Panji Tengkorak Darah - SD Liong

Discussion in 'Creative Art & Fine Art' started by cerita-silat, Dec 12, 2014.

  1. cerita-silat

    cerita-silat Member

    Joined:
    Dec 7, 2014
    Messages:
    292
    Likes Received:
    6
    Trophy Points:
    18
    Google+:
    Di bawah sinar rembulan yang menyinari lembah
    gunung Hun-tiong-san, sesosok tubuh terhuyung-
    huyung mendaki tebing jurang. Ia sudah kehabisan
    tenaga, tetapi tetap paksakan diri merayap ke
    puncak gunung. Mukanya berlumuran debu, pakaian
    compang-camping terkait karang tajam. Kaki dan
    tangannyapun penuh gurat-gurat darah dari duri
    semak-semak yang jahil.
    Namun pemuda yang usianya ditaksir baru 17 tahun
    itu rupanya seorang yang berhati keras. Dan
    agaknya ia tengah melaksanakan suatu tugas
    penting sehingga mengharuskannya berkejar-kejaran
    dengan waktu.
    Sekalipun dalam keadaan yang tak keruan,
    kepribadian pemuda itu tetap menonjol. Wajahnya
    cakap berseri, lengkung alis lebat yang menaungi
    sepasang bola matanya menambah kesemarakan
    yang sedap dipandang.
    Sinar matanya tajam jernih, mencerminkan perangai
    hatinya yang polos jujur.
    Entah apa yang tengah dikerjakannya itu
    Jerih payah pemuda itu akhirnya berhasil
    membuatnya tiba di hutan kuburan tak berapa jauh
    dari puncak gunung. Tiba-tiba matanya terbelalak
    ketika tertumbuk pada sehelai panji merah yang
    berkibar-kibar di atas puncak gunung Hun-tiong-san
    itu. Mata pemuda itu berkilat-kilat memancarkan api.
    Musuh besarnya sudah di depan mata.
    Menuntut balas
    Serasa bergolaklah darah pemuda itu, semangatnya
    menyala kembali. Dengan membusungkan dada
    segera ia memaksakan diri menerobos ke dalam
    hutan. Tiba-tiba ia berhenti, termangu-mangu….
    Di muka hutan itu tampak cahaya lampu berkilauan.
    Semula merupakan berpuluh-puluh sinar lentera
    sebesar tinju.
    Tetapi lama kelamaan berubah merupakan sebuah
    pintu gerbang berbentuk tengkorak. Di atas pintu
    gerbang itu memancar sederet lampu merah yang
    merupakan huruf Kui-bun-kwan atau pintu akhirat
    Pemuda itu menenangkan kegoncangan hatinya.
    Geramnya disertai tertawa hambar, "Setiap orang
    berkunjung ke pintu akhirat, di akhirat tentu tambah
    penghuni baru "
    “ Hm, “ ia mendengus seraya mencabut pedang
    yang terselip di belakang punggung, lalu melangkah
    lebar ke pintu gerbang itu.
    Pintu gerbang lentera itu ternyata berisi dua baris
    lentera hijau yang memanjnag ke dalam hutan.
    Rupanya diperuntukkan sebagai petunjuk jalan bagi
    para tamu.
    Dari gundukan kuburan yang menghias seluruh hutan
    tiu, samar-samar seperti tertutup kabut tebal
    sehingga makin menambah kerawanan hutan.
    Hanya bayang-bayang pohon yang tampak dan
    makin ke dalam makin suram
    tampaknya deretan lentera hijau itu.
    Pemuda itu sudah membulatkan tekad. Dengan
    membusungkan dada ia melangkah maju. Tiba-tiba
    ia dikejutkan oleh suara jeritan ngeri dari seorang
    yang tertusuk dadanya….. Betapapun ia tabahkan
    nyali, namun pada saat dan suasana seperti itu, mau
    tak mau berdirilah seluruh bulu kuduknya.
    Sesaat suara ngeri itu sirap, maka terdengarlah pula
    suara merintih seperti suasana penyiksaan dalam
    neraka.
    Dikobarkan lagi semangatnya. Sambil memanggul
    pedang, pemuda itu melangkah maju. Tetapi langkah
    kakinya sudah terhuyung-huyung, darah bergolak-
    golak dan pikirannyapun makin kusut. Pada saat ia
    tak kuat lagi mempertahankan diri, tiba-tiba ia
    mendengar suara nyanyian ayat suci menggema.
    Nyanyian yang seola-olah berkumandang segar
    dalam telinganya. Semangatnya kembali segar pula.
    Beberapa saat kemudian suara rintihan iblis itupun
    sirap….
    Ia mendongak memandang ke muka. Di antara
    selimut kabut, tampak 9 orang paderi berjubah
    merah tengah berdiri berjajar kira-kira bebrapa
    tombak jaraknya. Paderi tua yang memimpin
    rombongan tampak melantangkan komando untuk
    menghentikan nyanyian rombongannya.
    “O, kiranya sudah ada orang yang mendahului aku.
    Entah siapakah mereka itu?” pikir si pemuda.
    Tiba-tiba terdengar suara retak yang dahsyat dan
    sebuah makam besar tiba-tiba terbuka. Segulung
    asap memyembur keluar, menyusul muncul ah
    sesosok rangka manusia yang menyerupai mayat
    hidup. Rambutnya terurai ke bahu, wajahnya seram,
    mengenakan pakaian longgar warna putih. Ia
    tertawa meringkik seperti burung hantu berbunyi di
    tengah malam, kemudian berseru dalam nada tinggi,
    “ Ah, tak kecewalah lo-siansu menjadi paderi suci
    dari kuil Siau-lim-si sehingga dapat bertahan
    menerima ilmu Mo-in-kiu-coan ( Sembilan suara iblis )

    Ia mengangkat kedua tangan memberi hormat,
    katanya lebih lanjut, “Kami memang siap menanti
    kedatangan para tetamu. Silakan ikut”
    Pemuda tadi terkejut. Benarkah di dalam rombongan
    paderi itu terdapat ketua Siau-lim-si? Kalau benar,
    iblis pemilik panji tengkorak darah yang tersohor
    dengan julukan Hun-tiong-sin-mo ( Iblis sakti dari
    Hun-tiong-san) itu pasti hancur lebur
    Tak ragu lagi, iapun segera mengikuti rombongan
    paderi itu melangkah masuk. Kira-kira sepuluhan
    tombak jauhnya, mereka tiba di sebuah lapangan
    kosong yang luas. Lapangan ini tertutup oleh rumput
    halus dan diterangi oleh lampu yang terang-
    benderang. Jauh sekali bedanya dengan suasana
    makam di hutan tadi, apa yang merka hadapi ialah
    sebuah lapangan perayaan pesta
    Sekalipun begitu, tempat ini yang sekeliling empat
    penjuru ditumbuhi pohon-pohon tinggi itu tetap
    memberi kesan yang seram, karena seolah-olah
    seperti berada di sebuah daerah iblis dan hantu.
    Di sudut lapangan muncul ah dua rombongan orang
    yang wujudnya seperti orang yang menjadi penunuk
    jalan tadi.
    Rambutnya terurai ke bahu, berpakaian serba putih
    dan berwajah seram.
    Di belakang rombongan manusia-manusia seram itu
    muncul ah seoprang dalam pakaian warna hitam,
    mengenakan kerudung muka warna biru.
    Perawakannya langsing kecil. Perlahan-lahan ia
    ayunkan langkah dan berhenti di tengah lapangan. Di
    luar dugaan, di belakang orang berbaju hitam itu ikut
    seorang dara berbaju merah darah. Sikapnya lincah,
    parasnya secantik bidadari, wajah berseri sesegar
    bunga mekar di pagi hari…
    Namun pemuda tadi tidak terpengaruh oleh paras si
    dara. Darahnya tetap mendidih oleh api dendam
    kesumat. Diam-diam ia memaki, “Hun-tiong-sin-mo,
    malam ini adalah hari terakhirmu”
    Sekalipun begitu tak urung timbul juga rasa
    herannya. Konon kabarnya Hun-tiong-sin-mo itu
    seorang iblis ganas, seorang tua yang tiada sanak
    saudara. Mengapa ia membawa seorang dara?
    Siapakah dara itu?
    Sesaat kemudian terdengar paderi tua yang rupanya
    menjdai pemimpin rombongannya mengucap salam
    keagamaan, ujarnya,”Aku paderi Bu Ceng, bersama 8
    tianglo (paderi tua) dari kuil Siau-lim-si mohon
    bertemu dengan Jun Ih sicu”
    Orang berbaju hitam itu tertawa kecil, serunya,
    “Sungguh besar sekali peruntungan hari ini dapat
    menerima kunjungan para paderi suci dari Siau-limsi”
    “Apakah sicu ini Jun Ih-hui yang bergelar Hun-tiong-
    sin-mo?” penuh keheranan paderi Bu Ceng bertanya.
    “Begitulah, “ orang berbaju hitam tertawa.
    Pemuda tadipun terbeliak heran. Mengapa yang
    begitu kondang sebagai momok ganas, ternyata
    bertubuh demikian kecil dan mempunyai nada suara
    seperti wanita?
    Hun-tiong-sin-mo tertawa berderai-derai, ujarnya,
    “Berbahagialah aku malam ini karena bakal dapat
    menerima pelajaran dari ajaran guru agung Tat Mo
    yang mendirikan Siau-limsi. taysu adalah tetamuku,
    maka kupersilakan taysu mengatakan cara
    pertandingan yang taysu kehendaki”
    Bu Ceng merangkapkan kedua tangan, berseru
    nyaring, “Kedatangan kami kemari bukan bermaksud
    hendak mebgikat permusuhan dengan sicu.
    Melainkan hanya sekedar hendak memberi nasehat
    agar sicu kembali ke jalan yang suci, jangan tersesat
    dalam penghidupan yang berlumur darah. Ketahuilah
    bahwa hukum karma itu selalu menuntut….”
    Hun-tiong-sin-mo menukas dengan tertawa-tawa,
    “Kata-kata emas dari taysu akan kuukir dalam hati
    sanubari…” tiba-tiba ia merubah nadanya menjadi
    garang, “Tetapi sudah menjadi tradisi berpuluh tahun
    bahwa barang siapa yang masuk ke Gerbang Neraka
    sini tentu takkan keluar lagi. Karena taysu segan
    bertempur, maka silakan saja segera bunuh diri.
    Tentang jenazah taysu sekalian, nanti akan kusuruh
    orangku mengantarkan ke kuil Siau-lim-si”
    Selesai berkata, ia perlahan-lahan mengacungkan
    tangan ke atas. Dari lapisan kabut, muncul ah
    rombongan orang berpakaian putih. Setiap dua orang
    memanggul sebuah peti mati. Semua berjumlah 9
    buah peti mati. Peti-peti itu ditaruh di tengah
    lapangan.
    Berubahlah seketika wajah paderi Bu Ceng dan
    rombongannya. Hampir tak dapat Bu Ceng mengusai
    amarahnya, seketika ia berseru, “Jangan sicu terlalu
    mendesak padaku. Camkanlah, aku datang dengan
    itikad baik.”
    Hun-tiong-sin-mo melangkah maju tiga tindak,
    bentaknya,” Taysu segan turun tangan, enggan pula
    membunuh diri.
    Terpaksa aku harus bertindak”
    Diangkatnya tinju perlahan-lahan, siap hendak
    dipukulkan.
    Bu Ceng mengucap doa, kemudian menghela napas,
    “Karena sicu tetap tidak mau sadar, terpaksa aku
    hendak minta pengajaran barang 8 jurus.”
    Sin-mo menurunkan tinjunya dan tertawa, “Dalam 3
    jurus jika tak dapat mengambil jiwamu, aku akan
    bunuh diri.”
    Bu Ceng terkesiap. Di dunia persilatan, yang mampu
    bertahan 9 jurus serangannya hanya berjumlah
    sedikit. Tetapi kini Sin-mo telah membuka mulut
    akan mengammbil jiwanya dalam 3 jurus. Benar-
    benar ia tak habis mengerti…
    Ketua Siau-lim-si itu tersenyum lalu gerakkan tangan
    mendorong perlahan-lahan. Memang tampaknya tak
    bertenaga pukulan itu dilancarkan, tetapi hebatnya
    tiada tara.
    Itulah jurus Ngo-lui gui-san ( 5 petir membelah
    gunung) dari ilmu pukulan Tat-mo-ciang yang sakti.
    Angin bergemuruh laksana petir menyambar.
    Segulung tenaga dahsyat melanda .
    Iblis sakti itu tetap tegak berdiri di tempat,
    menyambut badai serangan. Heran, jangankan
    tubuhnya, bahkan pakaiannyapun tak berkibar oleh
    badai pukulan lawan. Seolah-olah gelombang tenaga
    lawan terbelah dua dan lalu di sampingnya…
    Serasa terbanglah semangat Bu Ceng menyaksikan
    keanehan itu. Tubuhnyapun menggigil. Hun-tiong-sin-
    mo tertawa mengejek. Tiba-tiba ia ulurkan tangan
    meutuk dengan sebuah jari. Cepat dan tepat sekali
    tutukan jari mengenai dada si paderi. Dan
    tergempurlah kuda-kuda Bu Ceng sehingga ia
    menyurut selangkah mundur. Segumpal darah segar
    menyembur dari mulutnya….
    Panji Tengkorak Darah - SD Liong
     
  2. cerita-silat

    cerita-silat Member

    Joined:
    Dec 7, 2014
    Messages:
    292
    Likes Received:
    6
    Trophy Points:
    18
    Google+:
Loading...
Similar Threads - Panji Tengkorak Darah
  1. cerita-silat
    Replies:
    0
    Views:
    1,373

Share This Page