(Cerita Silat) Manusia Setengah Dewa eps 4

Discussion in 'Creative Art & Fine Art' started by cerita-silat, Feb 1, 2015.

  1. cerita-silat

    cerita-silat Member

    Joined:
    Dec 7, 2014
    Messages:
    292
    Likes Received:
    6
    Trophy Points:
    18
    Google+:
    aku tidak akan terluka lagi seperti ini, sehingga kalau
    kau benar-benar sudah tidak berada lagi di sini, aku
    payah mencari obat. Selamat tinggal,Sin-tong dan
    sekali lagi terima kasih."."Selamat jalan, Lo-enghiong,
    semoga lekas sembuh."
    Orang itu berjalan menyeret kakinya yang terluka,
    baru belasan langkah menoleh lagi dan berkata,
    "Benar-benarkah kau tidak mau ikut bersamaku untuk
    bersembunyi, Sin-tong?"
    Sin Liong tersenyum dan menggeleng kepala tanpa
    menjawab.
    "Sin-tong, siapakah namamu yang sesungguhnya?"
    "Aku disebut Sin-tong, biarpun aku merasa seorang
    anak biasa, aku tidak tega menolak sebutan itu. Kau
    mengenalku sebagai Sin-tong, itulah namaku."
    Sin-hek-houw menggeleng kepala, melanjutkan
    perjalanannya dan masih bergeleng-geleng
    dan mulutnya mengomel, "Anak ajaib, anak
    ajaib..sayang.." Dan dia mengepal tinju, seolah-olah
    hendak menyerang siapa pun yang akan menganggu
    bocah yang dikaguminya itu.
    Beberapa hari kemudian semenjak Sin-hek-houw
    datang minta obat kepada Sin Liong, makin banyaklah
    orang yang datang membisikkan kepada anak itu
    tentang geger di dunia kang-ouw tentang dirinya.
    Bermacam-macam berita aneh yang didengar oleh Sin
    Liong tentang
    ancaman dan lain-lain mengenai dirinya, namun dia
    sama sekali tidak ambil peduli dan tetap saja bersikap
    tenang dan bekerja seperti biasa, tidak pernah
    gelisah, bahkan sama sekali tidak pernah memikirkan
    tentang berita yang didengarnya itu.
    Beberapa pekan kemudian, pagi hari dari arah timur
    kaki Pegunungan Jeng-hoa-san tampak berjalan
    eorang kakek seorang diri, menoleh ke kanan dan kiri
    seolah-olah menikmati
    pemandangan alam di sekitar tempat itu, kakek ini
    usianya tentu sudah enam puluhan tahun, tubuhnya
    kurus kecil, pakaiannya penuh tambalan, dan
    wajahnya membayangkan kesabaran
    dan mulut yang ompong itu bahkan selalu
    menyungging senyum simpul keramahan. Dia
    melangkah perlahan-lahan memasuki hutan pertama
    di kaki Pegunungan Jeng-hoa-san,
    langkahnya dibantu dengan ayunan sebatang tongkat
    butut yang berwarna hitam, agaknya
    terbuat dari semacam kayu yang sudah amat tua
    sehingga seperti besi saja rupanya. Agaknya dia
    seorang pengemis tua yang hidupnya serba
    kekurangan namun yang dapat menyesuaikan
    diri sehingga tidak merasa kurang, bahkan
    kelihatannya gembira, menerima hidup apa adanya
    dan hatinya selalu senang. Buktinya ketika dia
    mendengar kicau burung-burung, kakek ini membuka
    mulutnya dan bernyanyi pula Akan tetapi kata-kata
    dalam nyanyiannya itu tentu akan membuat setiap
    orang yang mendegarnya mengerutkan kening,
    karena selain aneh, juga menyimpang dari ajaran
    kebatinan umumnya
    "Apa artinya hidup
    kalau hati tak senang?
    Apa artinya hidup
    Kalau segala keinginan tak terpenuhi?
    Puluhan tahun mempelajari ilmu
    Bekal memenuhi segala kehendak
    Berenang dalam lautan kesenangan
    Matipun tidak penasaran
    Berkali-kali pengemis ini bernyanyi dengan kata-kata
    yang itu-itu juga, suaranya halus dan cukup merdu
    dan sambil bernyanyi dia mengatur irama lagu
    dengan ketukan tongkatnya di
    atas tanah lunak atau kebetulan mengenai batu yang
    keras, ujung tongkat itu tentu membuat lubang.
    Kedua kakinya yang bersepatu butut itu sendiri tidak
    meninggalkan jejak seolah-olah dia tidak menginjak
    tanah akan tetapi tongkat itu membuat jejak jelas
    karena setiap kali melubangi tanah maupun batu.
    Adapun kaki itu sendiri, biarpun menginjak tanah
    basah, sama sekali tidak meninggalkan bekas.
    Beberapa menit kemudian setelah kakek aneh ini
    lewat, tampak berkelebat bayangan orang, juga
    datang dari arah timur melalui kaki bukit itu. Mereka
    itu terdiri dari 12 orang laki-laki dari usia tiga puluh
    sampai empat puluh tahun, dan seorang wanita
    berusia dua puluh lima tahun,
    berwajah manis dan bertubuh bagus dengan
    pinggang ramping. 12 orang laki-laki itu
    kesemuanya kelihatan gagah dan pakaian mereka
    jelas menunjukkan bahwa mereka adalah
    ahli-ahli silat, sedangkan gerakan mereka yang ringan
    cekatan.membuktikan bahwa mereka bukanlah
    sembarangan orang kang-ouw melainkan rombongan
    orang gagah yang berilmu. Hal
    ini memang tidak salah, karena mereka itulah yang
    terkenal dengan julukan Cap-sa-sin-hiap (13 Pendekar
    Sakti) murid-murid utama dari Partai Besar Bu-tong-pai
    "Tahan dulu, para suheng" Tiba-tiba wanita cantik itu
    mengangkat tangannya ke atas dan memperingatkan
    para suhengnya, kemudian dia menuding ke bawah
    dan berkata, "Lihat ini...." Tiga Belas orang ini
    memperhatikan bekas tusukan tongkat pengemis tadi
    yang jaraknya teratur dan biarpun tiba di atas batu,
    tetap saja tampak batu itu berlubang.
    "Siapa lagi kalau bukan dia?" kata gadis itu dengan
    alis berkerut.
    "Tenaga tusukan tongkat yang hebat" kata seorang.
    "Dan jejak kakinya tidak tampak, tak salah lagi, Pat-
    jiu Kai-ong (Raja Pengemis Berlengan Delapan), tentu
    telah lewat disini, dan baru saja. Hayo cepat kita
    mengejarnya Jangan sampai dia mendahului kita
    memasuki Hutan Seribu Bunga" kata orang tertua di
    antara mereka, seorang berusia empat puluh tahun
    yang bermuka seperti harimau.
    Karena kini merasa yakin bahwa jejak lubang-lubang
    itu tentu terbuat oleh tongkat Pat-jiu kai-ong, maka
    tiga belas orang tokoh Bu-tong-pai itu mencabut
    senjata masing-masing dan
    tampaklah berkilaunya senjata tajam itu meluncur ke
    depan ketika tiga belas orang itu
    mengerahkan ginkang mereka dan menggunakan
    ilmu berlari cepat melakukan pengejaran ke
    depan, ke arah jejak berlubang itu. Tak lama
    kemudian terdengarlah oleh mereka bunyi
    nyanyian kakek pengemis tadi. Tiga belas orang ini
    memperlambat larinya dan satu-satunya wanita
    diantara mereka mengomel lirih, "Hemm, dasar
    manusia iblis. Selama hidupnya mengejar kesenangan
    dan demi kesenangan dia tidak segan melakukan hal-
    hal terkutuk yang kejamnya melebihi iblis sendiri
    "Sssssttt, Sumoi, terhadap orang seperti dia kita harus
    berhati-hati. Semenjak dahulu, Bu-tong-pai tidak
    pernah bermusuhan dengan tokoh kang-ouw yang
    manapun juga, tidak pula
    mencampuri urusan mereka. Maka biarlah nanti kita
    bertanya dia secara baik-baik dan kalau tidak
    terpaksa sekali lebih baik kita menghindarkan
    pertempuran." Kata twa-su-heng (kakak seperguruan
    tertua) mereka. Semua sutenya mengangguk, akan
    tetapi sumoinya mengomel,
    "Siapakah yang takut kepadanya?" Dia melintangkan
    pedangnya. Memang nona yang bernama The Kwat
    Lin ini, terkenal berhati keras dan pemberani dan
    memang ilmu pedangnya hebat maka tidaklah
    mengherankan apabila diat terhitung seorang di
    antara Cap-sha Sin-hiap yang terkenal di dunia kang-
    ouw.
    "Sumoi, kita harus mentaati perintah Suhu, agar tidak
    membawa Bu-tong-pai menanam bibit permusuhan
    dengan golongan lain, baik kaum bersih maupun
    kaum sesat. Karena itu, dalam pertemuan ini,
    serahkan saja kepadaku untuk mewakili kalian
    semua"
    Karena maklum bahwa dia tidak boleh melanggar
    perintah gurunya dan bahwa twa-suheng ini selain
    paling lihai juga merupakan seorang yang mewakili
    Suhu mereka, Kwat Lin mengangguk biarpun bibirnya
    yang merah tetap cemberut tidak puas. Dia merasa
    tidak puas melihat sikap jerih yang diperlihatkan para
    suhengnya. Cap-sha Sin-hiap mempunyai nama besar
    di dunia kang-ouw, disegani kawan ditakuti lawan,
    masa sekarang berhadapan dengan seorang tokoh
    sesat saja kelihatan gentar? Suara nyanyian itu makin
    keras, tanda bahwa jarak di antara mereka dengan
    kakek itu makin dekat. Dengan ilmu meringankan
    tubuh yang hampir
    sempurna, tiga belas orang pendekar Bu-tong-pai itu
    dan dapat menyusul dan berkelebatlah tubuh mereka,
    dari kanan kiri dan atas, tahu-tahu mereka telah
    berdiri menghadap di depan kakek pengemis dengan
    sikap keren dan gagah sekali.
    Kakek pengemis itu masih melanjutkan nyanyiannya
    sambil berdiri memandang, dan ketika
    pandang matanya bertemu dengan wajah Kwat Lin,
    dia tidak meyembunyikan kekagumannya.
    Setelah nyanyiannya berhenti, barulah dia tersenyum
    dan berkata, "Eh-eh, apakah kalian ini serombongan
    pemain akrobat yang hendak menjual kepandaian?
    Aku seorang pengemis tidak
    mempunyai uang untuk membayar upah
    kalian"."Harap Locianpwe tidak berpura-pura lagi.
    Kami tahu bahwa Locianpwe adalah Pat-jiu-kai-
    pangcu (Ketua Perkumpulan Pengemis
    Delapan Lengan) yang terhormat. Locianpwe adalah
    tokoh terkenal yang berjuluk Pat-jiu Kai-ong, bukan?"
    Kakek yang mukanya kelihatan sabar dan baik hati
    itu tersenyum, senyumnya juga simpatik dan ramah.
    Tiga belas orang pendekar Bu-tong-pai itu yang hanya
    baru mengenal nama kakek sakti kaum sesat ini,
    diam-diam merasa heran bahkan sangsi apakah benar
    mereka
    berhadapan dengan Pat-jiu Kai-ong yang kabarnya
    kejamnya seperti iblis, karena kakek ini kelihatan
    halus tutur sapanya dan begitu ramah "Ha..ha..ha,
    sungguh sukar jaman sekarang ini untuk bersembunyi
    dan menyembunyikan diri. Orang-orang muda
    sekarang amat tajam
    penciumannya dan penglihatannya, biarpun belum
    pernah jumpa sudah mengenal orang.
    Orang-orang muda yang gagah dan cantik, dia
    memandang Kwat Lin lagi dengan kagum,
    "Tidak keliru dugaan kalian aku adalah Pat-jiu Kai-ong,
    seorang pengemis tua yang hanya memiliki sebatang
    tongkat butut ini. Tidak tahu siapakah kalian dan perlu
    apa kalian
    menghadang perjalananku?" "Kami adalah Cap-sha
    Sin-hiap dari Bu-tong-pai" kata Kwat Lin dan karena
    sudah terlanjur, maka percuma saja twa-suhengnya
    mencegahnya dengan
    pandang matanya. "Benar, kami adalah murid-murid
    Bu-tong-pai, Locianpwe," kata Twa-suheng itu dengan
    hati tidak enak karena sumoinya yang lancang itu
    ternyata telah membuka kartu dan mengaku bahwa
    mereka dari Bu-tong-pai, berarti membawa-bawa
    nama
    perkumpulan mereka.
    "Ha..ha..ha, bagus. Memang Bu-tong-pai mempunyai
    banyak murid pandai, gagah dan cantik sepanjang
    kabar yang kudengar. Akan tetapi kalau tidak salah,
    aku tidak pernah berurusan dengan Bu-tong-pai."
    Melihat sikap kakek itu masih ramah dan kata-
    katanya juga halus dan tidak bermusuh, twa-suheng
    itu menjadi makin tidak enak. Akan tetapi karena dia
    maklum orang macam apa adanya kakek di
    depannya ini, dan betapa Sin-tong yang mereka
    dengar
    merupakan seorang anak ajaib yang luar biasa dan
    sudah menolong manusia dengan
    pengetahuan yang tepat mengenai khasiat
    tetumbuhan yang mengandung obat, maka tetap
    saja dia merasa khawatir akan keselamatan Sin-tong
    itu kalau sampai kakek datuk sesat ini bertemu
    dengan anak itu.
    "Apa yang Locianpwe katakan memang benar. Di
    antara Locianpwe dengan Bu-tong-pai, tidak pernah
    ada urusan. Dan sekali ini, kami orang-orang muda
    dari Bu-tong-pai juga tidak berniat untuk menganggu
    Locianpwe yang terhormat. Hanya kami mendengar
    berita bahwa diantara
    banyak tokoh kang-ouw, Locianpwe juga berminat
    kepada anak kecil budiman yang terkenal dengan
    sebutan Sin-tong dan yang berdiam di dalam Hutan
    Seribu Bunga. Benarkah ini,
     
Loading...

Share This Page