Bu Lim Su Cun

Discussion in 'Creative Art & Fine Art' started by cerita-silat, Dec 10, 2014.

  1. cerita-silat

    cerita-silat Member

    Joined:
    Dec 7, 2014
    Messages:
    292
    Likes Received:
    6
    Trophy Points:
    18
    Google+:
    Malam telah larut, musim rontok menjelang habis,
    puncak
    Tay-soat san nan abadi ditaburi salju yang membeku,
    Diatas
    ngarai bersalju di puncak pegunungan yang jarang
    diinjak kaki
    manusia, terlihat sinar pelita kalap-kelip ditengah
    kabut tebal
    yang mengembang datar diatas permukaan bumi.
    Sebuah gubuk reyot dibangun diatas ngarai itu
    terbungkus
    oleh kembang salju, sinar pelita kelap-kelip itu
    tersorot keluar
    dari gubuk reyot melalui celah-celah jendela.
    Kesunyian mencekam alam sekelilingnya dibawah
    cahaya
    pelita yang remang-remang menyinari keadaan
    prabot dan
    suasana yang yang sederhana dalam gubuk reyot
    itu,
    menghadapi pelita kecil diatas meja duduklah dua
    orang
    berhadapan keduanya membisu sekian lamanya.
    Seorang yang duduk diatas adalah seorang nyonya
    cantik
    yang menyanggul rambat diatas kepalanya, pada
    wajahnya
    yang cantik itu terunjuk rasa masgul dan penuh
    gelisah,
    matanya mendelong memandangi pelita entah apa
    yang
    tengah direnungkan, seorang lain yang duduk di
    hadapanaya
    adalah pemuda yang berusia empat-lima belas tahun
    berwajah
    putih cakap. Dengan mendelong ia awasi wajah si
    nyonya
    yang dirundung kesedihan itu, diapun membisu, tak
    berani
    bersuara.
    Suasana yang sunyi ini sangat menekan perasaan.
    Angin
    malam yang dingin diatas puncak pegunungan
    terdengar
    menderu-deru di luar gubuk, sinar pelita bergoyang-
    goyang
    hampir padam, tiada terdengar lagi suara lain.
    "Ibu..." Akhirnya pemuda yang mengenakan jubah
    putih
    panjang itu membuka suara: "Beberapa hari ini kau
    kelihatan
    tidak tenang, adakah sesuatu yang mengganjal
    dalam hatimu
    ataukah badanmu kurang sehat?"
    Setelah diberondong pertanyaan panjang lebar baru
    si
    nyonya kelihatan terbangun dari lamunan, sahutnya
    lemah
    lembut: "Giok-liong, apa yang kau katakan?"
    "Ibu, apakah berapa hari ini badanmu kurang
    sehat ?"
    "Hus, anak bodoh, jangan sembarangan omong.
    Bukankah
    ibumu baik-baik saja."
    "Tidak bu, Giok-liong tahu pasti kau terkenang lagi
    akan
    ayah."
    Si nyonya tertawa dibuat-buat, lalu menghela napas
    dengan masgul tanpa membuka suara lagi.
    "Bu, jikalau hatimu kurang enak, besok kita keluar
    tinggalkan tempat ini untuk menghibur diri, dari pada
    kita
    selalu berdiam ditempat sunyi yang jarang diinjak
    manusia."
    Sekali lagi si nyonya mengunjuk tawa dipaksa,
    sahutnya
    selengan berbisik: "Ya, memang kita harus
    meninggalkan..."
    sampai disini sengaja ia memutar kepala untuk
    menitikkan dua
    butir air mata diatas lengan bajunya.
    "Hm, bu sungguh menyenangkan kita sudah puluhan
    tahun
    tidak pernah keluar..."
    Memang sejak kecil ia sudah di sekam diatas ngarai
    bersalju ini, kini setelah mendengar ibunya melulusi
    untuk
    meninggalkan tempat yang sunyi dan menyebalkan
    ini tanpa
    terasa ia berjingkrak kegirangan, tapi secepat itu ia
    lantas
    berdiri termangu melihat sikap ibunya yang kurang
    wajar itu.
    kata-katanya selanjutnya lantas ditelan kembali,
    pandangannya penuh tanda tanya, katanya
    bertobat : "Bu,
    Giok-liong memang tidak berbakti sampai melukai
    hatimu, Bu,
    jangan kau bersedih hati, untuk selanjutnya Giok-
    ilong tidak
    berani lagi."
    Perlahan-lahan si nyonya angkat kepala, diulurkan
    tangannya yang putih lembut mengusap-ngusap
    pundak Giok
    liong, dengan sorot mata yang penuh cinta kasih dan
    sayang
    ia awasi wajah anaknya, lalu ia tertawa getir dan
    berkata
    halus: "Nak, seumpama kau seorang diri harus
    meninggalkan
    tempat ini, dapatkah kau menjaga dirimu baik-baik?"
    Giok-liong tersendat oleh pertanyaan yang
    mendadak ini,
    sejenak ia tertegun lalu menggeleng kepala,
    sahutnya: "Bu,
    jika kau tidak pergi, Giok-liong juga tidak mau pergi."
    Si nyonya menghela napas panjang yang rendah,
    pandangannya penuh kasih sayang.
    Keadaan dalam gubuk tenggelam lagi dalam
    kesunyian
    yang menekan perasaan, Akhirnya Giok-liong pula
    yang
    memecahkan kesunyian ini: "Bu, sebetulnya
    dimanakah ayah
    berada ? Kenapa dia tidak pernah kembali ?" Tiada
    jawaban.
    "Bu, beritahulah kepadaku, bukankah Giok-liong
    sudah
    besar sampai nama ayahnya sendiri juga tidak
    mengetahui,
    kemana pula dia pergi aku juga tidak tahu . . . "
    "Ai, memang sengaja tidak kuberitahu."
    "Bu, kenapa kau selalu menyimpan rahasia ini ? Kau
    larang
    aku meninggalkan ngarai ini meskipun hanya satu
    tindak pun,
    sampai turun gunung untuk membeli segala
    keperluan juga
    tidak boleh ikut, Aku sudah belajar silat selama
    sepuluh tahun,
    bekal untuk menjaga diri kukira sudah lebih dari
    cukup. . ."
    Saat itu tampak wajah si nyonya jelita itu
    mengunjuk mimik
    aneh yang sudah diraba, bukan saja masgul gelisah
    juga rada
    lega dan riang. Tapi kedua matanya yang indah itu
    berlinang
    air mata.
     
  2. cerita-silat

    cerita-silat Member

    Joined:
    Dec 7, 2014
    Messages:
    292
    Likes Received:
    6
    Trophy Points:
    18
    Google+:
  3. cerita-silat

    cerita-silat Member

    Joined:
    Dec 7, 2014
    Messages:
    292
    Likes Received:
    6
    Trophy Points:
    18
    Google+:
  4. cerita-silat

    cerita-silat Member

    Joined:
    Dec 7, 2014
    Messages:
    292
    Likes Received:
    6
    Trophy Points:
    18
    Google+:

Share This Page