Dendam Iblis Seribu Wajah

Discussion in 'Creative Art & Fine Art' started by cerita-silat, Dec 10, 2014.

  1. cerita-silat

    cerita-silat Member

    Joined:
    Dec 7, 2014
    Messages:
    292
    Likes Received:
    6
    Trophy Points:
    18
    Google+:
    Tiada bintang, tiada rembulan, tiada suara apapun.
    Gelap…
    Apa pun tidak terlihat, pegunungan yang senyap, di
    tengah malam yang pekat.
    Tiba-tiba sekilas cahaya melintas di atas langit.
    Daerah pegunungan yang sunyi tersorot
    sekejap. Eh… apa itu? Sesosok bayangan hitam
    sedang merayap di tengah pegunungan
    Apa yang sedang dilakukannya di tengah malam
    sesunyi ini?
    Tidak ada seorang pun yang tahu. Yang terdengar
    hanya suara hembusan angin yang
    sepoi-sepoi diiringi suara nafas yang tersengal-sengal.
    Kedua macam suara itu lebih mirip
    keluhan yang tragis, membayangkan gelombang
    badai yang akan melanda dunia
    persilatan di kemudian hari.
    Dari kilasan cahaya tadi, dapat terlihat bahwa usia
    orang itu paling banter baru
    menginjak dua belasan. Di atas kepalanya terdapat
    sedikit jambul, wajahnya bersih dan
    tampan. Dengan menggertakkan giginya, dia
    memanjat terus. Meski pun susah payah,
    tapi tampaknya tekad bocah ini keras juga. Sedikit
    demi sedikit dia merayap ke atas.
    Pegunungan ini sangat terjal. Banyak terdapat batu-
    batu yang tajam. Belum lagi jurang
    yang dalam. Kalau melihat dari atas bebatuan yang
    runcing itu akan tampak bagai
    bilahan-bilahan pedang. Bocah itu rasanya tidak
    mengerti ilmu silat. Baru sampai
    pertengahan saja telapak tangannya sudah penuh
    dengan luka sehingga darah mengalir
    dengan deras. Bahkan pada tempat di mana
    tangannya bertumpu, terlihat bekas jejak
    darah yang ditinggalkannya. Betapa mengenaskan
    melihat kebulatan tekad bocah
    tersebut
    Tapi dia sama sekali tidak menyerah. Giginya
    digertakkan semakin erat. Ia sampai
    menggigit bibirnya sehingga berdarah. Dia
    mempertahankan diri sekuat kemampuannya.
    Setindak demi setindak dia terus mendaki daerah
    alam yang berbahaya. Setiap waktu ada
    saja kemungkinan maut mengintai. Didakinya terus
    pegunungan itu meskipun dia sendiri
    tidak tahu apakah dirinya masih sanggup atau tidak.
    Angin pegunungan berhembus kencang, membuat
    pakaiannya yang sudah koyak di
    sana sini berkibaran. Terdengar suara dari kibaran
    bajunya yang terhempas-hempas. Dia
    tidak merasa kedinginan. Keringat menetes dengan
    deras di keningnya. Nafasnya semakin
    memburu.
    Dia masih seorang bocah cilik. Dia juga tidak
    mempunyai tenaga seperti sebuah mesin.
    Baru setengah perjalanan dia sudah merasakan
    tubuhnya letih sekali, urat-uratnya terasa
    seperti mengencang dan hampir putus. Namun
    demikian di dalam hatinya dia punya niat
    besar yang mendukung apa yang dilakukannya,
    perasaan gentarnya pun sirna dan
    tekadnya semakin membara.
    Dia paham sekali bahwa masih banyak urusan yang
    harus diselesaikannya. Dia sadar
    masih panjang perjalanan hidup yang harus
    ditempuhnya. Tanpa memperdulikan segala
    bahaya yang mungkin akan dihadapinya, dia terus
    mendaki menuju puncak gunung
    tersebut. Sebetulnya, apa yang hendak
    dilakukannya?
    Rupanya puncak pegunungan ini merupakan tempat
    suci sebuah perkumpulan yang
    bernama Ti Ciang Pang yang sangat disegani dunia
    Kangouw. Sebuah goa tua yang
    terdapat di bagian paling puncak merupakan tempat
    bersemayamnya jenasah-jenasah
    para leluhur perguruan tersebut.
    Pada suatu hari, tanpa sengaja bocah ini menolong
    seorang tua tanpa nama yang
    sedang terluka parah. Sebelum menutup mata,
    orangtua ini sempat memberikan sebuah
    kitab yang mengandung pelajaran cara merias
    wajah. Orangtua ini juga memberitahukan
    kepadanya tentang kuburan para leluhur Ti Ciang
    Pang ini.
    Ternyata setiap pangcu generasi demi generasi,
    apabila sudah mengetahui bahwa
    ajalnya telah dekat, harus mengikuti peraturan
    perkumpulan mereka, yaitu masuk ke
    dalam goa tua tersebut untuk menunggu ke-matian.
    Meskipun ada pangcu-pangcu yang
    mati dalam pertarungan atau pun musibah lainnya,
    mayat mereka juga harus dibawa oleh
    beberapa orang murid Ti Ciang Pang tersebut dan
    dimasukkan ke dalam goa. Bahkan
    beberapa murid yang terpilih untuk membawa
    mayat pangcu mereka ke dalam goa, juga
    tidak boleh kembali dalam keadaan hidup-hidup. Ini
    merupakan peraturan Ti Ciang Pang
    yang sudah berlangsung selama ratusan tahun.
    Tentu saja setiap pangcu yang mati pasti mempunyai
    benda-benda pusaka kesayangan
    mereka yang dibawa sekalian agar dapat dikuburkan
    bersama jenasah mereka nanti.
     
Loading...

Share This Page