Wong Iku Sawang Sinawang Marang Liyane. [HASHTAG]#PepatahJawa[/HASHTAG] Tentang etika kaum awam dan khawas Manjay - Menjadi orang awam dan menjadi orang khawas, masing-masing memiliki etika sendiri-sendiri. Yang saya maksud dg etika di sini adalah aturan main untuk bersikap dan berprilaku. Jika masing-masing pihak konsisten mengikuti etika ini, insyaallah tak akan terjadi kekisruhan sosial yang kurang perlu. Orang awam di sini saya maksudkan sebagai mereka yang tak menguasai bidang tertentu. Sementara orang khawas adalah sebaliknya: mereka yang memiliki keahlian itu. Kategori awam dan khawas bukanlah kaku dan beku, melainkan cair dan dinamis. Ada orang-orang yang khawas dalam bidang tertentu, tetapi awam di bidang yang lain. Ada seseorang yang ilmunya mencapai level doktor dalam bidang fikih, tetapi nol besar dalam bidang fisika. Kita bisa menyebut: orang bersangkutan adalah khawas atau “expert” dalam bidang fikih, tetapi awam belaka dalam bidang fisika. Et cetera, et cetera. Tak ada ada orang yang “khawas” dalam semua bidang. Tetapi ada orang-orang tertentu yang bisa saja awam dalam semua bidang. Pada umumnya, orang adalah khawas di bidang tertentu, awam di bidang lainnya. Di era spesialisasi sekarang ini, nyaris sulit mencari seorang ensiklopedis (mausu’i) yang tahu mengenai semua bidang. Kembali ke pokok soal: perihal etika orang khawas dan awam. Jika terjadi suatu perdebatan dalam isu tertentu yang membutuhkan keahlian yang spesifik, etika yang sebaiknya diikuti oleh orang awam adalah: jangan ikut campur terlalu jauh, apalagi melakukan pemihakan pada salah satu pihak dengan cara-cara “politis”. Biarkan orang-orang khawas, orang-orang yang ahli, berdebat mengenai isu itu hingga tuntas. Kaum awam sebaiknya menonton saja, sambil menunggu hasil akhirnya. Boleh saja memihak salah satu kubu dalam perdebatan itu, tetapi orang awam harus tahu diri akan keawamannya. Jangan memihak terlalu jauh, emosional, hingga hilang kontrol-diri dan menuduh pihak lain sesat, kafir, murtad, dsb. Orang awam harus tahu filosofi Jawa yang terkenal itu: “ngono ya ngono ning aja ngono”. Begitu ya begitu, tetapi mbok ya tahu batas. Filosofi ini sangat penting diingat oleh kaum awam, apalagi di zaman ketika kecenderungan “takfir” berkecambah saat ini. Kaidah ini penting dipegang ketika perdebatan masuk ke perkara yang dari sono-nya memang sudah sensitif dan mudah memantik api emosi. Misalnya soal-soal agama. Saya kerap melihat orang-orang awam yang sebetulnya ndak tahu duduk-berdirinya suatu masalah, lalu ikut-ikutan “ngeblok” (=berpihak) salah satu kubu yang sedang berdebat, seraya memaki-maki kubu lain. Orang semacam ini bisa kita sebut sebagai orang awam yang “geblek”, ndak tahu diri. Mengutip istilah Imam Ghazali, mereka ini adalah orang “bodoh kwadrat” (jahl murakkab). Yaitu, orang bodoh yang ndak sadar bahwa dirinya bodoh. “Jahilun la yadri, wa la yadri annahu la yadri”. Oke, itu adalah etika orang awam. Lalu, apa etika orang khawas? Baca ulasan panjangnya di Manjay
Kalau ini dipahami sangat bagus kok.. "Tunggak Jarak Mrajak - Tunggak Jati Mati" Dengan kata lain, kehidupan bisa berubah tergantung dari, niat, kemampuan dan usaha masing-masing orang. http://www.kangandre.web.id/2013/10/pepatah-jawa-tunggak-jarak-mrajak.html