Kuda Putih

Discussion in 'Creative Art & Fine Art' started by cerita-silat, Dec 11, 2014.

  1. cerita-silat

    cerita-silat Member

    Joined:
    Dec 7, 2014
    Messages:
    292
    Likes Received:
    6
    Trophy Points:
    18
    Google+:
    Dengan bersuara berketoprakan dalam maka dua
    ekor
    kuda telah dikaburkan di antara tanah yang berpasir
    kuning di
    gurun dari wilayah Hweekiang, hingga di
    belakangnya menaik
    mengutaklah debu tinggi sekira dua tombak. Dua
    ekor kuda
    itu kabur bagaikan berkejar-kejaran, karena yang
    seekor di
    depan, yang lainnya disebelah belakang.
    Kuda yang di sebelah depan itu, yang tinggi, berbulu
    putih
    dan tinggi besar badannya. Penunggangnya adalah
    seorang
    nyonya muda di dalam tangan siapa ada terangkul
    seorang
    nona umur tujuh atau delapan tahun. Kuda yang di
    belakang,
    yang berbulu merah marong, penunggangnya adalah
    seorang
    pria yang tubuhnya jangkung kurus. Hanya di
    punggung kiri
    dia ini ada menancap sebatang anak panah, terus
    mengeluarkan darah, hingga darahnya itu mengalir
    ke
    kudanya, terus menetes jatuh ke pasir, terus
    meresap ke
    dalam tanah...
    Tidak berani pria itu mencabut anak panah yang
    mencelakainya itu. Ia jeri. Ia menginsafinya, asal ia
    mencabutnya, pasti ia bakal roboh dari kudanya itu.
    Ia tidak
    takut mati apabila itu perlu, hanya... Siapa nanti
    mengurus
    isterinya yang cantik itu, serta anaknya yang manis,
    yang
    tengah kabur di sebelah depannya itu? Sedang di
    belakang
    mereka ada lagi mengejar musuh-musuh mereka
    yang
    telengas...
    Kuda merah itu sudah lari beberapa puluh li, hampir
    habis
    tenaganya, bekas dicambuki dan didupaki, atau
    dijepit
    perutnya, dia sampai susah bernapas, badannya
    bermandikan
    keringat, mulutnya mengeluarkan busa putih. Toh dia
    masih
    dipaksa lari keras. Maka akhir-akhirnya, kaki
    depannya lemas
    dan tertekuk, menyebabkan badannya roboh
    ngusruk
    Si pria mempertahankan diri, ia tidak kurang suatu
    apa,
    akan tetapi kudanya itu, setelah meringkik
    menyayatkan satu
    kali, rebah tanpa berkutik lagi...
    "Engko..." ia memanggil. "Engko, kau... kau...
    bagaimana?"
    Pria yang dipanggil engko itu mengerutkan kening
    dan
    menggelengkan kepala.
    Di belakang mereka, jauhnya masih beberapa lie,
    terlihat
    debu mengepul tinggi. Itulah tanda dari rombongan si
    pengejar...
    Nyonya muda itu memutar balik kudanya, untuk
    menghampirkan suaminya. Ia sekarang melihat anak
    panah di
    punggung suami itu, melihat darah hidupnya
    bercucuran.
    Sang suami hampir pingsan. Ia menjadi sangat
    kaget.
    "Ayah... ayah" si anak berkata kaget. "Punggungmu
    ada
    anak panahnya..."
    "Tidak apa" berkata si pria, menyeringai, lantas
    tubuhnya
    mencelat, berlompat naik ke punggung kuda di
    belakang
    isterinya. Dia telah terluka tetapi gerakannya masih
    gesit dan
    lincah.
    Sang isteri menoleh, mengawasi dengan mata
    menyayang.
    "Engko, kau..." katanya halus. Sang engko tidak
    menyahuti,
    hanya kedua kakinya menjepit perut kuda mereka,
    atas mana
    si kuda putih berjingkrak dan lari kabur pula.
    Kuda ini kuda jempolan, dia telah lari pesat berpuluh-
    puluh
    lie, dia masih terus dapat lari keras, hanya kali ini,
    larinya
    menjadi berkurang kecepatannya. Semenjak tadi dia
    belum
    dapat mengaso sedikit juga, sekarang
    penunggangnya
    bertambah, tidak heran apabila sangat sulit untuknya
    dapat
    mempertahankan kekuatannya terus menerus, tetapi
    dia tetap
    kabur, dia seperti mengerti yang majikannya itu
    tengah
    menghadapi ancaman mara bahaya...
    Di sebelah belakang, rombongan pengejar
    mendatangi
    semakin dekat, setindak demi setindak. Sama sekali
    mereka
    itu berjumlah enam puluh tiga orang, mereka pun
    membekal
    seratus sembilan puluh ekor kuda, dengan begitu
    setiap ada
    kuda yang letih, kuda itu lantas ditukar. Benar semua
    kuda itu
    sama-sama lari tetapi tanpa penunggangnya,
    letihnya kurang
    banyak. Dari caranya mereka itu mengejar, terang
    sudah,
    mereka bertekad bulat untuk mendapatkan orang-
    orang yang
    dikejar itu, ialah si suami isteri serta anak daranya
    yang masih
    kecil itu.
    Selagi mengaburkan kudanya, si pria jangkung kurus
    itu
    berpaling ke belakang. Ia mengawasi. Dengan
    datangnya
    orang semakin dekat, ia bisa melihat kepada mereka
    itu,
    makin lama makin tegas.
    "Adik Hong, aku hendak mohon sesuatu dari kau"
    katanya
    kemudian. Sebelumnya membuka mulut, ia
    menggigit dulu
    kedua giginya erat-erat. "Sudikah kau
    meluluskannya?..."
    Si nyonya muda, sang isteri, menoleh. Ia tertawa
    manis.
    "Selama hidup kita bersama, pernahkah sekali jua
    aku
    menampik keinginanmu?" ia balas menanya,
    suaranya halus.
    "Bagus" berkata suami itu. "Hong, sekarang kau
    bawa
    kabur si Siu, anak kita ini. Biarlah dia dapat
    melindungi darah
    daging kita berdua Biarlah dia pun dapat
    menyelamatkan
    peta Istana Rahasia Kobu..."
    Isteri itu menyahuti, suaranya bergemetar.
    "Engko," katanya, "apa tidak baik peta ini kita
    serahkan
    pada mereka dan kita menyerah kalah? Dirimu...
    dirimu lebih
    penting..."
    Mendadak sang suami mencium pipi kiri isterinya itu.
    "Hong...," katanya, suaranya lembut, "kita berdua
    sudah
    mengalami banyak sekali bahaya, selamanya kita
    dapat lolos,
    maka mungkin kali ini kita bakal lolos juga... Kau
    harus
    ketahui, Luliang Samkiat bukan melainkan mengarah
    peta ini,
    mereka... mereka juga menghendaki parasmu yang
    cantik"
    "Justeru karena itu, mungkin aku dapat minta
    mereka..."
    "Tapi" memotong suami itu, "apakah kita menunduki
    kepala untuk memohon sesuatu dari lain orang?
    Kuda ini tidak
    kuat membawa kita bertiga, maka itu lekaslah kau
    pergi..."
    Sekonyong-konyong ia mencelat, kedua tangannya
    dilepaskan, tubuhnya terangkat dari punggung kuda,
    maka
    jatuhlah ia ke tanah, terdengar jeritannya: "Aduh..."
    Nyonya itu terkejut. Segera ia menahan kudanya,
    untuk
    dikasih balik, guna menghampirkan suaminya. Ia
    mengulurkan
    sebelah tangannya, dengan niatan menarik suami itu
    untuk
    naik pula atas kudanya. Tapi sang suami menolak,
    matanya
    bersorot gusar, dia mengawasi bengis Adalah
    biasanya, ia
    senantiasa menurut kepada suaminya itu, maka juga
    kali ini,
    dengan merasa sangat tertindih hatinya, ia memutar
    pula
    kudanya, untuk dikasih lari pergi, meninggalkan
    suami itu
    bercokol seorang diri di tanah pasir dengan lukanya
    yang
    parah itu...
    Rombongan pengejar yang terdiri dan enam puluh
    tiga
    orang itu melihat orang jatuh dari kudanya dan
    ditinggal
    pergi isterinya, mereka itu bersorak-sorai, di
    antaranya ada
    yang berteriak-teriak: "Pekma Lie Sam roboh Pekma
    Lie Sam
    roboh" Mereka lantas terpecah menjadi dua
    rombongan, yang
    belasan menghampirkan langsung Pekma Lie Sam
    itu, yang
    empat puluh lebih mengejar terus si nyonya dan
    puteri
    ciliknya.
     
  2. cerita-silat

    cerita-silat Member

    Joined:
    Dec 7, 2014
    Messages:
    292
    Likes Received:
    6
    Trophy Points:
    18
    Google+:

Share This Page