Bocah Tanpa Pusar eps 3

Discussion in 'Creative Art & Fine Art' started by cerita-silat, Dec 12, 2014.

  1. cerita-silat

    cerita-silat Member

    Joined:
    Dec 7, 2014
    Messages:
    292
    Likes Received:
    6
    Trophy Points:
    18
    Google+:
    "Ke mana sajalah. Ooh... napas Paman seperti mau
    putus, Suto."
    "Tapi mereka mengejar kita di belakang, Paman.
    Kita tak boleh beristirahat di sini. Ayo, lari lagi,
    Paman..."
    "Lari, lari..." sentak Dubang. "Kamu enak, usia masih
    muda. Aku ini yang sudah setengah umur harus lari
    tanpa berhenti, mana bisa?"
    Terdengar suara kaki kuda samar-samar. Dubang
    mulai cemas.
    "Itu mereka, Paman. Biarlah kuhadapi mereka.
    Paman selamatkan diri saja."
    "Jangan berlagak jago kamu. Kamu kan masih kecil
    Ayo, lari lagi."
    Mereka berlari kembali sekuat tenaga. Kali ini mereka
    mendaki tanah perbukitan, melewati celah-celah
    batang pohon. Menerabas semak berduri.
    Kedua anak buah Kombang Hitam muncul, keluar dari
    ladang jagung. Bertepatan dengan itu, Kombang
    Hitam pun berpapasan dengan mereka. Ia berteriak
    dengan kemarahannya.
    "Kalian lagi Huh..."
    "Mungkin mereka masih tertinggal di dalam ladang,
    Ketua"
    "Setan Kenapa masih mungkin? Harus pasti"
    Tiba-tiba mata salah satu anak buahnya itu melihat
    gerakan terburu-buru di antara celah pepohonan. Ia
    menuding sambil berteriak keras.
    "Itu dia"
    "Hiiihk..." kuda yang ditunggangi Kombang Hitam
    meringkik dan melonjak kaget karena suara keras
    tersebut.
    "Kucing kurap Jangan keras-keras. Kudaku kaget"
    "Ketua, mereka mendaki bukit. Saya lihat jelas"
    "Kejar dia Kejaaar..." bentak Kombang Hitam bagaikan
    orang kesurupan. Dan ia sendiri segera bergegas
    mengejarnya dengan tetap menunggang kuda.
    Suaranya berteriak-teriak menghela kuda supaya
    lebih cepat bergerak di kerimbunan semak.
    Jalanan makin mendaki. Di depan ada jurang. Di
    belakang ada pengejarnya. Turun sama saja bahaya.
    Dua anak buah Kombang Hitam tampak berkelebat
    mengejar dari arah bawah. Satu-satunya jalan adalah
    tetap mendaki ke atas. Padahal kaki Dubang seperti
    dibanduli beban berton-ton beratnya. Napasnya
    tinggal seliter lagi. Namun, demi menyelamatkan Suto,
    bocah asuhannya itu, Dubang memaksakan diri untuk
    lari mendaki menjadi penunjuk jalan. Sesekali ia
    limbung dan terhuyung karena lelahnya. Sesekali ia
    menjadi tegak kembali jika mendengar suara ringkik
    kuda. Suto memandang gemas, ingin melawan
    mereka tapi selalu segera ditarik tangannya oleh
    Paman Dubang.
    "Awas, Paman. Hati-hati... di sebelah kanan kita
    jurang yang sangat dalam, Paman."
    "Diam kamu Aku tahu itu jurang" kata Dubang
    dengan hati dongkol, merasa digurui dalam keadaan
    kelelahan begitu.
    Tiba-tiba suara derap kaki kuda kian jelas di
    belakangnya. Dubang menoleh ke belakang, ia
    melihat Kombang Hitam sedang memacu kudanya
    untuk lebih cepat lagi. Kaki Dubang pun kian
    dipercepat. Namun, sayang sekali kaki itu menyampar
    akar pohon yang melintang, sehingga Dubang pun
    tersungkur jatuh ke depan. Buukk... Suto
    menabraknya dan ikut terjatuh.
    "Ngekk..." Tubuhnya tertindih Suto. Ia mencoba
    bangun karena Kombang Hitam berseru, "Mampus
    kalian sekarang, hah...?"
    Terburu-buru Paman Dubang membuat kakinya
    goyah berpijak. Ia terpeleset jatuh ke tepian jurang.
    "Awas, Paman..." teriak Suto terbawa tangan Dubang.
    Tangan kanan Dubang memegangi akar pohon untuk
    menahan tubuhnya yang nyaris merosot ke jurang.
    Sedangkan tangan kirinya berusaha menahan tubuh
    Suto yang sudah bergeser dari punggungnya.
    "Naik, Suto Naik... Cepat naik"
    Tangan Dubang mendorong-dorong tubuh Suto.
    Bocah itu berhasil naik ke atas, berada di dekat
    pohon.
    Tetapi, pada saat itu kuda Kombang Hitam mendekati.
    Dubang berteriak,"Lari Lekas lari, Suto... Lari..."
    "Pamaaan..." Suto bingung, ia ingin membantu
    menolong Dubang agar bisa naik.
    "Cepat lariii..." teriak Dubang dengan gemasnya.
    "Selamatkan jiwamu untuk balas dendam nanti"
    Maka. Suto pun melarikan diri menuju ke atas.
    Kombang Hitam berteriak, "Mau lari ke mana kau
    bocah ingusan... Ha, ha, ha..."
    Suto tetap lari sambil memikirkan kata Dubang tadi.
    Napasnya terengah-engah. Sementara itu, Dubang,
    segera berusaha naik dari tepi jurang.
    Susah payah ia menarik dirinya dengan
    berpegangan pada akar pohon yang berjuntai mirip
    rambut raksasa itu, namun tiba-tiba kedua anak buah
    Kombang Hitam tiba dari pengejarannya. Mereka
    menemukan Dubang dalam keadaan kritis.
    "Nah, ini dia orangnya" kata salah seorang. Yang satu
    berkata pula.
    "Habisi saja dia"
    Dubang cemas dan memohon, "Kang, tolong aku...
    Tolonglah. Nanti kuberi tahu sisa keluarga Ronggo
    Wiseso. Tolong tarik aku ke atas, Kang..."
    "Jangan mau tertipu oleh bujukannya" kata yang satu.
    Yang satunya lagi berkata, "Tapi dia mau memberi
    tahu sisa keluarga Ronggo Wiseso"
    Orang yang diajak bicara itu mendengus, lalu
    mencabut goloknya. Dubang menjadi tegang. Ingin
    memohon sesuatu tak sempat keluar dari mulutnya.
    Orang yang memegang golok itu segera menebas ke
    depan. Crasss... Akar itu dipenggal. Putus. Dan tubuh
    Dubang pun jatuh melayang ke bawah jurang dengan
    jerit yang menggema mengerikan.
    "Aaaa..."
    Suto berhenti dari larinya, ia mendengar jeritan itu. Ia
    makin sedih karena tahu suara itu jeritan Dubang. Ia
    berbalik arah ingin ke tepi jurang lagi, tapi kuda yang
    ditunggangi Kombang Hitam muncul dari semak-
    semak. Suto menjerit kaget, kemudian hanya bisa
    berdiri dengan tubuh gemetar. Pada saat itu, kedua
    anak buah Kombang Hitam pun datang dengan napas
    terengah-engah. Kombang Hitam tertawa terbahak-
    bahak dengan tetap di atas punggung kuda.
    Kemudian, ia berseru kepada anak buahnya.
    "Penggal kepala bocah itul Penggal"
    *
    * *
    3
    JANTUNG bocah yang sudah tidak berbaju lagi itu
    semakin berdebar. Rasa cemas melihat golok tajam
    terhunus membuatnya ia melangkah mundur, mencari
    kesempatan untuk mengambil batu buat dilemparkan.
    Orang yang memegang golok tajam itu mendekat.
    "Kalau berani jangan pakai golok" ucap Suto dalam
    kebingungannya. Kaki gemetar dan celana jadi
    melorot.
    Melihat anak buahnya melakukan tugas dengan agak
    ragu-ragu, Kombang Hitam berteriak dengan
    membentak keras.
    "Penggaaal..."
    Dan, golok berkilat itu diangkat ke atas. Dari sisi
    kanan Suto, golok itu berkelebat menghantam leher
    bocah telanjang dada itu.
    Trangng...
    Orang yang menggenggam golok itu mendelik
    melihat goloknya telah patah, hampir dekat gagang
    tempat yang patah itu. Kini ia hanya memegangi
    gagang golok saja. Tentunya hal itu membuat
    temannya yang satunya terkejut juga, dan Kombang
    Hitam terperanjat. Ia masih duduk di atas kudanya
    sambil matanya melirik kanan-kiri, mencari seseorang
    yang telah mematahkan golok itu dengan
    menggunakan sebutir batu kecil. Batu itu jatuh di kaki
    kuda.
    Kombang Hitam turun dari kuda. Memungut batu kecil
    seukuran kacang tanah itu. Ia mengamat-amati
    sambil bergumam, "Keparat Pasti ada orang berilmu
    tinggi menghalang-halangi niat kita Batu sekecil ini
    bisa dipakai mematahkan golok baja. Hmmm... Mana
    dia...?" mata Kombang Hitam kembali menatap liar ke
    sekelilingnya. Namun yang ada hanya sepi dan sunyi.
    Tak ada tempat yang mencurigakan.
    Kecemasan Suto mereda. Matanya memandang
    golok yang patah dan tak sadar masih digenggam
    oleh pemiliknya. Kombang Hitam merasa semakin
    geram dengan anak itu. Lalu, ia berkata kepada anak
    buahnya yang masih mempunyai golok di pinggang.
    "Penggal Tunggu apa lagi. Cepat"
    Sreet... Golok dicabut lagi. Suto kebingungan. Ia
    merundukkan kepala sambil berkata, "Jangan coba-
    coba menyerangku lagi" Suto masih nekat
    mengancam.
    Baru saja golok diangkat ke atas, belum sempat
    diayunkan. Tiba-tiba terdengar suara nyaring.
    Trangng...
    Kembali golok itu patah. Bahkan menjadi tiga bagian.
    Padahal suara trang tadi hanya satu kali. Dan lagi-lagi
    Kombang Hitam menemukan sebutir batu sebesar
    kacang tanah. Hati lelaki bertubuh besar itu menjadi
    semakin panas. Matanya semakin buas memandang
    sekeliling.
    "Benar-benar keparat" geramnya dengan kedua
    tangan menggenggam kuat-kuat. Batu kecil itu
    digenggam dan hancur berubah menjadi serbuk abu-
    abu. Kecemasan Suto kembali mereda. Ia merasa
    lega, bahwa golok yang akan memenggal lehernya
    itu patah kembali. Itu berarti lehernya masih tetap
    utuh.
    Kombang Hitam berteriak keras, "Siapa kamu, hah?
    Ada urusan apa kamu ikut campur dalam urusanku
    ini?
    Keluarkan batang hidungmu Hadapi aku, Kombang
    Hitam, Ketua Begal Utara Ayo, keluar dari
    persembunyianmu Keluar..."
    Sepi. Tak ada jawaban dan suara yang
    mencurigakan. Bahkan detak jantung pun tak
    terdengar oleh Kombang Hitam. Biasanya ia bisa
    mendengar detak jantung dari orang yang
    bersembunyi. Tapi kali ini, ketika ia memejamkan
    matanya sesaat, ia tidak mendengar detak jantung,
    selain jantung milik mereka dan Suto.
    "Aku tak mendengar ada detak jantung selain milik
    kita," ia berkata kepada anak buahnya.
    "Jangan-jangan anak itu punya kesaktian
    tersembunyi?"
    Kombang Hitam menatap Suto. Bocah yang ditatap itu
    mendengus benci, dan memalingkan kepala.
    Menggumam sesaat dengan mata tak berkedip.
    Kemudian ia berkata kepada kedua anak buahnya itu.
    "Kurasa dia anak yang polos, tanpa ilmu apa pun.
    Ingat saat dia lari, dia lari sebagai bocah biasa. Tanpa
    menggunakan tenaga peringan tubuh, tanpa gerak-
    gerak yang mencurigakan."
    "Lalu, siapa yang telah mematahkan senjata kami,
    Ketua?"
    "Entahlah. Sebaiknya segera kalian periksa keadaan di
    sekeliling tempat ini Periksa dengan teliti, sebelum
    bocah itu kupenggal sendiri dengan pedangku"
    Kombang Hitam segera maju untuk meraih Suto.
    Tetapi, tiba-tiba ia melompat ke samping karena
    merasakan ada hawa panas berkekuatan besar
    sedang mengarah ke dadanya. Begitu ia melompat ke
    samping dan berguling satu kali, kuda di belakangnya
    menjadi sasaran berikutnya. Kuda itu meringkik
    sambil terlempar ke belakang, membentur pohon.
    Jaraknya ada sepuluh tombak dari tempat sang kuda
    berdiri.
    Kuda itu meringkik-ringkik, tak bisa bangun lagi. Dan
    hal itu membuat kedua anak buah Kombang Hitam
    menjadi tertegun bengong tak berkedip.
    "Iblis Laknat" maki Kombang Hitam. Ia bergegas
    bangun. Ia juga memandang kudanya yang patah
    pada keempat kakinya dan kelihatan menyedihkan
    sekali.
    Meringkik-ringkik bagai orang menderita sakit yang
    amat nyeri. Sebagian kulit tubuh kuda yang putih itu
    menjadi memar merah. Terutama pada bagian perut
    dan kaki.
    "Benar-benar ada yang ingin main-main denganku"
    geram Kombang Hitam lagi. "Lekas cari Periksa.
    Tumbangkan semua pohon di sini Bakar semua semak
    yang ada Cepaaat..."
    Kedua anak buah itu bergegas pergi dengan
    perasaan takut akan kemarahan Kombang Hitam.
    Suto juga bergegas pergi. Tapi Kombang Hitam
    membentak.
    "Hai, mau ke mana kamu, hah?"
    "Membakar semak"
    "Yang kuperintahkan anak buahku. Kamu tidak ikut
    kuperintahkan membakar semak Diam di situ kalau
    masih ingin selamat"
    Suto diam, memandang dengan tengil dan berlagak
    tidak takut sedikit pun.
    Di balik semak rimbun, kedua anak buah Suto
    berkasak-kusuk.
    "Mana mungkin kita bisa menumbangkan pohon?
    Golok pun tak punya. Bagaimana ini?"
    "Entahlah. Kita juga tidak memiliki tenaga dalam
    sehebat ketua, mana bisa menumbangkan pohon
    dengan tangan kosong? Membakar semak tanpa api
    pun jelas tak bisa. Kita tidak bisa mengeluarkan api
    dari telapak tangan kita, seperti Ketua."
    "Lalu, apa yang harus kita lakukan?"
    "Tak tahulah...," orang itu tampak bingung dan garuk-
    garuk kepalanya yang dililit kain pengikat kepala.
    "Nyawa kita bisa melayang kalau begini caranya.
    Aku yakin, ada tokoh sakti yang bersembunyi di sini.
    Entah di sebelah mana. Salah-salah, begitu kita
    menemukan dia, kita mati lebih dulu."
    "Iya. Aku juga khawatir begitu. Jelas tokoh itu sangat
    sakti. Setidaknya punya tenaga dalam yang jauh lebih
    sempurna dari yang dimiliki sang ketua."
    "Apakah... apakah sebaiknya kita pergi saja secara
    diam-diam?"
    "Pergi? Oh, sepertinya itu gagasan yang bagus. Ayo,
    lekas tinggalkan hutan ini. Aku yakin, iblis penunggu
    hutan ini sedang mengincar sang ketua. Kalau kita
    mencampuri urusan mereka, jelas tidak seimbang.
    Kita bisa mati konyol",
    "Aku tidak mau, ah Mati konyol jarang mendapat
    sumbangan dari teman. Ayo, pergi pelan-pelan..."
    Kedua anak buah Kombang Hitam berhasil menuruni
    bukit itu. Mereka berlari dari pelan menjadi cepat.
    Sampai tiba di sebuah tempat, tak jauh dari ladang
    jagung, mereka terhenti di sana. Seseorang yang
    menghentikan langkah temannya.
    "Lihat di sebelah timur itu..." katanya dengan nada
    kagum. Temannya memandang menurut arah
    telunjuk.
    Dan ternyata mereka melihat sesosok tubuh berdiri di
    atas sebuah tonjolan batu besar. Tubuh itu bagai
    berada di tempat terang, tanpa dedaunan penghalang,
    sehingga bisa dilihat dengan jelas dari tempat kedua
    anak buah Kombang Hitam itu.
    "Menurutmu dia perempuan atau lelaki?"
    "Sepertinya seorang lelaki berambut panjang meriap.
    Berdirinya begitu tegar."
    Orang yang berdiri di batu itu mengenakan jubah
    ungu. Kain jubahnya melambai-lambai bagaikan
    menari karena hembusan angin. Salah satu anak buah
    Kombang Hitam berkata, "Dia pasti bukan orang
    sembarangan, terlihat dari dandanannya yang ketat
    namun tegas.
    Warna pakaiannya merah, berselubung jubah
    Serial Pendekar Mabuk 01. Bocah Tanpa Pusar
     
  2. Ibay

    Ibay Member

    Joined:
    Nov 11, 2014
    Messages:
    382
    Likes Received:
    19
    Trophy Points:
    18
    Nyimak
     
Loading...

Share This Page