang kuda itu. Kuda itu bukan
    berlari, namun berjalan dengan santainya. Suto yang
    masih berusia delapan tahun itu tersenyum-senyum.
    Merasa tenang dan nyaman duduk di punggung kuda,
    karena ada yang menjaganya. Kuda pun tidak bisa
    menjadi liar, melainkan patuh dan menurut dengan
    bimbingan Paman Dubang.
    "Enak sekali kalau begini, Paman. Aku pantas menjadi
    pendekar sakti berkuda, ya?"
    "Iya. Tapi mana ada pendekar naik kuda kok
    dituntun? Seharusnya seorang pendekar itu bisa naik
    kuda sendiri."
    "Kalau begitu, lepaskan saja, biar aku menunggang
    kuda sendiri."
    "Kalau kudanya lepas lagi bagaimana?"
    "Ya dikejar. Sambil diancam seperti tadi, Paman"
    "Huuh... kuda kok diancam terus, lama-lama dia bosan
    jadi kuda," Paman Dubang bersungut-sungut.
    Tiba-tiba tiga orang penduduk yang dikenal Paman
    Dubang itu menghadang di depan mereka. Wajah
    ketiga orang itu menegang dan napas mereka
    tampak tak teratur.
    "Dubang, sebaiknya kau bawa si Suto pergi jauh-jauh.
    Jangan pulang ke rumah" kata salah seorang.
    "Habis mau pulang ke mana kalau tidak ke rumah?"
    "Ke penginapan saja" kata yang satunya lagi.
    "Di sini mana ada penginapan?" sentak Dubang.
    "Memangnya kenapa aku tidak boleh pulang, Kang?"
    tanya Suto yang merasa heran mendengar larangan
    itu.
    "Keluargamu sedang dibantai habis oleh Begal Utara"
    "Apa...?" Dubang memekik kaget. Suto segera turun
    dari punggung kuda dengan merosot dan jatuh
    sebentar. Ia mendekati salah satu dari ketiga
    tetangga dan bertanya, "Apa yang terjadi di rumahku,
    Kang?"
    "Keluargamu... keluargamu dibantai oleh Kombang
    Hitam, kepala rombongan Begal Utara Kakak-kakak
    perempuanmu diperkosa mereka, lalu dibunuh.
    Termasuk kedua pembantu perempuanmu, juga
    diperkosa dan dibunuh, dan...."
    "Tunggu," kata Suto dengan bingung, lalu ia bertanya
    kepada Paman Dubang pengasuhnya itu.
    "Paman, diperkosa itu diapakan, Paman?"
    "Jangan bertanya begitu. Kamu masih anak-anak.
    Sebaiknya...."
    "Sebaiknya cepat lari. Sembunyikan anak
    momonganmu itu Lekas, Dubang Kalau mereka
    melihat Suto, pasti Suto juga akan dibunuhnya.
    Mereka merencanakan menghabisi semua keluarga
    majikanmu itu"
    "Aduh, aku... aku... aku bagaimana, ya? Kakiku
    gemetar sekali dan, yaaah... basah juga akhirnya,"
    sambil Dubang memandang celananya yang basah
    bagian bawah. Itu disebabkan rasa ketakutannya
    begitu besar.
    "Huhh... dasar pengecut. Baru begitu saja sudah
    ngompol" gerutu tetangga yang bersarung merah.
    Tiba-tiba mereka sadar, bocah kecil itu sudah tak ada
    di antara mereka. Salah seorang dari mereka berseru,
    "Lho, di mana Suto tadi?"
    "Ya, ampun... Dia sudah berlari ke arah rumahnya"
    "Celaka Pasti dia menjadi sasaran juga. Ayo, cepat
    kita kejar dia"
    Mereka berempat mengejar Suto. Tapi larinya Suto
    begitu cepat sambil menyelusup di antara pinggiran
    rumah penduduk, mencari jalan pintas menuju
    rumahnya. Rupanya hati anak itu cemas dan tegang.
    Ia mulai menahan kesedihan membayangkan apa
    yang diceritakan tiga tetangga tadi. Ia penasaran,
    ingin melihat kebenaran cerita itu.
    Begitu tiba di depan rumahnya, di balik sebuah pohon,
    Suto bersembunyi. Ia melihat rumahnya terbakar
    dengan api meluap berkobar-kobar. Ia juga melihat
    ayahnya yang renta itu sedang melawan dua anak
    buah Kombang Hitam. Sementara Kombang Hitam
    sendiri hanya terkekeh-kekeh sambil berdiri di
    samping kudanya.
    "Hajar terus si tua bangka itu Hajar jangan sampai
    mati" teriak Kombang Hitam dengan memuakkan hati
    siapa saja yang melihat pertarungan itu.
    Ronggo Wiseso mencoba menahan serangan kedua
    anak buah Kombang Hitam yang datang dari arah
    kanan-kirinya. Kedua tangannya dipakai untuk
    menangkis pukulan yang datang secara bersamaan.
    Ketika tangan itu membuka, kaki kedua anak buah
    Kombang Hitam itu menendang setengah lingkaran
    dan mengenai dada Ronggo Wiseso. Buk, buk...
    "Hegh...?" tubuh Ronggo melengkung ke belakang, lalu
    terhuyung-huyung. Darah segar muncrat dari
    mulutnya. Warnanya hitam kemerah-merahan.
    Kedua anak buah Kombang Hitam yang melancarkan
    jurus kembar itu segera menghentakkan telapak
    tangan mereka, satu di dada kanan, satu lagi di dada
    kiri.
    Bleg... Bleg...
    "Uhggh..." Ronggo Wiseso semakin mendelik matanya.
    Telapak tangan yang datang secara serempak itu
    seperti sebongkah batu besar dihantamkan di kedua
    dadanya. Napas terhenti seketika itu pula. Ronggo
    merasakan ada hawa panas yang membakar rongga
    dadanya, bahkan seluruh isi tubuhnya bagai terbakar
    api. Namun, agaknya lelaki kurus dan berbadan
    sedikit bungkuk itu masih berusaha bertahan. Ia balas
    menyerang dengan sebuah sentakan kaki kanannya
    ke arah perut lawan yang ada di sebelah kanan.
    Plakk... Kaki itu ditangkis oleh lawannya
    menggunakan kibasan tangan. Justru Ronggo Wiseso
    yang menyeringai kesakitan pada pergelangan
    kakinya, terasa linu sekali akibat tangkisan tadi.
    Akibatnya, satu kaki menjadi lemah. Ia jatuh terlutut.
    Tapi kaki kirinya berhasil tetap berpijak pada tanah.
    Hanya saja, sebelum ia melakukan sesuatu gerakan,
    tiba-tiba kedua tangan lawan datang memenggal dari
    kanan-kiri, tertuju pada tengkuk kepala Ronggo.
    Bleg... Bleg...
    "Uhgg..." kepala Ronggo tersentak maju dan darah
    hitam kembali menyembur keluar. Pukulan tangan
    memenggal itu seperti dua batang balok yang
    dihantamkan kuat-kuat di tengkuknya. Ronggo pun
    jatuh tersungkur tak tahan lagi. Brukkk... Saat itu, Suto
    menjerit dari balik persembunyiannya.
    "Ayaaah..." ia berlari mendekati ayahnya yang
    sekarat.
    "Hai, itu pasti anak bungsu Ronggo Tangkap dan
    bunuh anak itu sekalian" seru Kombang Hitam. Ia
    menuding ke arah Suto dengan mata mendelik liar.
    Mendengar seruan itu, Suto tidak merasa takut. Ia
    justru mendekati ayahnya. Kedua anak buah
    Kombang Hitam yang telah merubuhkan ayahnya itu
    menghadang langkah Suto, maka Suto pun berbalik
    mengambil batu dan melemparkan.
    Plak, pletak
    Batu itu mengenai wajah dan kepala
    penghadangnya.
    "Wadow..." seru mereka serempak.
    Suto melarikan diri begitu melihat hidung salah
    seorang yang dilempar berdarah. Kedua anak buah
    Kombang Hitam pun segera mengejarnya. Anak itu
    berlari mencari kesempatan untuk melempar lagi.
    "Anak itu bisa jadi penyakit kalau hidup" geram
    Kombang Hitam. Maka, ia segera naik ke atas kuda
    dan mengejar Suto dengan kudanya itu. Tetapi, Suto
    membelok ke jalan setapak yang sempit di pinggiran
    rumah seseorang. Kuda itu tidak bisa mengejar masuk
    di jalanan sempit itu.
    "Jahanam" geram Kombang Hitam lagi. "Kuremuk
    habis tulang-tulangnya kalau dia tertangkap"
    Kombang Hitam mengarahkan kudanya dengan
    memutar jalan. Ia bermaksud menghadang jalan
    tembus tempat pelarian Suto. Sedangkan kedua anak
    buahnya masih tetap mengejar melalui jalan yang
    diambil Suto.
    Rupanya di ujung jalan tembus itu Dubang telah
    menghadang. Begitu melihat Suto berlari terbirit-birit,
    Dubang segera menyongsongnya. Suto baru bisa
    menjerit.
    "Pamaaan..."
    "Diam. Jangan bersuara" sambil Paman Dubang
    menggendong Suto dan menerabas melalui tanaman
    jagung milik tetangga itu.
    "Pegangan yang kuat, ya? Kita akan lari secepatnya
    lewat celah-celah tanaman jagung ini" kata Dubang
    yang menggendong Suto di belakangnya. Suto pun
    segera berpegangan kuat-kuat dengan kedua
    tangannya. Dubang membawanya lari tunggang-
    langgang. Ia sempat berkata dengan nada tegang dan
    tertekan.
    "Jangan terlalu kuat, itu namanya mencekik leher
    Paman" Lalu ia terbatuk-batuk, karena kedua lengan
    Suto begitu kencangnya memeluk leher sehingga
    napas Dubang sulit dikendalikan.
    "Ke mana mereka?" teriak Kombang Hitam kepada
    kedua anak buahnya. "Aku tadi melihat kelebatan
    anak itu yang digendong seorang lelaki pendek dan
    gemuk"
    "Saya rasa, mereka masuk ke ladang jagung, Ketua"
    "Kalau begitu, kejarlah mereka Kenapa hanya
    bengong saja?"
    Maka kedua orang tersebut segera menerabas
    masuk ke ladang jagung yang rimbun, tinggi tanaman
    itu sudah menyamai tinggi orang dewasa. Sedangkan
    Kombang Hitam yang merasa waswas itu segera
    melarikan kudanya mengikuti tepian ladang jagung.
    Ia akan mencegat di ujung ladang sebelah sana.
    "Wah... bajuku robek, Paman"
    "Biarkan saja" Dubang tetap berlari sambil mencari
    arah yang aman. Ia mendengar suara gemerusuk di
    belakangnya, itu pertanda ada yang mengejarnya di
    dalam ladang jagung itu. Karenanya, ia semakin
    mempercepat larinya bagai membabi buta. Larinya
    sudah tidak tentu arah lagi.
    "Turunkan aku, Paman. Biar aku lari sendiri"
    "Kebetulan" kata Dubang, segera menurunkan Suto.
    Maka mereka lari berdua.
    Beberapa waktu kemudian, mereka berdua berhasil
    keluar dari ladang jagung. Dubang berhenti sebentar,
    mengatur pernapasannya. Di depannya sebuah jalan
    liar menuju kaki bukit.
    "Kita akan ke mana, Paman?" tanya Suto dengan
    ngos-ngosan juga.
    Serial Pendekar Mabuk 01. Bocah Tanpa Pusar
     
Loading...

Share This Page