Terdengar suara nyanyian bercampur dengan bunyi kelenengan unta berkumandang di angkasa gurun yang luas. Di gurun Taklamakan (di daerah Sinkiang) beberapa unta tengah melangkahkan kaki dengan langkah yang mantap. Seorang pemuda suku bangsa Kazak sedang melantunkan suara nyanyian yang nyaring dengan lagu pujian akan keindahan tanah airnya dengan semangka madunya yang manis. “Hai, Asta, apa kau belum cukup akan mati dahaga ? Tenggorokanku bisa lebih kering lagi karena nyanyianmu itu, “ tiba-tiba pemuda lain menegur temannya tadi dengan tertawa, begitu suara nyanyian temannya itu berhenti. “Ah, Nyo-taihiap, apakah kau belum cukup lama tinggal bersama kami ?” sahut pemuda duluan yang tadi dipanggil Asta, lalu dengan tertawa menyambungnya, “ Mungkin kau masih belum mengenal watak bangsa Kazak kami? Sekalipun dalam keadaan yang paling sulit pun bangsa Kazak kami senantiasa bergembira.” “Kau benar, Asta,” tiba-tiba seorang oemuda lain lagi menyeletuk, “Tetapi lagu yang kau bawakan tadi agak kurang tepat dengan tempat ini. Lihatlah, di depan sana penuh dengan bukit pasir yang sungsang-timbul, untuk mencari sebatang rumput pun tidak gampang, namun di tempat yang mirip neraka ini kau malah bernyanyi tentang semangka madu segala, apa ini bukan sengaja 2 hendak membikin orang mengiler saja ?” “Mokhidi, kenapa kau begitu sembrono menamakan tempat kita ini neraka ?” sahut Asta dengan raut kurang senang. “Tidakkah kau sendiri di lahirkan dan dibesarkan di padang rumput ini, kau sudah menjelajah dan mengelilingi seluruh utara selatan Thian-san (gunung Thian di Sinkiang), tidakkah kau tahu dipadang rumput kita initidak sedikit terdapat kekayaan alam dengan pemandangan yang indah permai pula ? Dengarlah ini, biar kutunjukan padamu, bahwa sungai Merak yang airnya biru menghijau berkilauan bagaikan bulu sayap burung merak, buah-buahan duku, tho dan semangka madu yang rasanya manis, membuat orang mengiler, masih kurang apa lagi yang tidak bagus? Tentang buah-buahan dan semangka madu ini masih belum berarti, bahkan kita masih memiliki rombongan domba yang mirip gumpalan awan putih dan nona-nona gembala dengan kuncir panjangnya yang manis Ah, sudahlah Mokhidi, pendek kata nanti kalau sudah melintasi gunung ini aku akan menemanimu pergi mencari nona penggembala yang cantik manis itu.” “Ya, ya, Asta, tak usah kau menyerocos lagi, “ kata Mokhidi, “Jika kau bicarakan, sehari semalam juga takan habis, malahan bisa kutambahkan sekalian, bukankah kita masih punya Thay-san (gunung Altai) yang gemilapan dengan sinar emasnya bila tersorot oleh cahaya matahari dan batu-batu permata yang tak terhitung nilainya di tepian sungai Giok yang membuat air sungai menjadi berkilauan. Akan tetapi kesemuanya kini sudah hampir ludes dirampok oleh bangsa Boan.” “Maka dari itu kita harus merebutnya kembali dari tangan musuh,” tiba-tiba pemuda bangsa Han yang dipanggil Nyo-taihiap berkata, lalu menyambungnya pula, “Hai Mokhidi dan Asta, janganlah kalian menertawakan khayalanku, akan tetapi kuyakin dengan pasti bahwa suatu hari nanti kita pasti dapat mengalirkan air salju melalui gurun luas ini. Tatkala itu tidak saja kita memiliki apa yang telah ada sekarang ini, bahkan akan bertambah banyak lagi barang-barang dan benda-benda yang baru, dan kau akan mempunyai nona gembala yang manis dengan sendirinya tak usah khawatir pula dombadombanya akan ditelan pasir gurun, maka akan senanglah dia sehingga membikin dia tambah cantik dan manis.” Karena penuturan kawannya ini, segera Asta melompat berjajar dengan pemuda Han itu di punggung untanya. 3 “O, Nyo-taihiap, hatimu yang baik sungguh beribu- ribu kali lebih berharga dari segala batu permata,” kata Asta sambil mendekap tubuh pemuda bangsa Han itu dengan mesra. “Ya, meski kau bangsa Han, tetapi kau sudah sama seperti saudara-saudara Kazak kami yang lain, bahkan melebihi mereka. Kau sudah beberapa tahun membantu kami bertempur melawan bangsa Boan, sekarang kau malah menempuh perjalanan bersama kami melintasi gurun yang luas ini, sungguh rasa hatiku ingin menciummu.” “Hus, “ bentak pemuda yang dipanggil Nyo-taihiap ini dengan tertawa, ‘Ayolah, jangan bergurau lagi. Aku adalah kepala rombongan, aku akan memberi perintah, sekarang semua orang tidak diperkenankan banyak bicara. Hawa sekarang semakin panas, persediaan air kita kurang, kalau kita banyak tentu akan membuat kita cepat haus dan akan lenih banyak minum, itu tidak boleh terjadi.” Karena omelan ini, Asta meleletkan lidahnya seperti anak binal, habis itu lantas melompat kembali ke atas untanya sendiri. Habis itu mereka meneruskan perjalanan. *** Pahlawan Padang Rumput - Liang Yu Sheng
selengkapnya lihat di http://cerita-silat.mywapblog.com/daftar-cerita-silat-terbaru-10-versi-ter.xhtml