MutiaraPublic.com - Siapa yang tidak kenal Leo Tolstoy ? Dia merupakan salah seorang sastrawan terbesar Rusia pada abad ke-19. Bahkan paling unik serta paling menonjol di antara sastrawan-sastrawan terbesar Rusia pada zaman itu, serta zaman-zaman sesudahnya, berkat karya-karya serta perjalanan hidup pribadinya. Khazanah sastra dunia telah mencatat berbagai karya Leo Tolstoy dengan tinta emas. Terutama “Perang serta Damai”, “Anna Karenina”, serta “Sonata Kreutzer”. Leo Tolstoy lahir di Yasnaya Polyana, sebelah selatan Moskow, pada tanggal 9 September 1828. Setelah gagal menyelesaikan kuliahnya di Universitas Krazan, pada usia 19 tahun, dia merambah berbagai bidang kehidupan. Antara lain menjadi tentara di Kaukasus. Selama ikut bertempur melawan suku-suku pegunungan, dia menyelesaikan novel otobiografi “Masa Kanak-Kanak” (Tahun 1852), diikuti “Masa Remaja” (tahun 1854), serta “Masa Muda” (tahun 1856). Melalui tiga karyanya ini, Leo Tolstoy mulai terkenal sebagai sastrawan. Pada usia 34 tahun, Leo Tolstoy menikah dengan Sonya Andreyevna Bers, gadis cantik dari kalangan elite Moskow. Namun dia memilih tetap hidup di perdesaan, mengelola tanah pertanian, serta memberi pendidikan gratis bagi anak-anak penduduk setempat. Pada masa inilah dia menulis roman besar yang amat spektakuler “Perang serta Damai” (tahun 1863), kemudian “Anna Karenina” (tahun 1873), serta “Sonata Kreutzer” (tahun 1878). Belakangan, karena merasa tidak bahagia dengan kehidupannya, dia menulis buku “Sebuah Pengakuan” berisi paparan yang menunjukkan sikap seorang moralis ekstrem yang mengecam segala bentuk kesenangan duniawi. Dia juga menulis cerita pendek serta artikel-artikel bercorak keagamaan. Hingga pada suatu hari, Leo Tolstoy meninggalkan rumah, tanpa pamit kepada istri serta anak-anaknya. Beberapa hari kemudian, 7 November 1910, Dia jatuh sakit serta meninggal dunia di sebuah stasiun kereta api. Para pengamat sastra Rusia klasik memperkirakan, kematian Leo Tolstoy akibat kekecewaan lahir batin. Keinginannya untuk menghibahkan semua kekayaannya kepada kaum miskin, tidak disetujui istrinya. Juga usahanya menerbitkan buku-buku tipis yang akan dibagikan secara gratis agar semua kalangan masyarakat kelas bawah dapat menikmati sastra, tidak mendapat dukungan dari siapa pun. Lebih parah lagi, Leo Tolstoy mendapat kecaman dari pemerintah serta gereja Rusia karena ketertarikannya pada mistik serta moralitas. Padahal ketika namanya menjulang tinggi berkat karya-karya besarnya, Leo Tolstoy dianggap “tiga serangkai” terpenting di Rusia, bersama Tsar (Kaisar) serta Gereja Ortodoks. Belum ada yang meneliti secara detail serta mendalam, apa yang memengaruhi jiwa Leo Tolstoy. Apa sumber mistik serta moralitas yang menjadikan dirinya berubah seratus delapan puluh derajat. Ada yang menduga, kemungkinan besar Leo Tolstoy sudah mengalami guncangan mental sejak menjadi tentara di Kaukasus. Ketika itu, pasukan Rusia berhadapan dengan rakyat Dagestan serta Checenia (Chechnya) yang mayoritas penduduknya bergama Islam. Rakyat Dagestan serta Checenia dipimpin oleh Imam Syamil, tokoh sufi aliran Naqsabandiyah. Untuk menangkap Imam Syamil Rusia menggunakan taktik licik: perundingan serta penyergapan. Setelah tertangkap, Imam Syamil dibuang ke Saudi Arabia, hingga wafat pada tanggal 4 Februari 1871 di Madinah. Sejak peperangan itu, Leo Tolstoy jadi sering berinteraksi dengan umat Islam. Corak Islam di pelosok Rusia serta Asia Tengah, semasa Leo Tolstoy hidup, cenderung sufistik. Banyak aliran tarekat sufi lahir di sana. Antara lain Naqsabandiyah yang dianut Imam Syamil di Kaukasus Utara. Leo Tolstoy yang punya pengalaman langsung menyaksikan penindasan umat Islam oleh pemerintah Rusia di Kaukasus, juga punya pengalaman langsung dengan kehidupan umat Islam serta para “darwis”, kemungkinan terpengaruh. Walaupun secara de facto Dia tetap menganut ajaran Gereja Ortodoks Rusia, namun secara de jure Dia seorang Muslim. Bahkan Muslim sufistik yang mengutamakan pengalaman mistik-spiritual. Paling tidak, ada beberapa pendapat yang menunjukkan kecenderungan kemusliman Tolstoy. Menurut Muhammad Azzat Ismail ath Thahthawi, dalam bukunya “At Tabsyir wal Istisyraq Ahqad wa Hamlat” (1974), hlm. 59-62, Leo Tolstoy tersentuh hatinya tatkala menyaksikan perlakuan aniaya terhadap umat Islam. Dia menyatakan, Islam merupakan ajaran yang sempurna. Menyuruh umatnya beribadah untuk kepentingan akhirat serta beramal saleh untuk kepentingan dunia. Melarang umatnya melakukan kerusakan di muka bumi. Dia mengagumi sosok Nabi Muhammad SAW., yang dianggapnya sebagai juru damai, penegak nilai-nilai kemanusiaan, serta penjunjung tinggi nilai-nilai keilahian. Leo Tolstoy memuji Nabi Muhammad sebagai sosok yang bijak serta patut menjadi contoh terbaik bagi umat manusia, karena memerintahkan pencarian ilmu tanpa henti, penyucian jiwa, serta kekuatan ikhtiar fisik untuk menunjang perjuangan batin melalui doa kepada Allah. “Perang serta Damai”, “Anna Karenina”, serta “Sonata Kreutzer” merupakan potret asli kehidupan masyarakat Rusia abad 19, yang didominasi kekuasaan Tsar serta Gereja Ortodoks. Tapi setelah menulis “Sebuah Pengakuan”, tema serta visi karya-karya Leo Tolstoy menjadi sangat sufistik. Walaupun masih menggunakan setting bernuansa gereja, unsur-unsur sufisme Islam mulai masuk. Bahkan pada beberapa cerpennya, tampak jadi semacam adaptasi dari kisah-kisah sufisme. Cerpen “Ziarah”, misalnya (terdapat dalam kumpulan cerpen Leo Tolstoy, berjudul “Ziarah”, terjemahan Anton Kurnia, Jalasutra Yogyakarta, September 2002). Di sana dikisahkan dua petani tua, Efim Sechevelof serta Eliyah Bodroff, berziarah ke kota suci Jerusalem. Di tengah perjalanan, mereka terpisah. Eliyah berhenti di sebuah kampung yang penduduknya sedang menderita kelaparan. Eliyah segera membantu mereka. Memberikan roti bekalnya yang tidak banyak kepada setiap mereka, hingga sedikit kenyang. Kemudian membantu mengobati yang sakit. Bahkan keesokan harinya, membantu mengerjakan sawah serta ladang yang terlantar. Sementara Efim terus saja menuju Jerusalem serta berhasil tiba di kota suci itu tepat pada puncak musim ziarah. Karena sibuk membantu penduduk desa, Eliyah tidak dapat meneruskan perjalanan. Eliyah baru berhasil memperbaiki kondisi kehidupan penduduk desa setelah para peziarah pulang kampung. Ketika Eliyah pamitan pulang setelah melepaskan niat ziarah ke Jerusalem, karena sudah lewat masa, penduduk desa yang sudah makmur serta sehat melepasnya dengan berat hati. Efim punya pengalaman lain. Selama ziarah serta berdoa di Bukit Golgota, Dia melihat Eliyah sedang berdoa pula di arah lain. Bukan sekali saja, namun setiap Efim datang ke sana, Eliyah pasti terlihat. Hanya saja Efim selalu gagal mendekatinya karena terdesak terus oleh kerumunan para peziarah lain. Setelah berada di kampungnya kembali, serta bertemu Eliyah di sana, Efim mencoba bertanya tentang kehadiran Eliyah di Bukit Golgota. Aneh, karena Eliyah sebetulnya tertahan di desa yang mereka singgahi hingga musim ziarah usai. Setiap Efim akan menanyakan soal itu, Eliyah selalu menghindar. Kisah ini sangat mirip dengan kisah “Ziarah” lain yang sangat terkenal dalam literatur sufi. Yaitu kisah Abdullah bin Mubarak (hidup abad 10) dengan Ali al Muwaffak yang dituturkan kembali oleh Fariuddin Attar (abad 13) dalam buku “Tazkiratul Aulia”, Abu Nuaim (abad 11) dalam “Hilyatul Aulia”, serta penulis-penulis kisah sufi lainnya. Kita ambil versi Attar. Diceritakan, Abdullah bin Mubarak menunaikan ibadah haji. Suatu hari ketika Dia berdoa di Multazam (bagian terpenting dari bangunan Kakbah), mendengar suara dua malaikat memperbincangkan jemaah haji. Kata malaikat yang satu, dari 600 ribu jemaah haji tahun ini, tidak ada seorang pun yang mabrur (diterima hajinya oleh Allah SWT). Malaikat lainnya mengatakan, hanya seorang yang mabrur. Itu pun tidak datang ke Mekkah, tidak melakukan tawaf, sai, wukuf, jumroh, serta tahallul. Orang tersebut adalah Ali al Muwafak, tukang sepatu yang miskin di Damaskus. Penasaran, ingin tahu mengapa seseorang yang tidak berangkat haji mendapat pahala haji mabrur, sedangkan yang berhaji semuanya mardud (tertolak), berangkatlah Abdullah bin Mubarak ke Damaskus. Begitu sampai, Dia langsung mencari Ali al Muwaffak. Setelah bertemu, segera bertanya tentang rahasia kemabrurannya. Mula-mula Ali menolak, karena tidak tahu. Namun akhirnya Dia mengira-ngira, mungkin pahala haji mabrur itu karena Dia menyerahkan semua uang yang tadinya akan digunakannya pergi ke Mekkah kepada tetangganya, seorang janda tua miskin yang kelaparan. Ali al Muwaffak menemukan janda tua dengan anak-anaknya hendak memakan bangkai, karena sudah benar-benar kelaparan tiga hari tidak menemukan makanan halal. Karena kehabisan uang, Ali batal naik haji. Pengalaman Ali al Muwaffak yang dikisahkan Attar serta para penulis sufi lainnya, persis seperti pengalaman Eliyah dalam cerpen “Ziarah” Tolstoy. Pada cerpen-cerpen lainnya yang terkumpul dalam “Ziarah” tampak sekali kecenderungan sufistik Tolstoy. Banyak tokoh-tokoh yang dilukiskan berwatak “zuhud” (sederhana) serta “wara” (apik) dalam bicara, makan-minum, serta bertingkah laku. Nasib tragis Leo Tolstoy pada akhir hayatnya mungkin akibat konflik batin berkepanjangan. Dia tidak mampu melepaskan diri dari kungkungan lingkungan Gereja Ortodoks serta sistem feodalistik-tirani kekaisaran Rusia. Padahal hasrat serta semangat hidupnya dipenuhi gagasan-gasan sufistik serta mistik Islam yang bebas serta terbuka. Dia sangat mencintai manusia serta kemanusiaan, di tengah kekerasan serdadu Rusia, dengan restu gereja, membunuhi orang-orang Muslim Kaukasus Utara. Terlepas dari apakah Leo Tolstoy seorang Muslim atau bukan, yang jelas dia telah mengakui misi kenabian Muhammad SAW. Dia juga sangat mengutamakan nilai-nilai kebenaran, pahala, serta siksa serta kekuasaan Allah SWT di segala bidang kehidupan. “Berbuatlah kejahatan sesuka hatimu, kelak Tuhan akan menghukummu sesuka hati-Nya,” demikian salah satu kalimat dalam sebuah cerpen Tolstoy. {” Sesungguhnya seluruh hukum serta ajaran yang termaktub dalam kitab suci umat Muhammad itu bisa menjadi pegangan serta pedoman utama bagi seluruh umat manusia yang hidup di muka bumi “} - Leo Tolstoy Oleh : H. Usep Romli H.M.
Iri dalam artian yang berbeda gan...! Iri yg dimaksud karena ane gak sanggup..! Seandainya saja bisa kan wuenak...! iri kali ini ini merupakan suatu keinginan seperti beliau