kisah 2 saudara seperguruan

Discussion in 'Creative Art & Fine Art' started by cerita-silat, Dec 10, 2014.

  1. cerita-silat

    cerita-silat Member

    Joined:
    Dec 7, 2014
    Messages:
    292
    Likes Received:
    6
    Trophy Points:
    18
    Google+:
    Pada tiga puluh tahun yang lalu, dengan sebuah
    kereta
    keledai, penulis berangkat ke luar daerah perbatasan.
    Ialah
    pada bulan kesembilan dari musim ketiga, tanah
    datar ada
    belukar, hingga bumi nampaknya nempel dengan
    langit.
    Sesudah melalui beberapa puluh lie, sang maghrib
    telah
    mendatangi. Di sekitar kita tidak ada rumah orang.
    Selagi kita
    mulai sibuk, tiba-tiba kita dengar tindakan kaki kuda
    di
    sebelah belakang. Dua penunggang kuda lagi
    mendatangi.
    Tapi, setelah mendekati kita, suara tindakan jadi
    kendor.
    Nyata orang tidak lewati kita. Diam-diam kita
    kuatirkan orang
    jahat.
    Dari dua penunggang kuda itu, yang kita lihat selagi
    kita
    menoleh ke belakang, yang satu berumur empat
    puluh tahun
    lebih, yang lainnya, tiga puluh lebih, dua-dua
    romannya keren,
    samar-samar kelihatan pedangnya masing-masing.
    Selagi kita
    berkuatir, tiba-tiba mereka liwati kita, kudanya
    dikaburkan,
    selagi liwat, mereka menoleh. Nampaknya mereka
    heran tapi
    mereka kabur terus.
    Belasan lie lagi kita sudah pergi, kita tetap tidak
    melihat
    rumah orang. Sekarang sang maghrib sudah datang,
    kita jadi
    bingung, lebih-lebih setelah melihat dua orang tadi. Di
    mana
    kita mesti bermalam?
    “Lihat” tiba-tiba kusir berseru, seraya tangannya
    menunjuk
    ke depan.
    Sebuah bukit kecil berada di depan kita, di tengah
    itu,
    nampak satu kuil tua. Di situ banyak pepohonannya.
    Kita
    segera menuju ke sana, dan berhenti di antara
    pepohonan.
    Kita mendaki sedikit akan hampirkan kuil itu. Kita
    mengetok
    pintu sekian lama, baharu kita dengar jawaban
    seorang tua:
    “Pintu tidak dikunci, masuk saja”
    Pekarangan dalam dan pendopo ada sunyi. Beberapa
    ekor
    lawa-lawa beterbangan sambil cecowetan. Di tengah
    pendopo,
    duduk bersila seorang niekouw, ialah pendeta
    perempuan
    yang usianya sudah lanjut. Dia duduk diam bagaikan
    patung.
    Selagi menantikan, kita lihat sebuah pohon besar,
    besarnya
    kira-kira sepelukan. Yang aneh ialah, di batang pohon
    itu ada
    dua buah tapak tangan yang dalam, tapak seperti
    dikorek.
    Sekian lama kita menunggu, niekouw itu tetap diam
    saja,
    maka dengan hati-hati, kita nanjak di tangga, selagi
    kita
    hampirkan bagian belakang orang alim itu,
    sekonyongkonyong
    dia menoleh dan kata sambil tertawa: “Tuan-tuan
    tentulah sudah letih.”
    Sedetik saja kita lihat, sepasang mata yang tajam
    dan
    bersinar, sebuah muka yang sudah keriputan, akan
    tetapi, kita
    percaya di masa mudanya, niekouw itu mesti cantik
    luar biasa.
    “Pinnie masih belum selesai,” kata pula niekouw itu,
    “silakan Tuan-tuan menantikan sebentar di kamar
    samping
    sana.”
    Kita masuk ke kamar yang ditunjukkan, kamar itu
    tak
    berperabot kecuali sebuah meja dengan beberapa
    patungnya.
    Di situ ada sebuah tokpan yang luar biasa dengan
    setangkai
    bunganya, yang harum. Di pojok tembok, ada
    sekumpulan
    rumput, entah pepohonan apa.
    Heran aku pikir, di tempat suci seperti ini, ada sebuah
    kuil
    dengan pendetanya perempuan.
    Sembari menantikan si pendeta, aku keluarkan sejilid
    kitab
    Wei Mo Tjhing, untuk dibaca guna menenteramkan
    hati.
    “Sungguh kau rajin, Tuan” tiba-tiba aku dengar
    suaranya
    si pendeta selagi aku membaca belum lama.
    “Apakah kau
    merasa aneh bahwa di tempat sesunyi ini ada
    sebuah kuil
    serta pendetanya? Mari kita pergi ke ruangan sana.
    Pinnie
    telah sediakan thee pahit untuk melenyapkan
    dahaga. Sembari
    minum, nanti pinnie tuturkan satu dan lain mengenai
    keadaanku.”
    Kita terima baik undangan itu, sambil keringkan dua
    cawan
    thee.
    Segera juga niekouw tua ini bicara tentang agama
    Budha
    serta agama Lhama, yang ada suatu cabang dari
    Budhisme,
    hanya Lhamaisme ada kecampuran kebiasaan-
    kebiasaan
    setempat yang zaman modern anggap tahayul.
    Umpama satu
    pendeta dari Tionggoan, sukar tancap kaki di Tibet
    apabila dia
    tidak turut segala kepercayaan kaum Lhama. Atau
    kalau dia
    tidak mengerti ilmu “telan golok muntahkan api”, dia
    mesti
    punya suatu kepandaian lain yang istimewa,
    umpama obatobatan.
    “Dan guruku adalah suatu niekouw, murid dari
    angkatan
    ketiga dari satu pendeta yang merantau ke Mongolia
    dan Tibet
    pada seratus tahun yang lampau. Guru besar itu
    dapatkan
    kedudukannya di sini karena ia bisa letaki burung di
    telapakan
    tangannya tanpa burung itu mampu terbang pergi.
    Maka
    akhirnya, guru besar itu bisa dirikan tiga buah biara,
    antaranya ini yang sekarang pinnie tempati….”
    Selagi pendeta ini berkata demikian, hujan, yang
    sudah
    mulai turun sekian lama, menghembuskan angin ke
    dalam,
    menyingkap selembar kain penutup patung-patung di
    atas
    meja hingga kelihatanlah di situ sebuah patung lelaki
    yang
    romannya cakap dan gagah.
    Pendeta itu terkejut, matanya bersinar, tapi lekas
    juga
    menjadi tenang pula.
    “Jangan heran Tuan, itulah gambarnya tunanganku,”
    katanya kemudian.
    Kenapa satu niekouw mempunyai tunangan?
    Pendeta itu berikan keterangannya tanpa diminta
    lagi.
    “Tunanganku telah terbinasa pada tiga puluh tahun
    yang
    lalu, binasa teraniaya di tangannya satu musuh,”
    demikian
    penjelasannya. “Dia ada satu murid dari Golongan
    Silat Thay
    Kek Pay, sejak muda ia telah merantau, tapi
    kemudian ia
    binasa di tangannya satu manusia rendah. Oh, tak
    sanggup
    aku menutur terlebih jauh. Cukup kalau pinnie
    terangkan,
    untuk tunanganku itu, sudah tiga puluh enam tahun
    lamanya,
    pinnie lakoni ini macam penghidupan sunyi………”
    Angin di luar meniup makin keras, hujanpun tambah
    besar,
    suaranya terdengar nyata di pohon besar di luar kuil.
    Sekonyong-konyong tampangnya si pendeta
    berubah,
    agaknya terkejut. Ia lantas ambil beberapa biji
    tasbih, ia
    timpukkan itu keluar, ke udara. Mulanya ia
    menimpuk satu
    biji, lantas nyusul yang kedua. Ini yang belakangan
    kebentrok
    sama yang pertama, yang lagi jatuh turun. Keduanya
    lantas
    perdengarkan satu suara nyaring. Enam biji dia
    timpukkan,
    tiga kali terdengar suara beradu itu.
     
Loading...

Share This Page