Bocah Tanpa Pusar eps 8

Discussion in 'Creative Art & Fine Art' started by cerita-silat, Dec 13, 2014.

  1. cerita-silat

    cerita-silat Member

    Joined:
    Dec 7, 2014
    Messages:
    292
    Likes Received:
    6
    Trophy Points:
    18
    Google+:
    Nagadipa telah mampu bergerak cepat tanpa
    menimbulkan suara atau gerakan yang terlihat,
    sehingga tahu-tahu sudah berada di belakang Bidadari
    Jalang.
    Perempuan itu manggut-manggut sambil
    memperhatikan Nagadipa dari kepala sampai kaki. Ia
    melangkah pelan, bagai sedang memperhatikan
    sebuah benda yang sangat dikaguminya. Nagadipa
    diam saja.
    Bahkan memamerkan senyumannya. Oh, hati Bidadari
    Jalang semakin dicekam keindahan melihat senyum
    itu.
    Ia buru-buru mengalihkan pandangan dengan gusar.
    "Mengapa kau tidak menyerangku, Nagadipa?"
    ketusnya.
    "Aku masih ingin menikmati kecantikanmu, Bidadari
    Jalang."
    "Hmm...," Bidadari Jalang mencibir, menutupi rasa
    bangganya mendengar ucapan itu. Katanya lagi.
    "Jangan basa-basi, Nagadipa. Kau datang untuk
    menuntut balas atas kematian gurumu beberapa
    tahun yang lalu, bukan?"
    "Benar."
    "Nah, sekarang lakukanlah pembalasan itu. Aku sudah
    siap."
    Senyum si tampan itu semakin mekar. Oh, begitu
    indahnya. Bidadari Jalang buru-buru buang pandang.
    Wajahnya tegang, namun hatinya melayang. Ia
    hanya melirik sedikit ketika pria itu melangkah
    mendekati bagian pantai yang basah. Nagadipa
    memandang ke arah cakrawala sambil berkata,
    "Bodoh sekali kalau aku membunuhmu sebelum puas
    aku mengagumi
    kecantikanmu, Bidadari Jalang. Wajah cantik dan
    bentuk tubuh yang menggairahkan seperti yang kau
    miliki itu, tidak pernah kutemukan di Pulau Bangkai.
    Bahkan mungkin di seluruh pelosok tanah Jawa hanya
    kaulah yang memiliki wajah dan tubuh seperti itu.
    Jadi, aku terpaksa berpikir, haruskah aku
    membunuhmu demi membalas dendam kematian
    guruku, atau
    membiarkan kau hidup di dalam pelukanku?"
    "Setan buduk Tak perlu kau bicara begitu, Nagadipa"
    geram Bidadari Jalang, sebab kalimat itu semakin
    mengguncangkan hatinya, semakin
    menghadirkan bunga-bunga indah yang mulai
    mengusik birahinya. Bidadari Jalang kian cemas
    dengan dirinya sendiri.
    Tetapi, kecemasan dan kegusarannya diketahui oleh
    Nagadipa, sehingga lelaki tampan itu semakin
    mendayu-dayukan rayuannya.
    "Kalau aku berniat membunuhmu, itu mudah saja.
    Tapi menaklukkan hatimu, merebut perhatianmu,
    menggapai kemesraanmu, itu bukan hal mudah. Lebih
    sulit ketimbang harus meruntuhkan sebuah gunung
    karang...."
    "Tutup mulutmu" bentak perempuan itu dengan mata
    mendelik.
    "Kalau aku menutup mulutku, mana bisa kau
    menikmati kehangatan bibirku ini, Bidadari Jalang?"
    Perempuan itu menggeram jengkel. Kedua
    tangannya menggenggam kuat, menahan sesuatu
    yang ingin berontak dari ujung birahinya. Nagadipa
    berpaling memandang, matanya ditatapkan ke mata
    Bidadari Jalang dengan penuh kelembutan.
    Senyumnya mekar tipis, menawan sekali. Dan ia
    tetap bersikap kalem, sehingga Bidadari Jalang
    semakin penasaran hatinya.
    "Inilah repotnya mempunyai musuh secantik kamu,
    Bidadari. Hasrat membunuhku hilang. Yang timbul
    hanyalah hasrat ingin memeluk kamu dan menciumi
    wajahmu dengan penuh kelembutan."
    "Bukan saatnya untuk bermain kemesraan, Jahanam"
    sambil Bidadari Jalang menggegat giginya.
    "Kemesraan sebentuk perasaan yang tidak mengenal
    tempat dan waktu. Kemesraan berhak muncul kapan
    saja dan di mana saja."
    Mata Bidadari Jalang bertambah tajam menatap.
    Nagadipa jadi punya pujian lain untuk perempuan itu.
    "Oh, jangan kau memandangku begitu, Bidadari
    Jalang. Matamu semakin membangkitkan nafsuku.
    Karena jujur saja kukatakan padamu, bahwa semakin
    tambah waktu semakin matang kecantikanmu,
    semakin besar daya pikatmu. Tak satu pun lelaki yang
    sanggup menghindari daya pikatmu, termasuk aku.
    Luluh lentak hatiku menerima tatapan matamu yang
    begitu
    menggoda hati..."
    Bidadari Jalang kian terbang jiwanya, ia menahan
    gejolak birahi sampai napasnya terengah-engah. Ia
    menahannya kuat-kuat agar tidak terpikat oleh
    rayuan dan pujian itu. Dadanya yang montok naik-
    turun karena napasnya tertahan berat.
    "Oh. Bidadari... jangan bernapas seperti itu. Aku...
    aku... aku semakin luluh di hadapanmu," suara itu
    semakin lemah, wajah tampan itu semakin
    menunduk.
    Bidadari Jalang kian gusar hatinya.
    Dan tiba-tiba ia menyentakkan tangan kanannya ke
    depan dalam keadaan telapak tangan terbuka, ibu jari
    terlipat. Wuug... Ada tenaga yang terpancar keluar
    tanpa sinar. Seketika itu pula tangan kiri Nagadipa
    membuka telapaknya dan melakukan gerakan bagai
    menepis sesuatu dari kiri ke kanan. Tubuhnya miring
    ke kiri. Duubb... Wuuug...
    Kraaak...
    Gundukan batu karang yang berjarak lima belas
    tombak dari tempat mereka berdiri menjadi retak
    bagian tengahnya. Bagian ujungnya pecah berserakan
    di atas. Rupanya tenaga dalam kiriman Bidadari Jalang
    itu dihadang oleh tenaga dalam Nagadipa, dan lelaki
    itu berhasil membelokkan pukulan jarak jauh tersebut
    ke arah gundukan batu karang. Akibatnya batu
    karang itulah yang menjadi sasaran kedua kekuatan
    yang beradu itu.
    Wajah Nagadipa terangkat. Kalem. Senyumnya
    mengembang. Bidadari Jalang mendengus sinis. Ia
    melangkah ke samping pelan-pelan, menunggu
    kesempatan baik untuk menyerang. Sementara itu,
    Nagadipa diam saja. Hanya memandanginya dengan
    sorot pandangan matanya yang lembut.
    la berkata, "Tegakah kau membunuh lelaki yang
    sedang kasmaran padamu, Bidadari Jalang?"
    "Diam" bentaknya. Nagadipa bahkan tertawa dalam
    gumam.
    "Kudengar kau terkena Racun Birahi dari Tibet, ya?
    Apa betul? Apakah karena itu kau menjadi takut
    dengan rayuanku?"
    "Tapi mengapa wajahmu merah jambu? Kau
    menahan malu atau menahan gejolak nafsu, Bidadari
    Jalang?"
    "Persetan dengan penilaianmu. Hiaaat..."
    Bidadari Jalang menggerakkan kepalanya,
    mengibaskan rambutnya yang panjang itu. Rambut
    berputar bagai kipas, menimbulkan hawa panas yang
    menyebar, menghantam tubuh Nagadipa. Wuusss...
    Nagadipa menahan dengan kedua tangan
    disilangkan di depan wajahnya. Kakinya yang
    seketika itu membentuk kuda-kuda, ternyata mampu
    dirobohkan oleh hempasan tenaga dalam Bidadari
    Jalang yang disalurkan melalui kibasan rambutnya itu.
    Nagadipa terjengkang ke belakang dan jatuh
    terduduk dalam jarak tiga langkah dari tempatnya. Ia
    buru-buru berguling ke belakang dan bangkit dengan
    segera dalam posisi siap menerima serangan lagi.
    Bidadari Jalang melentingkan tubuh dan bersalto
    beberapa kali di udara. Terdengar bunyi gemuruh dari
    jubahnya yang mengeluarkan angin bertenaga dalam.
    Kaki Bidadari Jalang tidak menjejak tubuh Nagadipa,
    melainkan sengaja mendarat di depan Nagadipa.
    Lelaki itu tersentak dan tubuhnya sedikit oleng karena
    hempasan tenaga dalam yang disalurkan melalui
    jubah itu. Pada saat tubuh Nagadipa oleng ke
    samping, kaki bidadari Jalang segera menendangnya
    dengan
    tendangan miring.
    "Hiattt..."
    Plak... Nagadipa menangkis dengan satu tangan
    dihentakkan ke samping. Kaki Bidadari Jalang bagai
    dihantam palu godam. Mata kaki yang terkena lengan
    tangkisan Nagadipa itu menjadi sedikit memar
    membiru. Rupanya tangkisan lengan itu dialiri tenaga
    dalam yang cukup besar, sehingga andai bukan
    kakinya Bidadari Jalang, maka kaki itu akan patah
    seketika.
    "Lumayan juga tenaga dalammu, Nagadipa," kata
    Bidadari Jalang. "Pasti kau telah berhasil mempelajari
    kitab peninggalan gurumu itu"
    "Tapi di dalam kitab itu tidak ada pelajaran
    membunuh perempuan cantik yang dikagumi. Jadi...."
    "Hiaaat..." segera Bidadari Jalang menyerang kembali
    sebelum lelaki itu selesai menuturkan rayuannya, Kali
    ini Bidadari Jalang menghantamkan tangannya dalam
    posisi terbuka telapaknya dan berlipat ibu jarinya.
    Pukulan itu terarah ke rahang Nagadipa.
    Namun sebelum pukulan sampai, Nagadipa sudah
    lebih dulu menyambar kaki Bidadari Jalang.
    Prasss...
    Bidadari Jalang jatuh terpelanting, menandakan
    kekuatannya semakin berkurang sejak hatinya
    berdesir-desir mendengar rayuan Nagadipa.
    Dalam posisi jatuh terpelanting itu, Bidadari Jalang
    segera menjejakkan kakinya ke atas, dan pada saat
    itu Nagadipa bermaksud menerkam, memeluk tubuh
    cantik yang menggiurkan itu. Akibatnya, dada
    Nagadipa terkena tendangan kaki Bidadari Jalang. Ia
    tersentak sambil bersuara.
    "Huugh..."
    Tubuh Nagadipa terpental ke belakang dengan satu
    lompatan ringan. Padahal jika bukan Nagadipa, dada
    itu bisa jebol terkena tendangan bertenaga dalam dari
    kaki Bidadari Jalang. Melihat lawannya hanya
    terpental dalam satu lompatan ringan, Bidadari Jalang
    segera berdiri dan menyembunyikan keheranan di
    dalam hatinya.
    "Hebat juga dia. Masih bisa tenang dan tersenyum."
    Nagadipa memang berdiri tegak dan tersenyum.
    Tetapi tiba-tiba ia terkejut karena ada sesuatu yang
    mengalir di sudut bibirnya. Ia buru-buru mengusap
    cairan yang mengalir itu, dan memandangnya dengan
    mata setengah terperanjat. Oh, ternyata darah kental.
    Nagadipa mulai terpancing kemarahannya melihat
    tubuhnya bisa dilukai. Karena di Pulau Bangkai, tak
    ada orang yang bisa melukai tubuhnya. Apalagi yang
    memukulnya hingga mengakibatkan darah kental
    keluar dari mulut, disana tidak ada yang bisa
    melakukan.
    Melihat kening Nagadipa berkerut, Bidadari Jalang
    tersenyum girang, walau bernada tetap sinis. Ia berdiri
    dengan sigap, seakan telah siap menerima serangan
    balasan dari Nagadipa.
    Dugaannya memang benar. Nagadipa menjadi gusar
    melihat tubuh bagian dalamnya berhasil dilukai
    Bidadari Jalang. Maka, ia pun segera membentangkan
    kedua tangannya ke kanan-kiri. Perlahan-lahan
    disatukan kedua telapak tangan itu. Kakinya sedikit
    merendah, dan kesatuan telapak tangan itu
    disodokkan ke depan, ke arah Bidadari Jalang.
    Seberkas sinar perak melayang cepat dari ujung
    tangan Nagadipa. Zlaaap... Arah sinar perak itu ke
    dada Bidadari Jalang. Tetapi dengan cekatan Bidadari
    Jalang mengambil jubahnya dan merapatkan ke
    depan tubuhnya. Bagian dada itu bagai ditutup oleh
    tameng kain jubah ungu.
    Traap... Traas... Traas...
    Sinar perak itu memercikkan api ketika membentur
    jubah ungu. Bagaikan sinar las yang menghantam
    lempengan baja. Bidadari Jalang hanya tersenyum.
    Nagadipa segera menarik kedua tangannya yang
    saling katup itu. Kini tangan itu kembali dihentakkan
    keduanya dalam keadaan telapaknya terbuka ke
    depan.
    "Mata Iblis" teriak Nagadipa. "Hiaaat..."
    Wuung... Blaamm...
    Bola api melesat keluar dari kedua telapak tangan
    Nagadipa. Bola api mula-mula kecil. Namun begitu
    mendekati jubah ungu yang dipakai perisai oleh
    Bidadari Jalang itu, makin tama menjadi semakin
    besar. Dan menghantam kuat jubah ungu tersebut.
    Kekuatan bola api itu cukup besar, seperti sebongkah
    potongan puncak gunung yang dilemparkan ke arah
    Bidadari Jalang. Besar sekali kekuatan yang ada,
    sampai akhirnya tubuh Bidadari Jalang terlempar ke
    belakang dan terkapar di tepian pantai, mulut, hidung,
    dan telinganya mengeluarkan darah.
    Melihat keadaan Bidadari Jalang lemah dan
    mengalami kesulitan untuk bangkit, Nagadipa segera
    menghunus pedangnya yang sejak tadi ada di
    samping kanan. Pedang pendek itu segera dibawa
    mendekati Bidadari Jalang sambil ia berteriak.
    "Sekaranglah saatku membalaskan kematian Guru,
    Hiaaat..."
    *
    * *
    7
    NAGADIPA sangat kaget pada saat ia mau
    menebaskan pedangnya ke leher Bidadari Jalang, tiba-
    tiba tubuhnya terpental jauh sepuluh langkah ke
    belakang. Menurutnya, Bidadari Jalang masih
    mempunyai kekuatan pada matanya yang bisa
    memancarkan tenaga begitu hebatnya, hingga
    membuat tubuh kekarnya terpental. Padahal waktu
    itu keadaan Bidadari Jalang mulai kritis.
    Sementara itu, Bidadari Jalang memendam rasa heran
    melihat lawannya tersentak ke belakang, bagai
    mendapat dorongan yang amat kuat. Kesempatan itu
    dipergunakan oleh Bidadari Jalang untuk mencoba
    bangkit dan berdiri dengan kekokohan kuda-kudanya.
    Terasa nyeri sekujur tubuh Bidadari Jalang, namun ia
    masih sanggup bertahan. Dan bilamana perlu ia masih
    sanggup menjauh meninggalkan pertarungan itu.
    "Jalang," panggil Nagadipa dengan menggeram.
    "Tak ada waktu bagi kita untuk menunda urusan
    dendam ini Biarpun sudah malam, harus tetap kita
    tentukan siapa yang mati di antara kita berdua ini"
    "Majulah kalau kau masih penasaran, Nagadipa Aku
    sudah siap menyambut jurus-jurusmu" Bidadari Jalang
    tak mau kalah sesumbar.
    Sedikit agak jauh dari pertarungan mereka, si Gila
    Tuak dan Suto duduk di atas tebing karang
    berpayungkan petang dan rembulan. Suto habis diurut
    bagian punggung dan dadanya. Rasa mual dan
    puyengnya mulai berkurang. Dan satu hal yang tak
    terpikirkan olah bocah tanpa pusar itu, bahwa sampai
    saat itu ia tidak pernah merasakan lapar sedikit pun.
    Ia tidak tahu, bahwa, si Gila Tuak telah menyalurkan
    hawa dingin yang berguna untuk menutup rasa lapar
    dan haus dalam diri Suto, yaitu saat ia mengurut
    bocah itu tadi. Itulah sebabnya, Suto tidak menuntut
    makanan, hanya menuntut pulang.
    "Mengapa kita masih di sini, Kek? Mengapa kita tidak
    pulang? Bukankah petang mulai tiba?"
    "Menurutmu, kau ingin pulang ke mana? Ke rumah
    mu?"
    Suto menggeleng. Dalam ingatan bocah itu
    terbayang kekejian yang dilakukan Kombang Hitam
    dan anak buahnya, ia juga ingat saat ayahnya roboh
    berlumuran darah dan sudah tentu tak bernyawa lagi.
    Ia juga terbayang melihat kepulan api dan asap yang
    membakar rumahnya. Ia tahu, bahwa dari
    keluarganya tinggal dia sendiri yang hidup dan
    selamat dari kekejian Kombang Hitam.
    Karenanya, Suto menggeleng ketika mendapat
    pertanyaan tadi. Kemudian ia berkata dengan nada
    suara memelas.

    Serial Pendekar Mabuk 01. Bocah Tanpa Pusar
     
Loading...

Share This Page