Pangeran Anggadipati - SERI KESATRIA HUTAN LARANGAN - Darah dan Cinta di Kota Medang

Discussion in 'Creative Art & Fine Art' started by cerita-silat, Dec 12, 2014.

  1. cerita-silat

    cerita-silat Member

    Joined:
    Dec 7, 2014
    Messages:
    292
    Likes Received:
    6
    Trophy Points:
    18
    Google+:
    Tamu dari Padepokan
    Bagi Pangeran Muda pengalaman pagi itu seperti
    suatu impian. Sukar untuk dipercaya, bahwa apa
    yang dilihat, didengar, dan dialaminya adalah suatu
    kenyataan. Beberapa bulan yang lalu, Pangeran
    Muda masih bermain-main dengan Radenjamu, naik
    kuda berpacu di padang-padang di luar tembok puri
    Dipati Layang Setra, berenang di telaga, dan
    memanah burung-burung di hutan kaki Gunung
    Manglayang. Sementara hari itu Radenjamu dengan
    pakaian kebesaran seorang bangsawan tinggi, telah
    dibaringkan di atas tumpukan kayu samida.
    Sahabatnya yang berumur lima belas tahun, hanya
    satu tahun lebih tua dari Pangeran Muda, sudah tidak
    bernyawa lagi.
    Jenazahnya sudah siap untuk dibakar, agar asapnya
    naik ke langit dan bersama awan mengunjungi
    Sunan Ambu di Buana Padang
    Maut. Maut. Pangeran Muda sudah beberapa kali
    dibawa oleh Ayahanda menghadiri upacara
    pembakaran jenazah.
    Sudah beberapa orang yang masih ada tali
    kekeluargaan dengan keluarganya meninggalkan
    dunia fana, Buana Pancatengah ini. Akan tetapi,
    umumnya mereka sudah tua, sudah saatnya untuk
    kembali kepada Sunan Ambu. Akan tetapi, kali ini
    Raden Jamu, sahabat karib dan kawan sebaya
    Pangeran Muda, dan bukan orang lain yang
    meninggal. Itulah sebabnya kali ini Pangeran Muda
    tiba-tiba menghayati betapa hebatnya Malakal Maut
    itu.
    Isak dan jerit tangis para bangsawan wanita,
    gumam dan bisik doa-doa para pendeta, terdesak di
    luar kesadaran Pangeran Muda. Rasa seram, terkejut,
    dan terpukau oleh kehebatan Malakal Maudah yang
    menguasai hati Pangeran Muda Dipandangnya tubuh
    sahabat karibnya yang terbaring di tengah-tengah
    pelaminan bunga di atas kayu pembakar jenazah itu.
    Diamatinya wajah sahabat karibnya yang tenang,
    seolah-olah sedang tidur nyenyak. Alangkah muda
    dan tampannya Raden Jamu, alangkah lincah dan
    gembiranya Betulkah sahabatnya itu sudah tidak
    bernyawa lagi? Betulkah api akan dinyalakan dan
    Raden Jamu akan naik ke awan dan diterima oleh
    Sunan Ambu? Berulang-ulang keragu-raguan
    melanda hati Pangeran Muda, dan berulang-ulang
    pula dibisikkan ke dalam hatinya bahwa semua itu
    impian, semuanya tidak benar. Akan tetapi,
    sahabatnya tidak bangkit dan tidak tersenyum,
    sedangkan para pendeta menggumamkan doa-doa
    ke angkasa, para wanita menangis, terisak, dan
    menjerit.
    "Berikanlah salah satu dari barang-barang milikmu
    kepada sahabatmu sebagai tanda cintamu, anakku,"
    bisik ayahanda Pangeran Anggadipati kepadanya.
    Pangeran Muda terhenyak, lalu mengulurkan tangan
    perlahan-lahan ke hulu kerisnya, seolah-olah
    kesadarannya perlahan-lahan mulai berpegang pada
    kenyataan. Pangeran Muda mencabut keris dengan
    sarungnya, dilalapnya senjata itu sejenak. Senjata
    yang indah. Raden Jamu beberapa bulan yang lalu
    pernah memegang-megang serta me-lihat-lihatnya
    dengan penuh kekaguman. Alangkah gembiranya
    Radenjamu seandainya senjata yang dikaguminya
    itu dihadiahkan kepadanya. Maka dengan ketetapan
    hati dan rasa bangga dan lega, Pangeran Muda
    memegang senjata itu dengan kedua tangan, lalu
    melangkah ke depan, menuju tempat pembakaran
    jenazah, tempat sahabatnya terbaring.
    Akan tetapi, baru saja tiga tindak, terdengar jeritan
    wanita yang menusuk hati, dan dalam sekejap
    Pangeran Muda sadar bahwa ia dirangkul dan diciumi
    oleh ibunda Radenjamu yang berseru-seru, 'Anakku,
    anakku, mengapa kautinggalkan sahabatmu yang
    baik ini, mengapa kautinggalkan ibumu yang sudah
    tua ini...?"
    Wanita yang malang itu segera dipegang dan
    dipapah oleh anggota-anggota keluarga, lalu dibawa
    ke tengah-tengah para emban. Sementara itu,
    Pangeran Muda tertegun di antara para hadirin dan
    tempat pembakaran jenazah. Pangeran Muda tidak
    tahu apa sebabnya pandangannya tiba-tiba menjadi
    kabur dan detak jantungnya berubah seolah-olah
    menjadi tusukan-tusukan yang tajam. Napasnya
    sesak. Oleh karena itu, hanya dengan mengerahkan
    kemauan saja kakinya dapat dilangkahkan menuju
    tempat sahabatnya terbaring.
    Pangeran Muda berdiri dekat tempat pembakaran
    jenazah, memandang wajah sahabatnya dengan
    saksama, kemudian berkata dengan suara gemetar,
    "Ini kerisku. Engkau suka padanya dan akan senang
    memilikinya. Saya menghadiahkannya kepadamu
    sebagai seorang sahabat...
    sahabat... yang sayang kepadamu
    Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
    Tak tertahan lagi air mata Pangeran Muda membanjir
    melimpahi kelopak mata. Ditahannya tangisan itu,
    akan tetapi karena dukacita tiba-tiba melandanya,
    terguncang-guncanglah tubuh Pangeran Muda.
    Kakinya tidak dapat dilangkahkannya dari pinggir
    tempat pembakaran itu, tempat ia berdiri sambil
    menutup muka dengan kedua tangannya, yang
    sudah tidak-memegang keris lagi.
    Tak berapa lama kemudian, Pangeran Muda
    merasakan sepasang tangan merangkul pundaknya.
    Terasa Ayahanda membimbingnya kembali ke
    tempat para keluarga. Sambil berjalan kembali,
    terdengar oleh Pangeran Muda ayahandanya
    berkata, "Sunan Ambu di Kahiangan akan sayang
    kepada sahabatmu itu. Ia anak yang baik, lemah
    lembut kepada bawahan, hormat kepada yang lebih
    tua, mendengar nasihat orang-tua, seorang kesatria
    sejati. Ia akan berbahagia di samping Sunan Ambu,
    hapuslah air matamu."
    Bagai angin sejuk, kata-kata ayahandanya
    meredakan gejolak dukacita Pangeran Muda. Hatinya
    menjadi lega karena sahabatnya tentu akan
    mendapatkan tempat yang lebih baik daripada di
    dunia ini. Walaupun demikian, kesayuan tetap . saja
    tidak meninggalkan hatinya. Seorang sahabat telah
    hilang, dan dengan kehilangan itu hidup Pangeran
    Muda mengalami perubahan. Hidupnya berubah
    sejak kematian Raden Jamu. Sedang setiap
    perubahan adalah kehilangan, kehilangan masa lalu
    yang tidak bisa dialami tanpa kesayuan dalam
    hatinya.
    Selagi Pangeran Muda termenung, isak dan jerit jadi
    ramai kembali. Api dinyalakan oleh para pendeta,
    bunga-bunga terakhir ditaburkan ke atas jenazah,
    lalu asap kayu samida yang wangi memenuhi udara.
    Tak lama kemudian api berkobar-kobar, dan
    sahabatnya yang terbaring itu pun lenyaplah di balik
    lidah-lidah api yang berwarna emas kemerah-
    merahan.
    BEBERAPA saat setelah upacara pembakaran itu,
    rombongan Pangeran Anggadipati telah berada
    dalam perjalanan pulang. Di depan rombongan,
    empat orang gulang-gulang dengan membawa panji-
    panji melarikan kuda mereka dengan kecepatan
    sedang. Demikian pula, di belakang Pangeran Muda
    dan Ayahanda, bergerak empat orang gulang-gulang
    di atas kuda masing-masing Di tengah-tengah,
    Pangeran Muda dan Ayahanda memegang kendali
    masing-masing sambil berdiam diri. Kematian
    Radenjamu yang masih anak-anak itu masih
    memukau Pangeran Muda dan ayahandanya.
    Setelah meninggalkan puri Uwanda Girilaya,
    ayahanda Raden Jamu yang malang, terbentanglah
    padang-padang terbuka. Di sana-sini tumbuh pohon
    di tengah-tengah padang-padang rumput, tempat
    beberapa gembala berjalan di tengah-tengah
    beratus-ratus domba dan kambing mereka. Sayup-
    sayup terdengar suara suling. Lepas padang-padang
    itu, terbentanglah perhumaan yang subur, dengan
    ranggon-ranggon tempat para petani mengawasi
    huma dan menghalau burung-burung atau memanah
    binatang-binatang hama. Setelah huma-huma ini,
    terbentanglah rimba yang membatasi wilayah
    kekuasaan Uwanda Girilaya dengan wilayah
    ayahanda Pangeran Anggadipati.
    Ketika rombongan mulai memasuki jalan di hutan
    itulah Pangeran Muda tidak dapat menahan isi
    hatinya, lalu bertanya kepada Ayahanda, "Ayahanda,
    kecelakaan apakah yang dialami Jamu di Padepokan
    itu?"
    Untuk beberapa lama ayahandanya tidak
    memberikan jawaban dan baru setelah menarik
    napas panjang, beliau berkata, "Barangkali engkau
    mendengar anakku, bahwa Jamu dikirim ke
    Padepokan Tajimalela untuk dididik menjadi
    puragabaya," ujar Pangeran Anggadipati.
    "Apakah puragabaya itu, Ayahanda?" tanya Pangeran
    Muda sebelum ayahandanya melanjutkan
    penjelasan.
    "Waktu kau kubawa menghadap sang Prabu di
    Pakuan, engkau melihat orang-orang yang
    berpakaian serbaputih yang duduk di belakang sang
    Prabu. Mereka itulah puragabaya," jawab
    ayahandanya.
    "Oh Kalau begitu,Jamu dididik untuk menjadi
    pendeta. Tapi mengapakah pendidikan itu sampai
    mencelakai Jamu?"
    "Anakku," ujar Ayahanda. 'Jamu tidak dididik untuk
    menjadi pendeta, tetapi untuk menjadi puragabaya.
    Memang, seorang puragabaya dididik dalam bidang
    agama seperti seorang pendeta, akan tetapi ia pun
    dididik menjadi prajurit yang tangguh. Dalam latihan
    keprajuritan inilah Jamu mendapatkan kecelakaan
    yang menyebabkan kematiannya."
    'Jadi, orang-orang yang berpakaian putih di belakang
    sang Prabu itu bukan pendeta, tapi prajurit-prajurit?"
    tanya Pangeran Muda pula.
    Pangeran Anggadipati - SERI KESATRIA HUTAN LARANGAN - Darah dan Cinta di Kota Medang
     
  2. cerita-silat

    cerita-silat Member

    Joined:
    Dec 7, 2014
    Messages:
    292
    Likes Received:
    6
    Trophy Points:
    18
    Google+:
Loading...
Similar Threads - Pangeran Anggadipati SERI
  1. cerita-silat
    Replies:
    1
    Views:
    1,007

Share This Page