Hikmah Pedang Hijau

Discussion in 'Creative Art & Fine Art' started by cerita-silat, Dec 11, 2014.

  1. cerita-silat

    cerita-silat Member

    Joined:
    Dec 7, 2014
    Messages:
    292
    Likes Received:
    6
    Trophy Points:
    18
    Google+:
    Robekan kain sutera Tian Pek
    Jalan itu lurus membentang sampai di sini, lalu
    melingkar. Tempat yang dilingkari itu adalah
    sebidang
    hutan yang rada lebat, menyusur ke tengah hutan
    itulah jalan ini terus menembus ke sana.
    Meski sudah dekat senja, namun hawa musim panas
    bulan enam masih tetap membuat orang kegerahan.
    Desir angin sedikitpun tidak terdengar, suasana sunyi
    senyap. Semula jalanan itu tiada nampak
    seorangpun, tapi dari kejauhan kini mendadak debu
    mengepul tinggi, berbondong-bondong beberapa ekor
    kuda tampak dilarikan kemari setiba di depan hutan,
    serentak para penunggang kuda itu berhenti.
    Baik kelima ekor kudanya maupun para
    penunggangnya tampak rada aneh, penunggangnya
    memakai seragam baju sutera hijau muda diberi
    wiru benang emas. Bagi orang yang cukup makan
    asam garam, sekali pandang saja akan tahu pakaian
    sutera mereka itu pasti tidak mungkin terbeli oleh
    orang biasa.
    Yang lebih aneh adalah pedal pelana kelima ekor
    kuda itupun bercahaya mengkilap keemasan. Di
    bawah sinar matahari, kelima orang itu dengan kuda
    tunggangnya menjadi gemerlapan dengan cahaya
    keemasan yang menyilaukan mata.
    Sejenak kelima penunggang kuda itu berhenti di situ,
    lalu mereka menjalankan kudanya pelahan-lahan ke
    dalam hutan.
    Salah seorang laki-laki yang bergodek mendorong ke
    belakang ikat kepalanya yang berhias sebutir
    mutiara, lalu memandang sekelilingnya sambil
    berpegangan pelana, katanya kemudian kepada
    teman yang berada di sampingnya:
    "Tempat ini terasa sejuk dan tenang, kukira bolehlah
    kita mengaso saja di sini. Toh sudah pasti sasaran
    kita itu akan
    lewat di sini, biarlah kita tunggu saja di sini dari pada
    capai-capai mencegatnya ke sana. Jika sekali ulur
    tangan segera kita padamkan
    'lenteranya' (maksudnya matanya), nah, baru
    menyenangkan rasanya"
    Lelaki bercambang itu tidak saja tegap dan gagah,
    suaranya juga lantang, dari logatnya dapat diketahui
    orang dari kota raja. Anehnya tokoh macam begini
    mengapa memakai baju demikian? Di balik
    keanehannya menjadi rada-rada ajaib pula.
    Habis berkata, tanpa menunggu tanggapan orang
    lain, segera ia sisipkan cambuknya pada sisi pelana,
    cepat ia melompat turun. Dari gerakannya yang gesit
    dan tangkas itu agaknya kungfunya tidak rendah.
    Kawannya, seorang lelaki tinggi kurus, lantas
    mendengus:
    "Hm, coba lihat, jelas selama ini Loji telah
    menelantarkan kungfunya, baru menempuh
    perjalanan sedikit saja dia sudah kepayahan, kalau
    bisa akan terus menjatuhkan diri ke atas kasur. Cara
    bicaranya juga seenaknya saja seakan-akan
    beberapa orang itu adalah anak buahnya, cukup
    sekali menjulur tangan dan segalanya akan beres."
    Orang yang disebut "Loji" (orang kedua) itu
    menyengir, ia tepuk pantat kudanya sehingga
    binatang tunggangan itu lari ke samping sana.
    Dengan tertawa lalu ia berkata:
    "Toako, bicara terus terang aku memang rada payah
    Kalau saja tidak mengingat kita telah makan tidur
    lebih setahun di tempat orang serta mendapat
    pelayanan yang memuaskan, huh, siapa yang sudi
    bersusah payah lari ke sini di bawah sinar matahari
    seterik ini?"
    Lelaki godek tegap itu menjengek, lalu berkata pula:
    "Toako, rasanya beberapa potong daging yang akan
    datang dari kota raja itu belum terpandang di mata
    diriku si Ji pah-thian ini, sekalipun mereka
    menonjolkan juga orang dari Yan-keng piaukiok,
    coba kau pikir, Toako, si tua bangka dari Yang-keng-
    piaukiok itu mampu memperbantukan tenaga
    andalan macam apa kepada kawanan cakar alap2
    (istilah olok2 terhadap petugas yang sok menindas
    kaum kecil)."
    Orang yang dipanggil sebagai "Toako" yang bertubuh
    tinggi kurus itu kembali mendengus, tiba2 ia melirik
    ke sana dan membentak dengan suara tertahan:
    "Loji, kurangilah ocehanmu"
    Ke empat kawannya serentak memandang ke arah
    lirikan si jangkung itu, terlihatlah seorang lelaki
    dengan baju yang rombeng dan memegang sejilid
    buku rongsokan sedang duduk bersandar pohon di
    tepi jalan sana, matanya tampak terpejam, agaknya
    sudah tertidur, kedua kakinya yang bersepatu butut
    diselonjorkan dengan setengah terpentang.
    Si godek tadi bergelak tertawa, katanya sambil
    menuding lelaki rudin itu: "Toako, terlalulah kau,
    Tampaknya kau menjadi tambah was-was sejak kita
    terjungkal dahulu itu, masa kaum jembel begini juga
    kau kuatirkan?"
    Si jangkung yang dipanggil sebagai Toako itu tidak
    menanggapinya, ia melompat turun dari kudanya,
    lalu mendekati pohon yang agak jauh di sana serta
    berduduk di situ sambil memejamkan mata untuk
    mengumpulkan semangat.
    Saat itu ada angin meniup, si godek yang mengaku
    berjuluk "Ji-pah-thian" (gembong kedua) membuka
    dada bajunya agar bisa mendapat angin, Lalu ia
    mengusap
    cambangnya yang berkeringat dengan tangannya
    yang kasar itu. Gumamnya dengan tertawa: "Wah,
    alangkah nikmatnya jika dapat minum es limun pada
    waktu panas begini."
    Baru habis berkata, seketika matanya terbelalak,
    mendadak dilihatnya di samping si jembel yang lagi
    tidur di bawah pohon itu tertaruh sebuah mangkuk
    porselen bertutup. Di atas tutup mangkuk tampak
    mengembun butiran air, agaknya di dalam mangkuk
    itu benar2 berisi "es limun" seperti apa yang
    dikatakan si godek tadi.
    Mangkuk bertutup itu berwarna biru saphir, halus
    mengkilap, jelas benda tembikar yang bernilai tinggi.
    Tapi si godek ini orang kasar, tidak tahu barang baik,
    yang diincar hanya butiran air di atas tutup mangkuk
    serta membayangkan isi mangkuknya yang segar
    itu.
    Waktu ia berpaling, dilihatnya ke empat saudaranya
    sedang tersenyum padanya, Iapun menyengir, lalu
    mendekati si jembel, ia depak sebelah kaki orang
    yang selonjor itu.
    Keruan orang itu kaget dan terjaga bangun, dengan
    matanya yang sepat ia pandang orang yang
    menyepaknya itu, tampaknya dia merasa bingung.
    Sekarang si godek yang berjuluk Ji-pah-thian itupun
    dapat melihat jelas si jembel ini masih sangat muda,
    wajahnya putih bersih, tergolong cakap, alisnya
    panjang lentik menarik.
    Namun Ji-pah-thian ini memang orang kasar dan
    juga dogol, suka meremehkan urusan apapun juga.
    Melihat pemuda jembel itu sudah mendusin, dengan
    menyeringai ia lantas tuding mangkuk biru itu dan
    bertanya dengan suara kasar: "He, Siaucu (bocah),
    apa isi mangkuk itu"
    Dengan matanya yang masih ngantuk pemuda
    jembel itu menjawab:, "Isi mangkuk ini adalah limun
    peras, sudah semalaman kudinginkan dengan es
    batu, sampai sekarang belum lagi kuminum."
    Si godek bergelak tertawa, tanpa terasa ia menelan
    air liurnya, katanya pula sambil menuding mangkuk
    biru itu:
    "Bagus... bagus sekali Tuanmu sedang kehausan,
    lekas berikan es limunmu itu"
    Pemuda jembel itu kucek2 matanya yang masih
    sepat, tampaknya ia tidak mengerti, dengan
    tergagap2 ia menjawab: "Tapi. . . . . tapi es limun ini
    akan ku minum sendiri, tidak . . . . . tidak boleh
    kuberikan padamu."
    "Apa kau bilang? Berani kau tolak permintaan Toaya"
    bentak Ji-pah-thian dengan mata melotot.
    "Ketahuilah, hari ini hatiku sedang gembira, maka
    kuminta air es dengan baik. Hmm, kalau tak tahu
    diri, sekali tendang bisa keluar kuning telurmu . . . ."
    Belum selesai ia bicara, si jangkung di bawah pohon
    sana telah menghardik: "Loji, jangan berisik." -- Lalu
    katanya pula: "Losam, coba dengarkan Bukankah
    sasaran kita, telah datang?"
    Salah seorang yang kekar pendek segera mendekam
    dan menempelkan telinganya di permukaan tanah,
    sesaat kemudian dengan wajah berseri dia
    menjawab: "Toako, pendengaranmu memang tajam,
    sasaran kita telah datang
    Semuanya ada tiga kereta dan sembilan kuda,
    jaraknya masih ada satu panahan, mungkin
    seperminum teh lagi akan tiba di sini."
     
  2. Edi Sumarno

    Edi Sumarno New Member

    Joined:
    Jun 21, 2014
    Messages:
    7
    Likes Received:
    0
    Trophy Points:
    1
    Wow, bikin inget film-film kungfu kegemaranku yang legendaris;)*bagus*
    motivasi mindset
     
    Last edited by a moderator: Dec 11, 2014
  3. cerita-silat

    cerita-silat Member

    Joined:
    Dec 7, 2014
    Messages:
    292
    Likes Received:
    6
    Trophy Points:
    18
    Google+:
  4. cerita-silat

    cerita-silat Member

    Joined:
    Dec 7, 2014
    Messages:
    292
    Likes Received:
    6
    Trophy Points:
    18
    Google+:
Loading...

Share This Page