Source : CIFOR Forests News Kebakaran yang terjadi hampir setiap tahun di Sumatera, Kalimantan, Riau, dan di wilayah lain-lain di Indonesia kerap kali menyebabkan masalah asap di negara-negara Asia Tenggara. Namun, sebagai masalah yang dianggap selalu terjadi berulang kali, apakah cara mencegah kebakaran hutan sudah dilakukan dengan tegas? Sampai saat ini, kebakaran hutan terus menerus menjadi tantangan yang masih berlangsung-- hingga detik ini. Diharapkan perhatian publik yang terus meningkat dapat membantu pemerintah dan aktor-aktor terkait untuk semakin memfokuskan diri pada cara mencegah kebakaran hutan baik untuk jangka pendek ataupun jangka panjang. Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) memberikan rekomendasi beberapa hal yang dapat digunakan sebagai cara mencegah kebakaran hutan, yaitu: Secara drastis mengurangi konversi hutan menjadi lahan pertanian Mengurangi penggunaan api dalam pertanian Reduksi total kultivasi lahan gambut Meningkatkan peluang penghidupan dan penghasilan lokal Restorasi lahan gambut terdegradasi Beberapa tindakan lain yang bisa menjadi pertimbangan, yaitu: Investasi publik (kebijakan fiskal untuk menjawab kebutuhan masyarakat desa, seperti sekolah, pelayanan kesehatan, lapangan kerja, insentif pertanian non-api); Keterlibatan perbankan dan institusi finansial untuk meredam investasi tak layak dengan mengondisikan pelayanan keuangan; Pelibatan lebih dalam korporasi yang aktif memanfaatkan lahan skala besar; Memperingkas birokrasi dan meningkatkan akuntabilitas lembaga publik; Reformasi kebijakan penggunaan lahan, rencana tata ruang, dan kepemilikan lahan; Kampanye peningkatan kesadaran publik dalam mempromosikan pembangunan keberlanjutan, teknologi/investasi alternatif untuk reformasi pertanian dan penegakkan hukum. Penelitian dampak kebakaran dan asap pada iklim, termasuk aspek di luar pemanasan global (seperti pendinginan global); Penelitian dan percontohan tindakan restorasi lahan gambut efektif. Hal-hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah, perusahaan swasta dan masyarakat sebagai cara mencegah kebakaran hutan: ● Pemerintah Indonesia Menerapkan dan menegakkan larangan membakar lahan gambut. Untungnya, Indonesia memiliki kapasitas teknologi dan penegak hukum untuk melakukan itu. Meningkatkan perencanaan spasial untuk melindungi lahan gambut dan hutan bernilai karbon tinggi. Merehabilitasi lahan gambut. Terus melakukan moratorium hutan dan meluaskannya ke seluruh lahan gambut. Menjamin bahwa setiap pembangunan yang melibatkan penggunaan skala besar hanya terjadi pada lahan yang telah terdegradasi/terdeforestasi. Menggunakan teknologi penginderaan jauh, pemetaan digital untuk mendukung upaya prediksi, deteksi, dan merespon potensi krisis kebakaran; mencegah kebakaran tak diinginkan; dan untuk menegakkan hukum pelarangan pembakaran. Mendukung semua tingkat pemerintah Indonesia untuk bekerjasama memperkuat penegakkan hukum. ● Masyarakat selaku konsumen agar menuntut minyak sawit dan kertas yang dihasilkan untuk tidak dibudidayakan di lahan gambut, atau pada lokasi dari konversi gambut. ● Perusahaan, di manapun mereka berada, biasanya memiliki tanggungjawab korporasi. Contohnya Consumer Goods Forum (CGF)-- sebuah jaringan global pebisnis barang konsumer, termasuk yang menggunakan hasil pertanian di lahan gambut-- telah berkomitmen dalam Tropical Forest Alliance dengan pemerintah AS untuk mendorong nol deforestasi bersih pada 2020. CGF bisa mengambil posisi keras menghadapi konversi gambut. KEBIJAKAN NOL KEBAKARAN Sebagai antisipasi terjadinya kebakaran hebat di tahun 2015, pemerintah menerapkan dan menegakkan larangan membakar lahan gambut dengan mengunakan api. Api dalam pertanian bisa disebut berkah karena merupakan sebuah cara efektif dan menjadi kunci produksi pangan bagi para petani kecil selama ratusan tahun. Namun, tentu saja tata kelola pembakaran yang baik memiliki peran penting dalam beragam bentang alam dan kondisi ekologis. Mengutip merdeka.com, ada dua kebijakan yang bisa dilakukan untuk mengatasi semakin meluasnya dampak kebakaran hutan dan lahan di sejumlah wilayah Indonesia, yaitu kebijakan zero burning atau controlled burning yang mengatur tentang cara mencegah kebakaran hutan. Dr. Lailan Syaufina, peneliti dan staf pengajar Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor menjelaskan bahwa: Zero burning adalah penyiapan lahan tanpa bakar, di mana perusahaan perkebunan, kehutanan, dan usaha lainnya yang bersifat komersil dilarang untuk membuka atau menyiapkan lahan dengan melakukan pembakaran. Controlled burning adalah pembakaran terkendali, yang memperbolehkan masyarakat tradisional untuk membuka atau menyiapkan lahan dengan melakukan pembakaran dengan syarat harus terkendali. Menurut hasil Penelitian CIFOR , kebijakan nol kebakaran atau zero burning mempunyai potensi dapat merugikan bagi petani skala kecil. Larangan zero burning atau penggunaan api untuk membuka lahan nyatanya memperbesar biaya bagi para petani untuk menyiapkan lahan bercocok tanam dan untuk mengusir hama. Pemerintah melarang pembakaran lahan gambut karena sulit mengatur api di ekosistem tersebut. Lahan gambut tersusun dari akar tanaman yang sedang terurai dan dapat mencapai puluhan meter ke bawah tanah. Penanam kelapa sawit seringkali mengeringkan lahan gambut supaya mereka dapat menanam tanaman mereka. Membakar lahan gambut yang sudah kering demi menyiapkan lahan secara signifikan meningkatkan emisi gas rumah kaca, karena gambut akan terus terbakar dan mengeluarkan asap untuk waktu yang lama. Pada kenyataannya aturan larangan bakar yang spesifik untuk lahan gambut tersebut, yang dituangkan dalam peraturan pemerintah tentang perlindungan dan pengelolaan lahan gambut dan revisinya, diterapkan tidak hanya di area lahan gambut, tapi seluruh lahan pertanian di daerah tersebut. Riset menemukan para petani kesulitan mengikuti alternatif yang disarankan pemerintah untuk menyiapkan lahan tanpa pembakaran. Mereka harus membuka lahan secara manual, menggunakan golok atau arit, dan membiarkan rumput dan sisa tebangan pohon membusuk dan terurai. Ini makan waktu lebih lama dari pembakaran—satu hingga dua bulan dibandingkan beberapa hari saja dengan api—dan lebih mahal karena biaya tenaga kerja. Metode ini juga membawa hama dan penyakit dari tumpukan kayu, daun, dan rumput yang membusuk, sehingga mengancam hasil panen para petani. Larangan bakar untuk pembukaan lahan juga membatasi kemampuan petani meningkatkan kesuburan tanah. Penelitian menunjukkan mineral yang dihasilkan proses pembakaran mengurangi tingkat keasaman tanah menjadi lebih alkalis dan subur. Tanpa abu hasil pembakaran, petani perlu menabur dolomit untuk meningkatkan kesuburan tanah. Hal ini meningkatkan biaya produksi karena perlu 2 ton dolomit per hektar untuk hasil yang memuaskan. Solusinya, fleksibilitas sangat amat perlu dilakukan untuk membantu para petani bertahan dan mencegah mereka meninggalkan lahan miliknya akibat tingginya biaya bertani. Para petani asli di wilayah non-gambut seharusnya diizinkan untuk menerapkan controlled burning atau pembakaran lahan terbatas. Diharapkan kearifan lokal di masyarakat membuat pembakaran terbatas mungkin dilakukan dengan panduan dari petugas pemerintah di lapangan tentunya.