Bocah Tanpa Pusar eps 7

Discussion in 'Creative Art & Fine Art' started by cerita-silat, Dec 13, 2014.

  1. cerita-silat

    cerita-silat Member

    Joined:
    Dec 7, 2014
    Messages:
    292
    Likes Received:
    6
    Trophy Points:
    18
    Google+:
    merah yang berkelebat di depannya. Serta-merta
    tongkatnya dilemparkan dengan tangan kiri. Sekalipun
    memakai tangan kiri, namun tongkat itu melesat
    bagaikan anak panah yang tak dapat dilihat mata
    telanjang. Dan tiba-tiba terdengar suara orang
    memekik. '
    "Aaahg..."
    Bidadari Jalang yang ada di tempat tinggi, di sebuah
    dahan pohon, jatuh terkulai karena
    punggungnya menjadi sasaran tongkat si Gila Tuak
    itu.
    Tubuh Suto pun melayang jatuh sambil anak itu
    menjerit ketakutan.
    "Waaaooow..."
    Wusssh... Taaap...
    Gila Tuak berkelebat cepat. Tubuh Suto tertangkap
    olehnya. Bocah tanpa pusar itu menghembuskan
    napas lega.
    Bidadari Jalang tak sempat menyentuh tanah.
    Kakinya menginjak salah satu ranting semak, lalu
    melenting naik lagi, dan hinggap di salah sebuah
    dahan kecil yang tak mungkin bisa dipakai untuk
    bertengger burung rajawali. Namun nyatanya bisa
    dipakai bertengger Bidadari Jalang. Jika bukan ilmu
    peringan tubuh yang amat tinggi, tidak mungkin
    Bidadari Jalang mampu berdiri di sana.
    Ia sempat nyengir sebentar sambil memegangi
    pinggangnya, kemudian menatap si Gila Tuak yang
    ada di dahan pohon lainnya, lebih tinggi letaknya.
    "Jahanam kau, Gila Tuak" geram Bidadari Jalang.
    Gila Tuak hanya tersenyum. Kumis putihnya sedikit
    naik.
    "Kek... jangan bawa aku terbang, Kek. Aku puyeng,
    Kek. Kepalaku pusing dan... dan... hooek..." , Tiba-tiba
    Suto muntah. Bukan muntah darah. Bukan muntah
    karena pukulan tenaga dalam. Tapi muntah karena
    pusing dan mual perutnya. Gila Tuak berteriak pada
    Bidadari Jalang sambil membungkukkan kepala Suto.
    "Lihat Anak ini mabuk dan bisa sinting gara-gara kau
    bawa lari sana-sini"
    "Persetan Terimalah pukulan 'Gegana'-ku ini.
    Hiaat..."
    Dua jari disentakkan ke depan oleh Bidadari Jalang.
    Dari ujung dua jari itu melesat sinar patah berwarna
    kuning. Arahnya ke wajah si Gila Tuak. Tapi, dengan
    cepat Gila Tuak melompat turun ke bawah. Wusss...
    Bersamaan dengan itu, sinar kuning terang
    membentur pohon tempat Gila Tuak tadi bertengger.
    Pohon itu hanya terguncang sedikit. Daunnya rontok
    sebagian. Tapi masih berdiri tegak. Sedangkan Gila
    Tuak sudah sampai di bawah. Suto semakin muntah
    dibawa terjun begitu cepat.
    "Hoooek... hoooek... Oh, puyeng saya, Kek.
    Puyeng..." ucap Suto lemah sekali. Gila Tuak iba
    melihat anak itu.
    Sebenarnya si Gila Tuak tidak ingin lari. Kasihan Suto.
    Tapi ia melihat Bidadari Jalang turun dari atas pohon
    dengan jubahnya berkibar bagaikan sayap garuda.
    Rambutnya pun meriap terbang dengan membentuk
    keindahan tersendiri. Maka, mau tak mau Gila Tuak
    segera melarikan Suto sambil berkata, "Kapan saja
    kau mau muntah, muntahkan saja. Kakek tidak
    marah terkena muntahanmu, Suto"
    "Sabawana" teriak Bidadari Jalang. "Ke mana pun kau
    lari akan kukejar dan kubuat cacat seumur hidupmu
    Jahanam kau"
    Mendengar seruan itu, Gila Tuak tahu bahwa
    kemarahan Bidadari Jalang sudah mulai mendekati
    puncaknya. Sebab, biasanya jika perempuan itu
    marah sampai memuncak, ia selalu menyebut nama
    asli Si Gila Tuak, yaitu Ki Sabawana.
    Bidadari Jalang berteriak lengking. Nyaring dan keras
    sekali. Suara teriakannya menyerupai sebuah seruling.
    Dan suara itu membuat hewan-hewan hutan menjadi
    kalang kabut. Burung beterbangan sambil mencicit
    bagaikan ketakutan. Ular-ular yang bersembunyi di
    sarangnya melesat keluar. Seakan semua hewan
    yang ada di hutan lereng bukit itu menjadi panik dan
    salah tingkah.
    Sabawana mendekap telinga Suto sambil tetap
    membawanya lari. Kalau saja tangan Sabawana tidak
    mendekap telinga Suto, maka dari dalam telinga itu
    akan mengalir darah segar. Gendang telinga akan
    pecah. Karena Gila Tuak tahu bahwa jeritan lengking
    itu adalah ilmu 'Siulan Peri' warisan Eyang Nini Galih,
    gurunya Bidadari Jalang. Sementara itu, Gila Tuak
    tidak perlu menutup telinganya sendiri dengan tangan
    atau alat apa pun, karena ia telah menyalurkan
    kekuatan tenaga dalamnya untuk menutup gendang
    telinga, melapisinya, hingga tak akan ditembus
    kekuatan 'Siulan Peri' tersebut.
    Gila Tuak terus berlari, Bidadari Jalang terus mengejar
    dengan penasaran. Sampai akhirnya mereka tiba di
    pesisir utara. Tanah yang sepi di pinggiran laut itu
    mempunyai warna yang putih. Tempatnya lega,
    karena tanaman kelapa dan sebagainya berada
    dalam jarak antara dua puluh lima tombak dari tepian
    laut.
    Gila Tuak ingin segera membawa Suto
    menyeberangi lautan dengan menggunakan ilmu
    peringan tubuhnya yang bisa berjalan di atas air
    asalkan ada alasnya. Tetapi, langkah itu terpaksa
    harus terhenti. Di sampingnya Suto muntah-muntah
    lagi sambil merengek.
    "Puyeng, Kek. Aku mual dan puyeng sekali...."
    Juga karena ia memandang aneh di tengah lautan.
    Pada saat itu Bidadari Jalang menyusul dengan
    sentakan suara kemarahannya.
    "Mau lari ke mana kau, Sabawana"
    Mata perempuan itu memandang tajam. Penuh
    pijar-pijar kemarahan. Gila Tuak diam.
    Memandangnya sebentar sambil dalam posisi
    setengah jongkok, karena harus memijit-mijit tengkuk
    Suto yang masih muntah tanpa cairan lagi itu.
    "Nawang, kau lihat perahu yang bergerak itu?
    Perhatikanlah gambar pada layarnya."
    Bidadari Jalang menatap ke laut. Ia sedikit
    terperangah melihat perahu layar bertiang tunggal. Di
    layar itu ada gambar tombak bersilang dengan naga
    melingkar di tengahnya.
    "Iblis Pulau Bangkai" geram Bidadari Jalang setelah
    mengenali simbul pada layar perahu tersebut.
    "Aku tahu kau punya urusan pribadi dengan Iblis
    Pulau Bangkai. Agaknya ia datang untuk membalas
    dendam atas kematian gurunya yang tempo hari
    pernah kau hancur leburkan dengan ilmu 'Guntur
    Baja'. Jelas sekarang murid tunggalnya yang bernama
    Nagadipa sudah menguasai seluruh ilmu Iblis Pulau
    Bangkai. Mau tak mau kau akan berhadapan
    dengannya Nawang Tresni. Demi keselamatan anak
    ini, aku harus menyelamatkannya dan
    menyembunyikannya."
    "Tidak bisa" sentak Bidadari Jalang.
    "Percayalah padaku, Nawang Tresni. Serahkan dulu
    anak ini. Biar kuturunkan seluruh ilmuku padanya,
    nanti kau boleh mengambilnya kembali. Kau tak
    mungkin menghadapi aku dan Iblis Pulau Bangkai itu
    secara bersamaan. Kau pasti kesulitan, Nawang Tresni.
    Hadapilah dulu musuh utamamu itu, setelah itu kalau
    kau mau bikin perhitungan denganku, silakan"
    Bidadari Jalang diam mematung. Matanya menatap
    laju perahu yang tampak semakin cepat mendekati
    arah pantai. Ia berpikir beberapa saat. Ia
    mempertimbangkan kekuatan lawannya yang akan
    datang itu. Ilmu dari iblis Pulau Bangkai cukup
    berbahaya. Dulu ia mengalahkan Iblis Pulau Bangkai
    dalam keadaan belum terkena Racun Birahi. Tapi
    sekarang dalam keadaan seperti ini, mungkinkah dia
    akan unggul melawan murid Iblis itu, yakni Nagadipa?
    Jika menurut perhitungannya. Ia tidak akan unggul,
    apakah harus melarikan diri atau nekat melawannya?
    *
    * *
    6
    SALAH satu hal yang amat dikhawatirkan oleh
    Bidadari Jalang adalah ketampanan Nagadipa. Dulu,
    ketika Bidadari Jalang melawan Iblis Pulau Bangkai,
    hampir-hampir ia terbunuh karena kelengahannya.
    Kelengahan itu disebabkan oleh munculnya Nagadipa,
    yang pada waktu itu belum menjadi tandingan
    Bidadari Jalang.
    Lelaki berhidung mancung dengan mata indah
    memancarkan kelembutan itu hanya diam di salah
    satu sisi, memperhatikan pertarungan gurunya dengan
    Bidadari Jalang. Dan pada waktu itu, Bidadari Jalang
    sering mencuri pandang ke arah lelaki tegap dan
    perkasa itu, sehingga hampir saja pukulan dahsyat
    Iblis Pulau Bangkai mengenai bagian rawannya.
    Pada waktu pertarungan itu terjadi, Bidadari Jalang
    berhasil membunuh Iblis Pulau Bangkai. Kemudian ia
    bermaksud menghampiri Nagadipa, ingin diajaknya
    kencan. Tetapi pemuda itu telah lebih dulu
    menghilang, ia cepat pergi begitu melihat gurunya
    roboh, dan Bidadari Jalang kehilangan jejak. Tetapi
    desir hati Bidadari Jalang pada waktu itu sudah
    menciptakan keindahan yang mengesankan, sehingga
    ketampanan, dan keperkasaan Nagadipa sering
    terbayang dan mengganggu batinnya.
    Sebenarnya mudah saja buat Bidadari Jalang untuk
    mengalahkan Nagadipa nanti. Dengan senyumannya
    ia bisa membuat pria itu tak berdaya, pasrah dan
    dimabuk asmara. Tetapi repotnya, Bidadari Jalang
    pasti tergoda juga birahinya. Padahal setiap birahinya
    muncul, maka kekuatannya akan berkurang dan
    sebagian ilmunya akan rusak, hilang. Karenanya,
    sudah sekian lama Bidadari Jalang menahan diri agar
    tidak mudah terpancing birahi, supaya kekuatannya
    tidak nyaris habis. Memang begitulah akibat terkena
    Racun Birahi.
    Tetapi sekarang ia harus berhadapan dengan
    Nagadipa, yang konon keturunan bangsawan dari
    tanah seberang. Mampukah ia menahan serangan luar
    dalam dari murid Iblis Pulau Bangkai itu? Kalau saja
    Bidadari Jalang mampu melawan jurus-jurus mautnya
    Nagadipa, apakah dia masih mampu melawan
    godaan birahi dari ketampanan Nagadipa? Apakah dia
    mampu menghindari ajakan bercumbu yang terpancar
    lewat mata si tampan itu? Agaknya kebimbangan hati
    Bidadari Jalang tersadap oleh indera keenam si Gila
    Tuak. Karenanya, sebelum kapal itu menepi, Gila Tuak
    sempat mengajukan saran.
    "Pergilah kalau kau ragu. Jangan hadapi dia sebelum
    kau benar-benar yakin akan kemampuanmu, Bidadari
    Jalang"
    "Hmm...," Bidadari Jalang mencibir sinis. "Kau pikir aku
    gentar menghadapi Nagadipa? Sebaiknya kau saja
    yang pergi, bawa anak itu agar tidak menjadi korban
    kemarahan Nagadipa."
    "Menjadi korban? Hmm... apa hubungannya?"
    Dia akan menyangka Suto adalah anakku."
    "He he he...," si Gila Tuak terkekeh. "Mana mungkin dia
    menyangka begitu? Suto dengan kamu tidak punya
    kemiripan sedikit pun. Dan lagi, kalau sampai dia
    mengusik Suto, dia harus bangkit dari kuburnya."
    Perahu semakin dekat. Semakin jelas bentuk layar,
    tiang dan atap rumbia di tengahnya. Gila Tuak segera
    beranjak mundur dan berkata kepada Bidadari Jalang,
    "Aku akan menjadi penontonmu, Bidadari Jalang. Nah,
    selamat bertarung. Tunjukkan kehebatanmu di
    depanku jika kau punya niat untuk merebut Suto
    sebelum anak ini menjadi muridku."
    Weesss... Angin cepat bertiup. Rambut Bidadari Jalang
    tertiup dan berkibar sejenak. Itulah angin kepergian
    Gila Tuak saat meninggalkan Bidadari Jalang.
    Tetapi sebentar kemudian, wuuss.....
    Angin cepat datang lagi. Gila Tuak terkekeh. Ia lupa
    membawa Suto saat pergi tadi. Kini Suto
    digendongnya, dan sebelum si Gila Tuak melesat lagi,
    Suto buru-buru berkata, "Jangan ajak aku terbang,
    Kek.
    Aku sudah sangat puyeng."
    "He he he... baiklah. Mari kita jalan saja, Nak,..,"
    karena menuruti rengekan bocah tanpa pusar itu,
    akhirnya Gila Tuak pun jalan dengan santai, menuju
    ke sebuah tempat, yaitu tebing karang yang tidak
    terlalu tinggi. Dari sana masih dapat ia melihat
    keadaan Bidadari Jalang berdiri bagai termangu
    menunggu kedatangan lawannya.
    Kini, perahu berlayar tunggal sudah menepi. Tetapi
    anehnya belum ada yang muncul dari dalam perahu
    itu.
    Bidadari Jalang sudah mengambil jarak dan bersiap
    siaga menyambut serangan dari dalam perahu jika
    sewaktu-waktu muncul. Tetapi sampai sekian lama ia
    menunggu, yang ada hanya sepi dan sunyi. Tak sabar
    hati Bidadari Jalang, maka ia segera melompat dari
    tempatnya, bersalto di udara satu kali, dan hinggap
    kakinya di buritan perahu.
    Kaki itu menghentak. Jlig... Lalu, ia kembali bersalto
    balik bertepatan dengan mentalnya tiang layar perahu
    dan tiang-tiang penyangga atap rumbia akibat
    hentakan kakinya. Dinding beratap rumbia itu pun
    terpental ke atas bersama atapnya juga. Perahu jadi
    terbuka, dan ternyata tak ada isinya apa-apa.
    Byuuur... Tiang, layar, dinding rumbia, atapnya, semua
    terhempas jatuh ke perairan, bagai habis diledakkan
    oleh suatu kekuatan yang dahsyat. Bidadari Jalang
    hanya berkerut dahi ketika mengetahui perahu tanpa
    isi. Tak ada manusia satu pun di sana, bahkan bangkai
    manusia juga tak ada. Lalu, siapa yang mengarahkan
    perahu ke tepi pantai? Siapa yang membawa perahu
    mendekati Bidadari Jalang? Oh, tentu, saja ada yang
    membawanya. Lalu, ke mana si pembawa perahu itu?
    Apakah bersembunyi di dalam air, di bawah
    perahunya itu?
    "Nagadipa Keluarlah" bentak Bidadari Jalang.
    Matanya memandang tajam tak berkedip di bagian
    bawah perahu. Bisa saja sewaktu-waktu muncul
    serangan dariI bawah sana.
    "Nagadipa...? seru Bidadari Jalang lagi. "Aku tahu kau
    datang mencariku. Aku di sini. Keluarlah Nagadipa"
    Tiba-tiba terdengar suara dari belakang Bidadari
    Jalang.
    "Aku sudah di sini sejak tadi," suara itu pelan.
    Kalem.
    Segera mata dan kepala Bidadari Jalang menoleh ke
    belakang. Oh, ternyata pria tampan berpakaian
    kuning dengan rompi terbuka telah berdiri di belakang
    Bidadari Jalang. Tubuhnya berkulit bersih, walau tak
    terlalu putih. Lengannya kekar, demikian pula kedua
    kakinya yang kokoh. Rambutnya panjang sebatas
    pundak dan mengenakan ikat kepala dari kain
    berbenang emas. Kumisnya tipis, menambah wajah
    itu semakin tampan, Dulu, Bidadari Jalang melihat pria
    itu belum berkumis, Sekarang sudah berkumis, dan
    semakin mempesona dipandang mata.
    "Oh, sial..." keluh Bidadari Jalang dalam hatinya.
    Karena di dalam hatinya ia merasakan desiran yang
    begitu indah, menuntut jiwanya untuk dipeluk pria itu.
    Bidadari Jalang mencoba mengusir perasaan indah
    yang berbunga-bunga itu. Karena ia sadar, Racun
    Birain akan segera bekerja kembali merongrong
    kekuatannya
    "Rupanya kau mau pamer ilmu dulu padaku, ya
    Nagadipa?" kata Bidadari Jalang dengan sinis. Ia
    berkata begitu, karena ia tahu, tanpa memiliki ilmu
    tinggi, Nagadipa tidak mungkin tahu-tahu muncul di
    belakangnya. Itu berarti

    Serial Pendekar Mabuk 01. Bocah Tanpa Pusar
     
Loading...

Share This Page