• Komunis? Nasionalis? Seperti yang Kita Ketahui, Banyak Sumber telah Menceritakan Bahwa Tan Malaka memiliki peran yang cukup besar dalam Partai Komunis Indonesia (PKI). Ia pengagum berat ajaran-ajaran Marx dan Lenin. Tahun 1921 ia menjadi ketua PKI menggantikan ketua PKI saat itu, Semaun, yang sedang berada di Moskow. Namun, pada perkembangan selanjutnya, Tan agak berseberangan dengan beberapa tokoh komunis dalam negeri seperti Semaun, Alimin, Darsono, dan Musso. Hal ini bermula pada rapat PKI tanggal 25 Desember 1925 di Prambanan, Semarang, yang memutuskan mengadakan pemberontakan terhadap Belanda. Tan menilai PKI tidak siap melakukan hal itu. Ia meramalkan banyak kegagalan yang bakal dituai PKI dalam aksi itu. Ia menulis sebuah buku Massa Actie (Aksi Massa) untuk dijadikan bahan pembelajaran bersama sebelum sebuah aksi pemberontakan digelar. Buku Massa Actie yang ditulisnya di Singapura tidak sampai sasaran, belakangan malah dijadikan para nasionalis sebagai bahan pembelajaran melawan imperialisme. PKI tetap melakukan aksi pemberontakan terhadap Belanda di beberapa daerah di Jawa dan Sumatera pada 12 November 1926 sampai 12 Januari 1927. Target pemberontakan mereka banyak yang gagal. Banyak pemimpin PKI yang ditangkap dan dibuang. Namun Tan diakui di dunia internasional. Ia tetap menjadi anggota Komintern (Komunis Internasional), menjadi pengawas untuk Indonesia, Malaya, Filipina, Thailand, Burma, dan Vietnam. Dengan beberapa kawan ia mendirikan Partai Republik Indonesia (Pari) di Bangkok pada bulan Juni 1927. Tan Malaka yang lahir pada tahun 1897 adalah seorang yang di masa kecilnya mewarisi tradisi Minang: rajin sembahyang, tidur di masjid, dan hapal Qur’an. Nama lengkapnya Ibrahim Datuk Tan Malaka. “Saya lahir dalam keluarga Islam yang taat. Ibu-bapak saya keduanya taat dan orang (yang) takut kepada Allah dan jalankan sabda Nabi,” tulisnya dalam buku Islam dalam Tinjauan Madilog. Ignas Kleden, sosiolog, menyebutnya Tan Malaka “Marxis tulen dalam pemikiran, tapi nasionalis yang tuntas dalam semua tindakannya.” Salah satu pandangan Tan tentang agama ada dalam baris-baris kalimat berikut, yang diucapkannya saat berpidato di kongres Komunis Internasional tahun 1922 di Rusia: “Kami telah ditanya di pertemuan-pertemuan publik: Apakah Anda Muslim — ya atau tidak? Apakah Anda percaya pada Tuhan — ya atau tidak? Bagaimana kita menjawabnya? Ya, saya katakan, ketika saya berdiri di depan Tuhan saya adalah seorang Muslim, tapi ketika saya berdiri di depan banyak orang saya bukan seorang Muslim, karena Tuhan mengatakan bahwa banyak iblis di antara banyak manusia!” Di hari Pancasila nanti, baiknya kita merenungkan bahwa tidak semua orang yang dekat dengan PKI dan komunisme tak memberikan sumbangsih apa pun bagi kemajuan bangsa ini. Tidak perlu menjadi seorang sejarawan dengan disiplin ilmu yang ketat untuk berpikir jernih tentang masa lalu. Dan Sangat disayangkan, di masa kini banyak orang yang masih antipati dengan hal-hal tertentu, seperti komunisme, tanpa pernah berusaha tahu paling tidak sekilas tentang tentang hal-hal tersebut. Demikian pula dengan Tan Malaka. Tan Malaka jelas-jelas seorang yang tidak anti-Tuhan. Waktu saya membaca karyanya yang berjudul Pandangan Hidup, saya terkesan dengan wawasan yang ia miliki dalam hal filsafat dan agama. Ia menjabarkan berbagai ilmu filsafat dan agama yang telah membentuk kehidupan di dunia ini dari teori evolusi Darwin, Islam, Kristen, Yunani, India, dan masih banyak yang lainnya Serta yang sangat ingin saya tambahkan disini, “Gerakan-Gerakan komunis belakangan ini” perlu lah meninjau kembali dirinya masing-masing, Karena Komunis adalah Buah pemikiran Demi keberlangsungan tatanan hidup berbangsa dan bermasyarakat, Bukanlah sebuah Bentuk Baru Penghambat dalam Berlangsungnya Kenegaraan mencapai cita-cita bersama, apapun Perbedaan dalam idiologi Berbangsa tidaklah Kemundian menjadi Mutlak diambil sebagai alasan melakukan Tindakan-tindakan yang Radikal Dan mengancam Kutuhan kebangsaan saat ini.