Bocah Tanpa Pusar eps 9

Discussion in 'Creative Art & Fine Art' started by cerita-silat, Dec 13, 2014.

  1. cerita-silat

    cerita-silat Member

    Joined:
    Dec 7, 2014
    Messages:
    292
    Likes Received:
    6
    Trophy Points:
    18
    Google+:
    "Aku harus pulang ke mana, Kek? Aku tidak tahu."
    "Pulang ke rumahku saja, ya? Kau akan kuangkat
    menjadi muridku. Semua ilmu silatku akan
    kuturunkan kepadamu, Suto."
    "Nanti aku jadi pendekar, ya Kek?"
    "O, iya Kamu akan menjadi pendekar pembela
    kebenaran."
    "Aku juga bisa terbang seperti Kakek dan Bibi
    berjubah ungu itu, ya?"
    "Bisa. Kamu akan bisa seperti itu."
    "Wah, ndak mau aku," Suto merengut. "Lama-lama
    aku bisa sinting lagi"
    Gila Tuak tertawa terkekeh-kekeh. Kepala Suto
    diusap-usapnya. Suto segera berkata, "Kalau aku jadi
    pendekar, nanti terbang cepat seperti tadi, aku bisa
    muntah-muntah lagi, Kek. Aku tidak mau jadi
    pendekar bergelar Pendekar Cepat Muntah."
    Kakek itu semakin terkekeh geli dan berkata,
    "Kalau begitu kamu jadi pendekar sinting saja.
    Namamu Suto Sinting."
    Sekarang Suto yang tertawa dengan menutup
    mulut. Malu, Gila Tuak memeluk anak itu di sela
    tawanya sendiri. Beberapa saat mereka diam. Hanyut
    oleh suara deburan ombak yang menghantam kaki
    tebing karang itu. Mata mereka tertuju pada
    pertarungan Bidadari Jalang dengan Nagadipa.
    Melihat Bidadari Jalang terkena pukulan Nagadipa,
    Suto berkata, "Kasihan Bibi itu, Kek. Dia terkena
    pukulan."
    "Itu salahnya sendiri. Karena dia tidak mau waspada
    dan tidak melatih gerakan lincah."
    "Kalau aku berlatih gerakan lincah, aku bisa
    menghindari pukulan seperti itu, ya Kek?"
    "O, iya Malah kamu bisa menyerang."
    Anak itu tersenyum bangga membayangkan
    kehebatannya sendiri. Ia semakin tertarik
    memperhatikan pertarungan tersebut. Lama-lama
    Suto berkata, "Kasihan Bibi itu, ya Kek? Dia
    menolongku dari kejahatan orang bertampang seram
    itu, tapi sekarang dia menemui musuhnya sendiri. Aku
    ingin mengucapkan terima kasih atas pertolongannya.
    Tapi belum bisa kusampaikan karena Bibi itu sibuk."
    "Tahu berterima kasih itu hal yang baik sekali, Suto.
    Kita hidup memang harus selalu mau berterima kasih
    kepada siapa saja, terutama kepada Yang Maha
    Kuasa. Apa pun pemberian-Nya kita harus berucap
    syukur dan berterima kasih. Itu sangat baik."
    "Tapi aku suka sama Bibi itu. Biar wanita, tapi pandai
    memainkan jurus-jurus silat dan dia pemberani, ya
    Kek?"
    "Memang dia pemberani. Kau sebagai laki-laki juga
    harus lebih berani daripada Bibi Nawang."
    "Nawang itu apa namanya, Kek"
    "Ya. Namanya Nawang Tresni, julukannya Bidadari
    Jalang."
    "Jalang itu apa, Kek?"
    Si Gila Tuak terdiam. Bingung juga memberi
    jawaban atas pengertian kata 'jalang' kepada anak
    seusia Suto. Namun untuk melegakan hati anak itu,
    Gila Tuak hanya bisa menjawab, "Jalang itu... nakal."
    "Ooo... Tapi mengapa Bibi Nawang dikatakan sebagai
    Bidadari? Apakah beliau memang seorang bidadari
    dari kayangan?"
    "Bukan. Julukan Bidadari diberikan kepadanya oleh
    Eyang Guru kami, atas kecantikan Nawang yang mirip
    kecantikan bidadari."
    "O..., lalu, apakah dulunya Kakek dan Bibi mempunyai
    guru yang sama?"
    "Bisa dikatakan begitu, Suto. Sebab, guruku adalah
    suami dari gurunya Nawang. Kami sering dididik
    secara bersama-sama dengan mereka, bahkan sering
    disuruh tarung untuk mengetahui kelemahan kami
    masing-masing. Jadi, kalau sekarang Nawang
    bertarung denganku, maka jelas sulit sekali untuk
    membedakan mana yang menang dan mana yang
    kalah. Nawang juga mempunyai ilmu yang tinggi
    warisan dari gurunya sendiri."
    "Hebat sekali Bibi itu, Kek Sudah cantik, punya ilmu
    tinggi"
    "Bahkan sejak dia masuk dalam golongan hitam, ia
    mempelajari sisa warisan ilmu dari gurunya, yaitu
    ilmu sihir. Dan ia menguasai ilmu itu. Sayang sekali
    keadaan Bibi Nawang sekarang sedang sakit,
    sehingga mungkin dia tidak mau menggunakan
    kekuatan sihirnya untuk melawan Nagadipa itu, atau..,
    atau mungkin sudah hilang akibat racun itu?" kata-
    kata terakhir diucapkan pelan oleh Gila Tuak,
    sepertinya ia bicara pada dirinya sendiri. Ia termenung
    beberapa saat sambil
    memandangi pertarungan tersebut. Suto sendiri juga
    membisu sambil termenung memandang kesana.
    Namun tiba-tiba bocah itu tersenyum sendiri,
    membuat Gila Tuak menjadi heran.
    "Hei, kenapa kau tersenyum sendiri?" sambil Gila Tuak
    menyenggol pundak anak itu dengan pahanya.
    "Tidak ada apa-apa kok, Kek."
    "Ayo Suto katakan apa yang sebenarnya. Jangan
    menipu diri sendiri. Tak baik orang melakukan
    kebohongan, itu sama saja ia membodohkan dirinya
    sendiri. Katakanlah, kenapa kau tersenyum?"
    "Mmmm... anu...," Suto malu-malu. "Bibi Nawang itu...
    ternyata benar-benar cantik, ya Kek?"
    "Oho ho ho...," kakek berjubah kuning itu memeluk
    Suto dan menepuk-nepuk pundak anak itu. "Masih
    kecil sudah bisa menilai begitu. Bagaimana kalau kau
    sudah besar nanti, ya?"
    "Tapi... tapi saya bicara sejujurnya, Kek."
    "Iya, ya, ya... aku tahu kau boleh memberi penilaian
    seperti itu, asal jangan berkhayal yang bukan-bukan?
    Kau masih terlalu muda untuk mengenal lebih dalam
    tentang perempuan."
    Suto menjadi semakin malu. Matanya memandang ke
    bawah. Menunduk takut. Takut ditertawakan dan
    diolok-olok. Beberapa saat kemudian, Gila Tuak
    mengambil tongkatnya. Rupanya tongkat itu bukan
    sekadar tongkat. Tongkat itu merupakan tabung yang
    terbagi dua, yaitu tutup dan tabungnya. Tongkat itu
    bisa dilepas bagian atasnya, dicabut ke atas, dan
    tampaklah rongga tabung tersebut. Kemudian dengan
    mendongak sedikit, Gila Tuak menenggak isi tabung
    yang berupa cairan berbau aneh buat Suto. Anak itu
    bertanya, "Apa yang Kakek minum itu?"
    "Tuak," jawab si Gila Tuak. "Kau mau? Nih, cobalah
    beberapa teguk. Enak kok. Bisa bikin sehat di badan
    kalau tak terlalu banyak."
    Kemudian Suto meneguk tuak dalam tabung tongkat
    itu. Hanya dua teguk Suto menelan tuak itu. Ia segera
    menyeringai dan meringis-ringis sambil bilang,
    "Rasanya kok seperti ini, Kek? Getir dan kecut..."
    "He he he...," Gila Tuak tertawa melihat wajah Suto
    menyeringai lucu setelah minum tuak. Bahkan
    lidahnya dljulur-julurkan dan diusap-usap pakai
    telapak tangannya.
    "Cuih, cuih...," Suto meludah.
    "Kalau kau sudah terbiasa, maka tuak ini menjadi
    minuman yang lezat dan segar. Aku selalu
    meneguknya dalam waktu-waktu tertentu."
    "Cuih..." kembali Suto meludah. "Kek, kepalaku jadi
    puyeng lagi, Kek. Aku bisa jadi sinting nih"
    "Oho ho ho... itu karena tuak ini terlalu keras untuk
    bocah seusia kamu. Nanti kalau kau pulang ke
    rumahku, akan kuberi kau tuak yang tidak keras,
    sehingga enak diminum untukmu."
    "Kek...," kata Suto setelah beberapa saat. "Kok apa
    yang kulihat terasa berputar, Kek? Aku melihat Bibi
    Nawang kok jadi berputar, Kek?"
    "Memang bibimu sedang bersalto di udara, ya
    berputar."
    "Jangan-jangan... aku nanti mabuk, Kek?"
    "Tidak. Kau tidak sampai mabuk. Hanya sedikit
    puyeng, memang. Belum sinting. Tapi anggap saja itu
    perkenalanmu dengan si Gila Tuak ini," sambil Gila
    Tuak menepuk dadanya sendiri.
    "O, jadi Kakek yang berjuluk Gila Tuak."
    "Iya. Karena aku ke mana-mana membawa tuak
    dalam tongkatku"
    "Lalu, besok kalau aku jadi pendekar, aku harus
    membawa apa, ya Kek?"
    "Menurutmu, kau ingin membawa apa kalau sudah
    jadi pendekar?"
    "Hmmm... membawa... membawa singkong bakar
    saja."
    "Singkong bakar?" Gila Tuak tertawa.
    "Eh, jangan singkong bakar, ah Nanti aku dapat
    julukan si Singkong Setan"
    "Pantasnya julukanmu setan singkong saja, he he
    he..."
    Gila Tuak tampak girang sekali mendapatkan bocah
    tanpa pusar itu. Ia mengajaknya bergurau terus.
    Sampai suatu saat, canda mereka terhenti karena
    pekikan Bidadari Jalang. Mata mereka kembali
    terpusat pada pertarungan di sana.
    Rupanya Bidadari Jalang saat ini sedang keteter oleh
    serangan beruntun dari Nagadipa. Kekuatannya
    semakin berkurang, sehingga beberapa kali Bidadari
    Jalang kecolongan. Ia dapat terpukul dan tersentak ke
    sana-sini.
    "Bodoh sekali," gumam si Gila Tuak. "Padahal ia punya
    ilmu 'Sapta Tingal', yang bisa mengecoh musuhnya
    yang merubah diri menjadi tujuh kembar.
    Mengapa tidak digunakan? Apakah 'Sapta Tingal'
    sudah ikut hilang digerogoti Racun Birahi?"
    Suto merasa diajak bicara, sehingga ia berkata,
    "Birahi itu apa toh, Kek?"
    "Belum waktunya kau mengetahui," jawab si Gila
    Tuak dengan mata tetap tertuju pada pertarungan.
    Suto bertanya lagi, "Kalau aku nanti bisa menjadi
    pendekar, apakah aku boleh mengetahui birahi, Kek?"
    "Boleh. Tapi jangan banyak-banyak."
    "Mengapa tidak boleh banyak-banyak?"
    "Karena... karena bisa menyesatkan jiwamu, bisa
    merapuhkan dirimu, jika terlalu banyak birahi. Seperti
    bibimu itu, akhirnya jadi rapuh dan sesat."
    "Lho, kalau begitu Bibi Nawang itu orang sesat, ya
    Kek? Apakah Bibi Nawang itu termasuk orang jahat?"
    tanya Suto dengan rasa ingin tahu terhadap segala-
    galanya begitu besar.
    "Ada yang mengatakan, Bibi Nawang itu orang jahat,
    karena ia ada di pihak golongan hitam. Tapi ada pula
    yang bilang, dia itu orang baik. Tergantung dari sudut
    mana kita memandang."
    "Kenapa begitu?"
    "Karena orang jahat bisa saja berbuat baik, dan orang
    baik bisa saja berbuat jahat. Karena di dalam jiwa
    kita bermukim dua sifat manusia, yaitu baik dan-
    jahat. Sewaktu-waktu salah satu pasti digunakan oleh
    diri kita baik sadar maupun tak sadar."
    Suto diam termenung. Apakah dia merenungi kata
    kata Gila Tuak? Entahlah. Yang jelas matanya kembali
    memandang pertarungan yang bagai disaksikan oleh
    sang purnama di angkasa. Karena kemunculan sang
    purnama itulah maka pantai itu menjadi terang dan
    setiap gerakan bisa dilihat dari tempat Suto dan si Gila
    Tuak duduk dengan santai.
    Gila Tuak mengibaskan tangannya. Hanya jari
    telunjuknya yang dikibaskan menyentil pelan. Pada
    saat itu, tubuh Nagadipa tersentak mundur. Padahal ia
    punya kesempatan melumpuhkan Bidadari Jalang
    lewat belakang. Tubuh yang terpental mundur itu
    membentur batu karang yang tadi retak akibat
    dijadikan sasaran pukulan tenaga dalam mereka
    berdua.
    Keadaan seperti itu, dimanfaatkan oleh Bidadari Jalang
    untuk mengibaskan rambutnya. Dan sekali ini
    Nagadipa terpelanting jatuh dalam jarak lima langkah
    dari tempatnya.
    Diam-diam Suto memperhatikan gerakan jari Gila
    Tuak yang mengibas dalam sentilan pelan tadi. Ia
    menaruh curiga, namun tidak tahu apa alasannya
    mencurigai jarinya Gila Tuak. Yang jelas, kakek
    berambut putih rata itu tetap memperhatikan ke arah
    pertarungan. Bahkan sekarang Suto mendengar kakek
    itu mendenguskan napas satu kali lewat hidungnya.
    Suto buru-buru memandang ke arah pertarungan.
    Kala itu Nagadipa tersentak ke belakang lagi dengan
    tubuh melengkung, kepala sedikit tertunduk. Dari
    mulutnya keluar darah segar. Bidadari Jalang baru
    saja bangkit akibat pukulan jarak jauhnya Nagadipa
    yang mengempaskan tubuhnya ke pasir pantai.
    Melihat hal itu, Bidadari Jalang merasa heran.
    Mengapa Nagadipa memuntahkan darah?
    Keheranan itu disembunyikan. Bidadari Jalang segera
    mengangkat tangannya ke atas, kedua kakinya
    tegak. Dan sekarang satu kakinya diangkat dengan
    terlipat ke belakang. Tangan kanan yang terangkat
    lurus ke atas itu memercikkan bunga api warna biru,
    sepertinya ujung tangan itu berhasil menangkap petir
    di sela terangnya purnama. Kemudian, tangan
    tersebut segera dikibaskan ke depan, ke arah
    Nagadipa.
    Dilakukannya seperti Bidadari Jalang memercikkan air
    pada tubuh Nagadipa.
    Dari kibasan tangan tersebut, memerciklah bunga api
    ke tubuh Nagadipa. Begitu banyaknya bunga api
    berwarna biru kemerah-merahan itu, sehingga
    Nagadipa terguling-guling di pasir sambil memekik
    keras-keras. Ia menjadi kalang kabut karena
    merasakan hawa panas sedang menyerang tubuhnya.
    Karena ia berguling-guling di pasir, maka yang
    seharusnya pakaiannya terbakar menjadi padam.
    Hampir saja tubuhnya hangus terbakar jika tidak
    segera berguling-guling. Karenanya ia segera bangkit
    dan berdiri dengan tegar kembali. Bidadari Jalang
    sedikit kecewa atas serangannya yang terhitung
    gagal itu. Namun ia masih memperlihatkan
    kesigapannya dalam melawan Nagadipa.
    "Jelas sudah, Nawang banyak kehabisan kekuatan
    tenaga dalamnya gara-gara Racun Birahi itu," gumam
    Gila Tuak. "Kalau tidak, pasti ia tidak selamban ini
    dalam melawan Nagadipa. Hmmm... payah sekali dia
    itu. Pasti hatinya tadi tergoda birahi begitu
    memandang lawannya yang tampan. Kalau tidak
    tergoda birahi, tidak mungkin ia banyak melakukan
    kelengahan."
    Tiba-tiba Suto berkata, "Kek, kepalaku kok masih
    puyeng saja?"
    "Kalau begitu, sebaiknya kita segera pulang saja.
    Kamu telah mabuk akibat tuak tadi. Dengan tidur dan
    beristirahat, rasa pusingmu, itu akan hilang."
    "Apakah kita perlu pamit pada Bibi Nawang dulu,
    Kek?"
    "Hmmm... ya, ada baiknya kita pamit ke sana dulu."
    Maka, Gila Tuak segera membawa Suto melangkah
    mendekati pertarungan yang tiada habisnya itu. Suto
    digandengnya, dan langkah mereka tampak santai
    sekali. Suto sempat bertanya, "Kenapa Kakek tidak
    membantu Bibi?"
    "Kalau tidak terpepet, jangan mencampuri urusan
    orang lain, sebab tugas utama kita sebagai manusia
    adalah mengurus dirinya sendiri. Kalau diri kita sudah
    diurus dengan benar dan baik, maka sekali tempo
    boleh kita mengurus orang lain, asal demi kebaikan.
    Sebab, dengan ikut campur urusan orang lain, berarti
    kita harus sudah siap menanggung akibat buruknya."
    Mereka semakin dekat dengan Bidadari Jalang.
    Langkah kaki mereka pun terhenti. Pertarungan
    Bidadari Jalang juga ikut terhenti. Dengan wajah
    pucat Bidadari Jalang berkata ketus kepada si Gila
    Tuak,
    "Jangan ikut campur urusanku"
    "O, tidak. Aku hanya mau pamit saja. Aku bosan
    nonton pertarunganmu yang bertele-tele. Kamu
    seperti

    Serial Pendekar Mabuk 01. Bocah Tanpa Pusar
     
Loading...

Share This Page