Jodoh Rajawali - kho ping hoo

Discussion in 'Creative Art & Fine Art' started by cerita-silat, Dec 11, 2014.

  1. cerita-silat

    cerita-silat Member

    Joined:
    Dec 7, 2014
    Messages:
    292
    Likes Received:
    6
    Trophy Points:
    18
    Google+:
    Kaisar pertama yang bertahta di Kerajaan Ceng-
    tiauw, yaitu kerajaan penjajah Mancu yang
    menguasai Tiongkok, merupakan kaisar yang sampai
    puluhan tahun dapat mempertahankan
    kedudukannya, mengatasi banyak pemberontakan
    dan perebutan kekuasaan. Kaisar tua ini mulai
    bertahta dalam tahun 1663 dan dapat
    mempertahankan kedudukannya ini selama lima
    puluh sembilan tahun
    Pada awal tahun 1700 terjadilah pemberontakan dua
    orang pangeran kakak beradik, yaitu Pangeran Liong
    Bin Ong dan Pangeran Liong Khi Ong, adik-adik tiri
    kaisar pertama itu, ialah Kaisar Kang Hsi. Dua orang
    pangeran yang mencoba untuk berkhianat terhadap
    kaisar itu melakukan pemberontakan yang nyaris
    menggulingkan kedudukan kaisar, atau sedikitnya
    telah menggegerkan kota raja. Akan tetapi akhirnya
    berkat bantuan para menteri dan panglima yang
    setia, apalagi karena bantuan Puteri Milana yang
    terkenal gagah perkasa dan pandai, pemberontakan
    itu dapat digagalkan, bahkan dua orang pangeran
    pengkhianat itu dapat ditewaskan.
    Akan tetapi, pemberontakan ini dengan segala
    akibatnya menggores hati kaisar yang sudah tua itu,
    karena, pertama dia merasa kecewa dan terkejut
    melihat kenyataan betapa dua orang adik tiri yang
    dipercayanya itu betul-betul melakukan
    pemberontakan terhadapnya. Ke dua, melihat bahwa
    dia terpaksa membiarkan dua orang adiknya itu
    tewas. Dan ke tiga, perpecahan-perpecahan yang
    diakibatkan oleh pemberontakan itu diantara
    ponggawa dan pembantunya.
    Lima tahun telah lewat sejak pemberontakan itu
    dapat ditumpas. Namun, biarpun pemberontakan
    telah dipadamkan dan dua orang pangeran tua itu
    telah tewas, peristiwa yang mengakibatkan
    perpecahan di kalangan atas, dan mengakibatkan
    timbulnya sikap curiga-mencurigai di antara mereka,
    mempunyai pengaruh besar terhadap para pembesar
    atasan yang mempengaruhi pula para anak buah
    mereka dan terasa pula ketegangan-ketegangan
    yang timbul di antara kelompok satu dan kelompok
    lain sehingga rakyat pun merasa gelisah.
    Peristiwa itu banyak mengurangi kedaulatan dan
    wibawa Kaisar Kang Hsi. Kaisar tua itu tidak kuat lagi
    mengendalikan kemudi pemerintahannya yang
    dilanda gelombang perpecahan itu. Banyak raja-raja
    muda, gubernur-gubernur dan panglima-panglima
    komandan barisan di perbatasan yang menguasai
    daerah propinsi yang jauh letaknya dari kota raja,
    sedikit demi sedikit dan secara halus tidak menyolok
    mulai memisahkan diri dari pusat. Mereka itu masing-
    masing menyusun kekuatan dan berusaha mengatur
    daerah kekuasaan masing-masing seperti seorang
    raja. Semua hasil pemungutan pajak dan lain-lain
    mereka simpan sendiri, dan kalau pun sebagai basa-
    basi mereka masih mengirimkan hasil daerah
    mereka ke kota raja, maka yang dikirim itu tidak
    ada artinya dibandingkan dengan hasil yang masuk.
    Tentu saja tidak semua pembesar bersikap demikian.
    Banyak pula yang semenjak semula berpihak
    kepada kaisar, masih merupakan pembesar yang
    setia. Oleh karena itu timbullah pertentangan diam-
    diam antara para pembesar dan pertentangan ini
    tentu saja menimbulkan keadaan yang kacau dan
    tidak aman. Biarpun dari pusat sendiri tidak atau
    belum ada tindakan apa-apa, namun antara para
    pembesar yang setia kepada kaisar dan yang
    hendak memisahkan diri, terdapat pertentangan baik
    secara sembunyi-sembunyi maupun secara terang-
    terangan sehingga sering pula terjadi pertempuran-
    pertempuran kecil antara pembesar yang
    mempertahankan daerah kekuasaannya masing-
    masing hanya karena urusan perairan, urusan
    perdagangan dan lain-lain.
    Semua bentuk permusuhan, baik dimulai dari
    permusuhan perorangan sampai kepada perang
    dunia, adalah pencetusan dari sifat mementingkan
    diri pribadi dan manusia. Sifat mementingkan diri
    pribadi ini yang didorong oleh keinginan mengejar
    kesenangan, menimbulkan ambisi-ambisi pribadi dan
    dalam pengejaran ambisi-ambisi pribadi inilah terjadi
    kekerasan, saling menjegal, saling merobohkan dan
    saling membunuh demi mencapai ambisi pribadi.
    Kalau hanya begitu saja kiranya masih mending,
    akan tetapi yang lebih celaka lagi adalah kenyataan
    bahwa di dalam pengejaran ambisi pribadi itu, dalam
    menghadapi saingan, mereka tidak segan-segan
    untuk mempergunakan tenaga orang lain, bahkan
    tidak segan-segan mengorbankan orang-orang lain
    yang tak terhitung banyaknya, dengan
    menggunakan kedok perjuangan dan sebagainya
    yang muluk-muluk untuk menutupi dasar perbuatan
    mereka yang sesungguhnya, yaitu demi kepentingan
    diri mereka sendiri Hal seperti ini merupakan
    kenyataan dalam kehidupan manusia, kenyataan
    yang terjadi berulang-ulang selama ribuan tahun
    lamanya, namun sampai kini pun masih ada saja
    manusia yang berhati srigala bermuka domba,
    mengorbankan banyak orang demi tercapainya cita-
    cita atau ambisi mereka dan menggunakan slogan-
    slogan muluk, dan anehnya masih banyak pula
    orang-orang yang begitu bodohnya, mudah saja
    diperalat oleh beberapa gelintir orang dengan umpan
    slogan muluk-muluk.
    Demikianlah, daerah-daerah yang berbatasan antara
    propinsi, bahkan antar karesidenan atau kabupaten,
    sering kali terjadi kekacauan dan permusuhan
    karena perpecahan itu. Dan siapakah yang men
    derita? Lagi-lagi rakyat jelata. Di waktu perang
    terlanda oleh kejamnya peperangan, dirampok dan
    dibakar. Di waktu damai terlanda kejamnya para
    pembesar atau penguasa yang korup. Demikianlah
    nasib rakyat kecil yang tidak berdaya. Akibat
    pertentangan-pertentangan antara pembesar yang
    memperebutkan kebenaran mereka sendiri itu tentu
    saja melalaikan penjagaan dan muncullah segala
    macam orang yang biasa mempergunakan ke
    kacauan untuk mengail di air keruh,yaitu kaum
    maling, rampok, bajak dan sebagainya. Hal seperti ini
    tentu saja mendatangkan perasaan prihatin dalam
    hati para pembesar yang berjiwa pahlawan, yang
    berjiwa pemimpin dan yang benar-benar
    mementingkan kehidupan rakyat jelata.
    Akan tetapi, Kaisar Kang Hsi yang sudah tua itu sama
    sekali tidak menyadarinya. Bahkan kematian dua
    orang adlk tirinya itu, pemberontakan mereka itu
    membuat dia merasa tidak suka kepada orang-orang
    yang menentang dua orang adiknya yang
    memberontak itu, karena dianggapnya bahwa
    merekalah yang membuat dua orang pangeran itu
    tidak suka dan memberontak. Mulailah kaisar ini
    menyingkirkan orang-orang yang tidak disukainya ini,
    orang-orang yang dengan gigih menentang dua
    orang pangeran pemberontak. Sikap kaisar seperti ini
    tentu saja mengakibatkan terpecahnya para
    pembantu yang dekat dengannya, yaitu mereka
    yang prihatin melihat ulah kaisar, dan mereka yang
    menggunakan kesempatan ini untuk menjilat.
    Penjilatan ini pun hanya merupakan percerminan dari
    keinginan menyenangkan diri pribadi yang ingin
    mencari kedudukan, dan penjilatan itu hanya
    merupakan “cara” mereka untuk dapat mencapai
    ambisi mereka. Mulailah bermunculan “jari-jari maut”
    dan “bibir-bibir berbisa” yang tunjuk sana-sini, bisik
    sana-sini untuk menjatuhkan fitnah kepada orang-
    orang yang dibenci.
    Melihat keadaan ini, para pembesar yang setia
    kepada negara mulai melakukan gerakan halus,
    diam-diam mereka mencalonkan seorang kaisar baru
    untuk menggantikan kaisar yang lalim itu. Mereka ini
    tidak rela melihat pemerintah dan rakyat dirusak
    oleh ulah kaisar tua yang agaknya sudah pikun.
    Akan tetapi, orang yang paling merasa sengsara
    hatinya adalah seorang panglima besar yang
    merupakan orang paling tinggi pangkatnya di dalam
    angkatan perang Kerajaan Ceng-tiauw. Orang ini
    bukan lain adalah Jenderal Kao Liang, yang diangkat
    menjadi panglima besar setelah pemberontakan itu
    dapat ditumpasnya. Akan tetapi, melihat sepak ter
    jang kaisar, Jenderal Kao yang jujur itu tidak rela dan
    tidak dapat diam saja. Pada suatu hari, dengan
    terang-terangan dia menghadap kaisar dan
    memperingatkan kalsar akan penyelewengannya.
    baca selengkapnya di http://cerita-silat.mywapblog.com
     
Loading...

Share This Page