Dengan bersuara berketoprakan dalam maka dua ekor kuda telah dikaburkan di antara tanah yang berpasir kuning di gurun dari wilayah Hweekiang, hingga di belakangnya menaik mengutaklah debu tinggi sekira dua tombak. Dua ekor kuda itu kabur bagaikan berkejar-kejaran, karena yang seekor di depan, yang lainnya disebelah belakang. Kuda yang di sebelah depan itu, yang tinggi, berbulu putih dan tinggi besar badannya. Penunggangnya adalah seorang nyonya muda di dalam tangan siapa ada terangkul seorang nona umur tujuh atau delapan tahun. Kuda yang di belakang, yang berbulu merah marong, penunggangnya adalah seorang pria yang tubuhnya jangkung kurus. Hanya di punggung kiri dia ini ada menancap sebatang anak panah, terus mengeluarkan darah, hingga darahnya itu mengalir ke kudanya, terus menetes jatuh ke pasir, terus meresap ke dalam tanah... Tidak berani pria itu mencabut anak panah yang mencelakainya itu. Ia jeri. Ia menginsafinya, asal ia mencabutnya, pasti ia bakal roboh dari kudanya itu. Ia tidak takut mati apabila itu perlu, hanya... Siapa nanti mengurus isterinya yang cantik itu, serta anaknya yang manis, yang tengah kabur di sebelah depannya itu? Sedang di belakang mereka ada lagi mengejar musuh-musuh mereka yang telengas... Kuda merah itu sudah lari beberapa puluh li, hampir habis tenaganya, bekas dicambuki dan didupaki, atau dijepit perutnya, dia sampai susah bernapas, badannya bermandikan keringat, mulutnya mengeluarkan busa putih. Toh dia masih dipaksa lari keras. Maka akhir-akhirnya, kaki depannya lemas dan tertekuk, menyebabkan badannya roboh ngusruk Si pria mempertahankan diri, ia tidak kurang suatu apa, akan tetapi kudanya itu, setelah meringkik menyayatkan satu kali, rebah tanpa berkutik lagi... "Engko..." ia memanggil. "Engko, kau... kau... bagaimana?" Pria yang dipanggil engko itu mengerutkan kening dan menggelengkan kepala. Di belakang mereka, jauhnya masih beberapa lie, terlihat debu mengepul tinggi. Itulah tanda dari rombongan si pengejar... Nyonya muda itu memutar balik kudanya, untuk menghampirkan suaminya. Ia sekarang melihat anak panah di punggung suami itu, melihat darah hidupnya bercucuran. Sang suami hampir pingsan. Ia menjadi sangat kaget. "Ayah... ayah" si anak berkata kaget. "Punggungmu ada anak panahnya..." "Tidak apa" berkata si pria, menyeringai, lantas tubuhnya mencelat, berlompat naik ke punggung kuda di belakang isterinya. Dia telah terluka tetapi gerakannya masih gesit dan lincah. Sang isteri menoleh, mengawasi dengan mata menyayang. "Engko, kau..." katanya halus. Sang engko tidak menyahuti, hanya kedua kakinya menjepit perut kuda mereka, atas mana si kuda putih berjingkrak dan lari kabur pula. Kuda ini kuda jempolan, dia telah lari pesat berpuluh- puluh lie, dia masih terus dapat lari keras, hanya kali ini, larinya menjadi berkurang kecepatannya. Semenjak tadi dia belum dapat mengaso sedikit juga, sekarang penunggangnya bertambah, tidak heran apabila sangat sulit untuknya dapat mempertahankan kekuatannya terus menerus, tetapi dia tetap kabur, dia seperti mengerti yang majikannya itu tengah menghadapi ancaman mara bahaya... Di sebelah belakang, rombongan pengejar mendatangi semakin dekat, setindak demi setindak. Sama sekali mereka itu berjumlah enam puluh tiga orang, mereka pun membekal seratus sembilan puluh ekor kuda, dengan begitu setiap ada kuda yang letih, kuda itu lantas ditukar. Benar semua kuda itu sama-sama lari tetapi tanpa penunggangnya, letihnya kurang banyak. Dari caranya mereka itu mengejar, terang sudah, mereka bertekad bulat untuk mendapatkan orang- orang yang dikejar itu, ialah si suami isteri serta anak daranya yang masih kecil itu. Selagi mengaburkan kudanya, si pria jangkung kurus itu berpaling ke belakang. Ia mengawasi. Dengan datangnya orang semakin dekat, ia bisa melihat kepada mereka itu, makin lama makin tegas. "Adik Hong, aku hendak mohon sesuatu dari kau" katanya kemudian. Sebelumnya membuka mulut, ia menggigit dulu kedua giginya erat-erat. "Sudikah kau meluluskannya?..." Si nyonya muda, sang isteri, menoleh. Ia tertawa manis. "Selama hidup kita bersama, pernahkah sekali jua aku menampik keinginanmu?" ia balas menanya, suaranya halus. "Bagus" berkata suami itu. "Hong, sekarang kau bawa kabur si Siu, anak kita ini. Biarlah dia dapat melindungi darah daging kita berdua Biarlah dia pun dapat menyelamatkan peta Istana Rahasia Kobu..." Isteri itu menyahuti, suaranya bergemetar. "Engko," katanya, "apa tidak baik peta ini kita serahkan pada mereka dan kita menyerah kalah? Dirimu... dirimu lebih penting..." Mendadak sang suami mencium pipi kiri isterinya itu. "Hong...," katanya, suaranya lembut, "kita berdua sudah mengalami banyak sekali bahaya, selamanya kita dapat lolos, maka mungkin kali ini kita bakal lolos juga... Kau harus ketahui, Luliang Samkiat bukan melainkan mengarah peta ini, mereka... mereka juga menghendaki parasmu yang cantik" "Justeru karena itu, mungkin aku dapat minta mereka..." "Tapi" memotong suami itu, "apakah kita menunduki kepala untuk memohon sesuatu dari lain orang? Kuda ini tidak kuat membawa kita bertiga, maka itu lekaslah kau pergi..." Sekonyong-konyong ia mencelat, kedua tangannya dilepaskan, tubuhnya terangkat dari punggung kuda, maka jatuhlah ia ke tanah, terdengar jeritannya: "Aduh..." Nyonya itu terkejut. Segera ia menahan kudanya, untuk dikasih balik, guna menghampirkan suaminya. Ia mengulurkan sebelah tangannya, dengan niatan menarik suami itu untuk naik pula atas kudanya. Tapi sang suami menolak, matanya bersorot gusar, dia mengawasi bengis Adalah biasanya, ia senantiasa menurut kepada suaminya itu, maka juga kali ini, dengan merasa sangat tertindih hatinya, ia memutar pula kudanya, untuk dikasih lari pergi, meninggalkan suami itu bercokol seorang diri di tanah pasir dengan lukanya yang parah itu... Rombongan pengejar yang terdiri dan enam puluh tiga orang itu melihat orang jatuh dari kudanya dan ditinggal pergi isterinya, mereka itu bersorak-sorai, di antaranya ada yang berteriak-teriak: "Pekma Lie Sam roboh Pekma Lie Sam roboh" Mereka lantas terpecah menjadi dua rombongan, yang belasan menghampirkan langsung Pekma Lie Sam itu, yang empat puluh lebih mengejar terus si nyonya dan puteri ciliknya.
selengkapnya lihat di http://cerita-silat.mywapblog.com/daftar-cerita-silat-terbaru-1-versi-terb.xhtml