Inilah Suku Bajo, Manusia Air dari Indonesia

Discussion in 'Tourism' started by buluxshero, Dec 20, 2013.

  1. buluxshero

    buluxshero New Member

    Joined:
    Dec 20, 2013
    Messages:
    28
    Likes Received:
    0
    Trophy Points:
    6
    [​IMG]



    Manusia perahu atau suku bajo,
    nomaden laut, dan gipsy laut. Ini sebutan bagi suku Bajo yang hidupnya tak bisa jauh dari laut dan selalu berpindah. Namun seiring berjalannya waktu, sebagian kebiasaan suku Bajo yang hidupnya di atas perahu dan berpindah-pindah ini, kini mulai terkikis.Zaman sudah berubah.
    Saat ini banyak suku Bajo yang tinggal dan menetap, dengan membangun
    rumah- rumah panggung di atas perairan laut dangkal. Mereka bahkan sudah kawin-mawin dengan suku-suku lain.Tidak lagi menutup diri, tetapi pelan-pelan berasimiliasi dengan suku dan budaya lain, tak bisa mengabaikan perubahan zaman. Orang Suku Bajo sudah ada yang bersekolah, meraih gelar sarjana. Menjadi guru, polisi, bidan dan kepala desa serta jabatan politik tertentu.Di Perairan Tomini, Kepulauan Togean, mereka menempati sejumlah pulau-pulau kecil, seperti Kulingkinari, Siatu, Selaka, Pulau Enam, Panabali, Kabalutan dan Milok.Di Pulau Kabalutan, Kecamatan Walea Kepulauan, Kabupaten Toja Una-Una, Sulawsi Tengah, permukiman suku Bajo sangat padat sehingga membentuk desa sendiri. Setidaknya 90 persen adalah suku Bajo dari sekitar 3.000 penduduk. Demikian juga di Milok, sebanyak 597 jiwa adalah suku Bajo dari sekitar 850 jiwa.Hampir semua penduduk di Kabalutan, sekitar 99 persen bekerja sebagai nelayan. Sisanya, 1 persen, memiliki mata pencarian yang sedikit berbeda, seperti petani dan pedagang. Menariknya, di dalam porsi 1 persen itu, ada sejumlah orang Bajo yang menjadi petani dan pedagang. Salah satunya adalah Haji Bahir Tambola.Sekolah dan TeknologiBahir Tambola merupakan orang Bajo tertua yang masih hidup yang beralih profesi dari nelayan menjadi pedagang. “Setengah mati saya kalau di laut. Kalau tangkapan banyak, bagus. Biasanya, sudah satu hari melaut
    kadang ikan yang kita dapat cukup hanya untuk dimakan,” kenangnya.Ia memutuskan pindah haluan, setelah sempat mengenyam pendidikan hingga Kelas II SMP di Dunta. Seorang guru mengajarkannya untuk bekerja dengan otak, tidak harus selalu menggunakan fisik. “Pikiran harus jadi modal
    saya. Guru itu mengajarkan saya berhitung,” ucapnya.Bahir Tambola menerapkan ajaran itu dan memutuskan mulai berdagang setelah ia menikahi seorang perempuan keturunan suku Bajo dari pernikahan dengan orang Bugis. Bermodal pinjaman dari mertuanya sebanyak Rp 41.000 pada 1979, ia mengembangkan usaha jual beli beras dan bahan kebutuhan pokok lainnya.Lama-kelamaan usahanya berkembang dan sukses. Ia mampu menyekolahkan anaknya hingga ke jenjang perguruan tinggi di Ampana dan Palu. “Saya kemudian terus mencoba berdagang. Hasilnya saya tabung untuk menyekolahkan anak-anak saya," ujarnya.Saat ini dua anaknya sudah bergelar sarjana, satu anak perempuannya bahkan menjadi guru dan mengajar di Sekolah Dasar di Kabalutan. Kepada empat anaknya, ia selalu berpesan, ”Sekolah bukan untuk meraih gelar, tetapi supaya hidup unggul.”Kisah lain orang suku Bajo yang meninggalkan kebiasaannya tinggal di atas perahu adalah Pou Jafar (60) tokoh adat Suku Bajo di Pulau Selaka. Ia terpaksa berhenti melaut, meninggalkan kebiasan bapongka karena anak-anaknya memasuki usai sekolah. Di samping usianya sendiri semakin menua, tak bisa lagi mendayung sampan pagi-pagi.“Tidak bisa lagi kita orang kayak dulu. Kasihan anak-anak saya kalau saya melaut sampai berhari-hari. Apalagi anak saya sudah sekolah semua," katanya. Pou mengatakan, laut memang sejarah suku Bajo. Namun perubahan zaman harus juga diikuti oleh suku Bajo.Ia tidak bisa mengklaim hidup melaut lebih sukses dari hidup di daerah sebagai petani, atau sebaliknya. Menurut Pou, kedua profesi itu saling melengkapi dan memiliki kekurangan atau kelebihan masing-masing. Suku Bajo terbukti mampu melewati sejarah panjang dalam peradabannya sejak diperintahkan oleh Raja Johor untuk mencari Putri Papu di laut. Demikian juga dengan sejarah masyarakat petani.Tidak semua nelayan Bajo, demikian Pou, hidup berkekurangan. Tidak semua petani hidup berlebihan dibanding nelayan Bajo. Memang nelayan hidup tergantung cuaca, tetapi petani hidup tergantung musim dan hama.Diakui Pou, peran teknologi ikut memanggil Suku Bajo untuk berlabuh ke darat dan menetap. Suku Bajo ingin menonton televisi, menggunakan telepon seluler, mendengar radio dan memutar musik serta berbagai kemaujuan ilmu pengetahunan dan teknologi.
    Agar bisa menikmati fasilitas itu, suku Bajo harus menetap di darat.Kawin-mawinPou juga mengatakan, selain karena keinginan menyekolahkan anak, peralihan profesi suku Bajo juga karena hubungan kawin-mawin. Menurutnya, anggapan bahwa suku Bajo hanya ingin menikah dengan sesama Bajo tidak tepat. Suku Bajo bisa berasimilasi dengan suku-suku lain yang ada di daratan dan bisa hidup berdampingan. Di Indonesia, suku Bajo menyebar di 27 provinsi dan umumnya menempati pesisir pantai.Tidak sedikit di antaranya yang kemudian menjadi petani, pedagang, buruh pabrik dan sebagainya. Kesulitan utama suku Bajo untuk menjadi petani, kata Kepala Desa Kabalutan Syaiful Sofyan karena tidak terbiasa dan tidak ada lahan yang hendak dikerjakan. “Begitu kembali ke darat. Semua lahan sudah ada pemiliknya. Kalau di laut tidak ada yang bisa mengklaim batas,” katanya.Demikian juga alasan kenapa suku Bajo lebih banyak di atas perahu dibanding di daratan atau setidaknya hanya di pesisir pantai dan pulau-pulau kecil tanpa penghuni sebelumnya.“Semua pulau sudah ada penghuninya. Sudah ada pemiliknya. Suku Bajo bangun rumah di atas laut, tidak ada perebutan lahan. Kalau sudah penuh di satu lokasi, kita cari pulau kecil lain. Lebih bebas kan?” katanya. Selain di Indonesia, suku Bajo juga diklaim telah menyebar di hampir seluruh negara di dunia, kecuali Amerika Latin. Hanya saja, selain di Indonesia dan Malaysia sendiri, suku Bajo paling ditemukan di Filipina.Hal ini, kata Syaiful Sofyan, menunjukkan bahwa pada dasarnya suku Bajo bisa membaur dengan siapa pun. Di Perairan Tomini, suku Bajo bisa hidup berdampingan dengan suku Bugis, Gorontalo, Togean, Saluan, Bobongko, dan Kaili.

    sumber: sinarharapan
     
  2. ayahnyanadia

    ayahnyanadia Well-Known Member

    Joined:
    Apr 4, 2013
    Messages:
    1,369
    Likes Received:
    153
    Trophy Points:
    63
    Google+:
  3. firman

    firman Member

    Joined:
    Aug 31, 2014
    Messages:
    335
    Likes Received:
    14
    Trophy Points:
    18
  4. Grant Verleend

    Grant Verleend Active Member

    Joined:
    Sep 10, 2014
    Messages:
    1,234
    Likes Received:
    35
    Trophy Points:
    48
    Google+:
    Sayang fotonya gak ada yaaaaa
     
  5. AhmadWafa

    AhmadWafa Member

    Joined:
    Oct 2, 2013
    Messages:
    870
    Likes Received:
    16
    Trophy Points:
    18
    Google+:
    Fotonya kena Silang X . . . :3
     
  6. Silmi Alimatul

    Silmi Alimatul Member

    Joined:
    Apr 14, 2018
    Messages:
    409
    Likes Received:
    7
    Trophy Points:
    18
Loading...

Share This Page