Pahlawan Padang Rumput - Liang Yu Sheng

Discussion in 'Creative Art & Fine Art' started by cerita-silat, Dec 12, 2014.

  1. cerita-silat

    cerita-silat Member

    Joined:
    Dec 7, 2014
    Messages:
    292
    Likes Received:
    6
    Trophy Points:
    18
    Google+:
    Terdengar suara nyanyian
    bercampur dengan bunyi
    kelenengan unta berkumandang di
    angkasa gurun yang luas. Di gurun
    Taklamakan (di daerah Sinkiang)
    beberapa unta tengah
    melangkahkan kaki dengan langkah
    yang mantap. Seorang pemuda suku
    bangsa Kazak sedang melantunkan
    suara nyanyian yang nyaring dengan
    lagu pujian akan keindahan tanah
    airnya dengan semangka madunya
    yang manis.
    “Hai, Asta, apa kau belum cukup
    akan mati dahaga ? Tenggorokanku
    bisa lebih kering lagi karena
    nyanyianmu itu, “ tiba-tiba pemuda
    lain menegur temannya tadi dengan
    tertawa, begitu suara nyanyian
    temannya itu berhenti.
    “Ah, Nyo-taihiap, apakah kau belum cukup lama
    tinggal bersama kami ?” sahut
    pemuda duluan yang tadi dipanggil Asta, lalu dengan
    tertawa menyambungnya,
    “ Mungkin kau masih belum mengenal watak bangsa
    Kazak kami? Sekalipun
    dalam keadaan yang paling sulit pun bangsa Kazak
    kami senantiasa
    bergembira.”
    “Kau benar, Asta,” tiba-tiba seorang oemuda lain lagi
    menyeletuk, “Tetapi
    lagu yang kau bawakan tadi agak kurang tepat
    dengan tempat ini. Lihatlah, di
    depan sana penuh dengan bukit pasir yang
    sungsang-timbul, untuk mencari
    sebatang rumput pun tidak gampang, namun di
    tempat yang mirip neraka ini
    kau malah bernyanyi tentang semangka madu
    segala, apa ini bukan sengaja
    2
    hendak membikin orang mengiler saja ?”
    “Mokhidi, kenapa kau begitu sembrono menamakan
    tempat kita ini neraka ?”
    sahut Asta dengan raut kurang senang. “Tidakkah
    kau sendiri di lahirkan dan
    dibesarkan di padang rumput ini, kau sudah
    menjelajah dan mengelilingi
    seluruh utara selatan Thian-san (gunung Thian di
    Sinkiang), tidakkah kau tahu
    dipadang rumput kita initidak sedikit terdapat
    kekayaan alam dengan
    pemandangan yang indah permai pula ? Dengarlah
    ini, biar kutunjukan padamu,
    bahwa sungai Merak yang airnya biru menghijau
    berkilauan bagaikan bulu
    sayap burung merak, buah-buahan duku, tho dan
    semangka madu yang rasanya
    manis, membuat orang mengiler, masih kurang apa
    lagi yang tidak bagus?
    Tentang buah-buahan dan semangka madu ini masih
    belum berarti, bahkan
    kita masih memiliki rombongan domba yang mirip
    gumpalan awan putih dan
    nona-nona gembala dengan kuncir panjangnya yang
    manis Ah, sudahlah
    Mokhidi, pendek kata nanti kalau sudah melintasi
    gunung ini aku akan
    menemanimu pergi mencari nona penggembala yang
    cantik manis itu.”
    “Ya, ya, Asta, tak usah kau menyerocos lagi, “ kata
    Mokhidi, “Jika kau
    bicarakan, sehari semalam juga takan habis,
    malahan bisa kutambahkan
    sekalian, bukankah kita masih punya Thay-san
    (gunung Altai) yang gemilapan
    dengan sinar emasnya bila tersorot oleh cahaya
    matahari dan batu-batu
    permata yang tak terhitung nilainya di tepian sungai
    Giok yang membuat air
    sungai menjadi berkilauan. Akan tetapi kesemuanya
    kini sudah hampir ludes
    dirampok oleh bangsa Boan.”
    “Maka dari itu kita harus merebutnya kembali dari
    tangan musuh,” tiba-tiba
    pemuda bangsa Han yang dipanggil Nyo-taihiap
    berkata, lalu menyambungnya
    pula, “Hai Mokhidi dan Asta, janganlah kalian
    menertawakan khayalanku, akan
    tetapi kuyakin dengan pasti bahwa suatu hari nanti
    kita pasti dapat
    mengalirkan air salju melalui gurun luas ini. Tatkala
    itu tidak saja kita
    memiliki apa yang telah ada sekarang ini, bahkan
    akan bertambah banyak lagi
    barang-barang dan benda-benda yang baru, dan kau
    akan mempunyai nona
    gembala yang manis dengan sendirinya tak usah
    khawatir pula dombadombanya
    akan ditelan pasir gurun, maka akan senanglah dia
    sehingga
    membikin dia tambah cantik dan manis.”
    Karena penuturan kawannya ini, segera Asta
    melompat berjajar dengan
    pemuda Han itu di punggung untanya.
    3
    “O, Nyo-taihiap, hatimu yang baik sungguh beribu-
    ribu kali lebih berharga
    dari segala batu permata,” kata Asta sambil
    mendekap tubuh pemuda bangsa
    Han itu dengan mesra. “Ya, meski kau bangsa Han,
    tetapi kau sudah sama
    seperti saudara-saudara Kazak kami yang lain,
    bahkan melebihi mereka. Kau
    sudah beberapa tahun membantu kami bertempur
    melawan bangsa Boan,
    sekarang kau malah menempuh perjalanan bersama
    kami melintasi gurun yang
    luas ini, sungguh rasa hatiku ingin menciummu.”
    “Hus, “ bentak pemuda yang dipanggil Nyo-taihiap ini
    dengan tertawa, ‘Ayolah,
    jangan bergurau lagi. Aku adalah kepala rombongan,
    aku akan memberi
    perintah, sekarang semua orang tidak diperkenankan
    banyak bicara. Hawa
    sekarang semakin panas, persediaan air kita kurang,
    kalau kita banyak tentu
    akan membuat kita cepat haus dan akan lenih
    banyak minum, itu tidak boleh
    terjadi.”
    Karena omelan ini, Asta meleletkan lidahnya seperti
    anak binal, habis itu
    lantas melompat kembali ke atas untanya sendiri.
    Habis itu mereka
    meneruskan perjalanan.
    ***
    Pahlawan Padang Rumput - Liang Yu Sheng
     
  2. cerita-silat

    cerita-silat Member

    Joined:
    Dec 7, 2014
    Messages:
    292
    Likes Received:
    6
    Trophy Points:
    18
    Google+:

Share This Page