PEDANG INTI ES - OKT

Discussion in 'Creative Art & Fine Art' started by cerita-silat, Dec 12, 2014.

  1. cerita-silat

    cerita-silat Member

    Joined:
    Dec 7, 2014
    Messages:
    292
    Likes Received:
    6
    Trophy Points:
    18
    Google+:
    Kisah Pedang Inti Es ini merupakan bagian dari serial
    kisah
    Pendekar Thian San, yang disadur oleh OKT.
    Akibat kekalahan yang dialami oleh Pendekar Koei
    Hoa Seng
    dalam suatu pibu, telah mendorong dia untuk
    meninggalkan
    Tionggoan merantau ke Tibet dan Nepal. Dalam
    perantauan
    itu, Koei Hoa Seng yang telah memiliki ilmu silat
    yang
    bersumber dari Tat-mo Pit-kip menghadapi berbagai
    intrik
    dalam mewujudkan keinginannya untuk menyunting
    si Gadis
    Baju Putih misterius.
    Ketertarikan dua anak manusia berlainan jenis
    tumbuh ketika
    mereka berjuang bersama untuk mendapatkan
    Kumala Inti Es
    di Kota Iblis yang ditakuti rakyat Tibet. Perjodohan
    yang
    melalui perjuangan berat akhirnya dapat diwujudkan
    setelah
    Koei Hoa Seng mampu mengalahkan saingan
    pemuda-pemuda
    dari berbagai negara lainnya.
    01.Pelancong Wilayah Tibet
    Bagaikan jarum lenyap dan kemudi hilang,
    Demikian gunung Koen Loen dibuat jeri.
    Tinggal di dalam guha, berdiam di dalam
    Gubuk sarang, apakah artinya itu semua?
    Dengan tongkat rotan hitam di tangan,
    Di puncak gunung Leng San menggedor pintu
    langit ...
    Seumpama seorang raksasa yang rebah berbantal
    bumi dan
    menyender kepada langit, demikian gunung Koen
    Loen San
    bercokol melintang di perbatasan kedua wilayah
    Sinkiang dan
    Tibet, dengan puncak-puncaknya yang sambung-
    bersambung
    seperti tak ujung pangkalnya seantero tahun tertutup
    salju yang
    putih-mulus, yang memutuskan hubungan daratan
    antara Tibet
    dan Tiongkok Asli. Itulah jalan yang tersohor sulit dan
    berbahaya, yang tak banyak orang melaluinya, baik
    dahulu
    maupun sekarang.
    Tetapi pada saat ini, kita melihat seorang pelancong
    telah
    melintasi gunung itu serta tengah memasuki wilayah
    Tibet.
    Ketika ia berpaling ke belakang, ia mendapatkannya
    gunung
    itu sudah ketinggalan jauh di sebelah belakangnya.
    Ia berdiam
    memandangi, lalu tanpa merasa ia bersiul panjang.
    Ia
    mengingatnya bagaimana selama dalam
    perjalanannya ini ia
    telah bernaung di dalam guha-guha atau di dalam
    gubuk-gubuk
    bagaikan sarang burung. Menghadapi sang angin, ia
    lalu
    bersenandung ………….
    Pelancong ini adalah seorang pemuda yang usianya
    baru
    duapuluh tahun lebih. Ialah Koei Hoa Seng,
    ciangbunyin atau
    ahliwaris, yang menggantikan menjadi pemimpin
    atau ketua,
    dari partai persilatan Boe Tong Pay cabang Utara. Ia
    pun
    adalah putera nomor dua dari Koei Tiong Beng, satu
    di antara
    Thian San Cit Kiam — Tujuh jago pedang dari Thian
    San. Ia
    dandan dengan sederhana akan tetapi dandanannya
    itu tak
    menutupi romannya yang gagah.
    Tengah memandangi gunung maha besar itu, tiba-
    tiba Koei
    Hoa Seng tertawa dan berkata dengan nyaring:
    „Kata-katanya
    Hoei Beng Siansoe memang bukan gertakan belaka
    untuk
    menakut-nakuti orang, akan tetapi kalau dibilang,
    dengan
    mendaki gunung Koen Loen San orang dapat dengan
    tongkatnya menggedor terbuka pintu langit, itulah
    berlebihlebihan"
    Memang, syair yang disenandungkan Hoa Seng ini
    adalah syair
    karyanya Hoei Beng Siansoe itu, yang dikarangnya di
    puncak
    gunung Koen Loen San ini. Hoei Beng adalah seorang
    pendeta
    yang menjadi pembangun dari partai persilatan Thian
    San Pay
    dan dia berkenamaan di jaman akhirnya kerajaan
    Beng atau
    permulaan dinasti Ceng.
    Koei Hoa Seng terdidik sempurna, ia ternama sejak
    usia muda.
    Di antara tiga saudara, dialah yang paling pandai.
    Akan tetapi
    beberapa tahun yang lalu, dalam sebuah gelanggang
    pertempuran, ia kena dirobohkan suami-isteri Tong
    Siauw Lan
    dan Phang Eng, yang menjadi ahliwaris turunan
    keempat dan
    Thian San Pay.
    Sebenarnya, karena ayah Hoa Seng tergolong dalam
    Thian San
    Cit Kiam, ia ada mempunyakan hubungan yang baik
    dengan
    Thian San Pay itu, akan tetapi ia tidak sanggup
    menelan
    kekalahannya ini dengan begitu saja, maka dengan
    menuruti
    ambekannya, ia lantas melakukan perjalanan,
    mendaki gununggunung,
    melayari sungai-sungai, maksudnya ialah mencari
    orang yang berilmu tinggi untuk meyakinkan ilmu
    silat terlebih
    jauh. Ia bercita-citakan mewarisi ilmu kepandaian
    yang
    istimewa untuk dapat membangun satu partai
    persilatan baru
    Kembali Hoa Seng menoleh, mengawasi gunung
    Koen Loen
    San itu, habis itu baru ia memutar tubuhnya, akan
    memandangi
    sebuah gunung lain, yang sekarang berada di
    sebelah
    depannya. Itulah gunung Nyenchin Dangla, yang
    tingginya
    dapat menyaingi gunung Koen Loen San. Sambil
    memandang,
    ia tertawa lebar.
    „Benarlah, sebuah gunung tinggi, masih ada lain
    gunung yang
    lebih tinggi pula" katanya seorang diri. „Ketika
    pertama kali
    aku tiba di Thian San, aku menganggapnya gunung
    Thian San
    itu gunung tinggi yang tak termendaki, akan tetapi
    sekarang
    aku melihatnya gunung Koen Loen San dan Nyenchin
    Dangla
    ini tak ada terlebih kate dari padanya ……… Katanya
    di
    perbatasan di antara Tibet dan Nepal ada sebuah
    gunung
    Himalaya ialah gunung yang paling tinggi di dalam
    dunia ini,
    maka itu benarlah itu pembilangan, di luar langit ada
    langit
    lainnya, di samping orang ada orang lainnya lagi,
    artinya, yang
    tinggi ada yang terlebih tinggi, yang pintar ada yang
    terlebih
    pintar. Di dalam Rimba Persilatan selama seratus
    tahun ini,
    umum mengenalnya ilmu pedang Thian San Kiam-
    hoat yang
    tak ada tandingannya, tetapi aku -- hm — tak aku
    mau
    mempercayainya Ketika dulu hari itu Hoei Beng
    Siansoe
    menciptakan ilmu pedangnya, katanya ia memilih
    dan
    mengumpulnya dari sarinya ilmu pedang pelbagai
    partai
    lainnya. Siapakah itu pelbagai partai lainnya?
    Termasukkah
    didalam situ partai atau partai-partai yang berada di
    dalam
    wilayah Tibet atau lain wilayah lagi di luar Tiongkok
    Asli?"
    Maka, memandangi gunung raksasa dihadapannya
    itu, pada
    otaknya Koei Hoa Seng terkilas suatu angan-angan
    yang luar
    biasa. Ia melamun untuk melintasi gurun pasir yang
    besar,
    guna mendaki gunung yang tinggi, guna menjelajah
    dunia, buat
    melihat daerah-daerah yang asing untuknya, supaya
    ia bisa
    mendapatkan suatu ilmu silat yang menyampaikan
    puncaknya
    kemahiran
    Tengah lamunannya itu, tiba-tiba kuping Hoa Seng
    menangkap
    suara terompet mengaung di udara, lama dan
    mengalun,
    suaranya serupa, nadanya sedih.
    Ketika itu sudah dekat magrib, sinar layung tengah
    bersorot,
    mega nampak merah bagaikan darah, maka juga, di
    waktu
    demikian terdengar suara aneh itu, walaupun dia
    bernyali
    besar, hati Hoa Seng tergetar juga, ia merasakan
    bulu romanya
    bagaikan bangun berdiri …….
    Mengikuti suara terompet itu, Hoa Seng membuka
    tindakannya. Sebentar kemudian, tibalah ia di mulut
    lembah
    yang terjepit gunung di kiri dan kanan. Di dalam
    lembah itulah
    tertampak rombongan orang Tibet dengan terompet
    mereka
    yang panjang. Mereka itu tengah mengarak-arak
    sebuah patung
    malaikat, yang berkepala tiga, setiap kepala patung
    itu
    warnanya putih, hitam dan merah.
    Orang-orang Tibet itu mengitari patung itu, mereka
    menari-nari
    sambil bernyanyi-nyanyi.
    Sebelum Koei Hoa Song me¬lakukan perjalanannya
    ke Tibet
    ini, pernah ia membalik-balik sejumlah kitab
    mengenai adatkebiasaan
    bangsa Tibet serta pernah juga mempelajari
    bahasanya dari beberapa pelancong ke Tibet, maka
    tahulah ia
    patung itu patung siapa. Itulah patungnya Chietupa,
    malaikat
    pelindung dari agama Lhama. Jikalau bukan di hari
    raya besar,
    atau ada permohonan apa-apa, tidak nanti patung
    malaikat itu
    dikeluarkan untuk diarak-arak.
    Memasang kupingnya untuk nyanyian orang-orang
    Tibet itu
    maka mengertilah Koei Hoa Seng yang mereka itu
    tengah
    menyanyikan lagu „Memanggil Roh," yang
    maksudnya kirakira:
    „Kami memohon Malaikat yang suci dan mulia, sudi
    apalah mengasihani orang-orang dari lain kampung,
    yang
    datangnya dari tempat jauh, supaya roh mereka
    dirampas
    pulang dari tangannya hantu-iblis, agar dengan
    demikian hati
    kami pun tenang-tenteram” Dan nyanyian itu diulangi
    dan
    diulangi terus-menerus.
    Hoa Seng terperanjat, ia lantas saja, berpikir.
    „Orang lain kampung? Itulah mesti orang asing …….”
    Demikian pikirnya.
    PEDANG INTI ES - OKT
     
  2. cerita-silat

    cerita-silat Member

    Joined:
    Dec 7, 2014
    Messages:
    292
    Likes Received:
    6
    Trophy Points:
    18
    Google+:
Loading...

Share This Page