Perkembangan Panahan di Indonesia

Discussion in 'General Discussion' started by hendrat, Jan 2, 2017.

  1. hendrat

    hendrat New Member

    Joined:
    May 11, 2016
    Messages:
    11
    Likes Received:
    0
    Trophy Points:
    1
    Sama halnya dengan perkembangan/sejarah panahan di dunia, demikian pula tidak seorangpun yang dapat memastikan sejak kapan manusia di Indonesia menggunakan panahan dan busur dalam kehidupannya.
    Tetapi apabila kita memperhatikan cerita-cerita wayang purwa misalnya, jelas bahwa sejarah panah dan busur di Indonesiapun telah cukup panjang, dan tokoh-tokoh pemanah seperti Arjuna, Sumantri, Ekalaya, Dipati Karno, Srikandi demikian pula Dorna sebagai Coach panahan terkenal dalam cerita Mahabharata.

    Kalau PON I kita pakai sebagai batasan waktu era kebangunan olahraga Nasional, maka Panahan telah ikut ambil bagian dalam era kebangunan Olahraga Nasional itu. Dalam sejarah PON, Panahan merupakan cabang yang selalu diperlombakan, walaupun secara resminya Persatuan Panahan Indonesia (Perpani) baru terbentuk pada tanggal 12 Juli 1953 di Yogyakarta atas prakarsa Sri Paku Alam VIII.

    Dan Kejuaraan Nasional yang pertama sebagai perlombaan yang terorganisir, baru diselenggarakan para tahun 1959 di Surabaya. Sri Paku Alam VIII selanjutnya menjabat sebagai Ketua Umum Perpani hampir duapuluh empat tahun dari tahun 1953 sampai tahun 1977. Kini beliau menjabat sebagai Ketua Kehormatan Perpani.

    Dengan terbentuknya Organisasi Induk Perpani, maka langkah pertama yang dilakukan adalah menjadi anggota FITA (Federation Internationale de Tir A L’arc). Organisasi Federasi Panahan Internasional yang berdiri sejak tahun 1931. Indonesia diterima sebagai anggota FITA pada tahun 1959 pada konggresnya di Oslo, Norwegia. Sejak saat itu Panahan di Indonesia maju pesat, walaupun pada tahun-tahun pertama kegiatan Panahan hanya terdapat di beberapa kota di pulau Jawa saja. Kini boleh dikatakan bahwa hampir di setiap penjuru tanah air, Panahan sudah mulai dikenal.

    Dengan diterimanya sebagai anggota FITA pada tahun 1959, maka pada waktu itu di Indonesia selain dikenal jenis Panahan tradisional dengan ciri-ciri menembak dengan gaya duduk dan instinctive, maka dikenal pula jenis ronde FITA yang merupakan jenis ronde Internasional, yang menggunakan alat-alat bantuan luar negeri yang lebih modern dengan gaya menembak berdiri.

    Dan dengan demikian terbuka pulalah kesempatan bagi pemanah Indonesia untuk mengambil bagian dalam pertandingan-pertandingan Internasional. Bersamaan dengan itu timbul masalah peralatan yang harus diatasi untuk bisa mengambil bagian dalam pertandingan Internasional, pemanah kita harus memiliki peralatan yang memadai, agar dapat berkompetisi dengan lawan-lawannya secara berimbang.

    Kenyataannya alat-alat ini sangat mahal harganya dan sulit di dapat. Hanya beberapa pemanah saja yang dapat membayar harga alat-alat tersebut. Keadaan ini merupakan faktor penghambat bagi perkembangan olahraga ini. Untuk mengatasi masalah ini, pada tahun 1963 Perpani menciptakan Ronde baru dengan nama Ronde Perpani.

    Pokok-pokok ketentuan pada perpani pada dasarnya sama dengan ronde FITA, kecuali tentang peralatannya yang dipakai dan jarak tembak disesuaikan dengan kemampuan peralatan yang dibuat di dalam negeri. Mengenai peralatan Ronde Perpani ini ditetapkan bahwa hanya busur dan panah yang dibuat dan dengan bahan dalam negeri yang boleh dipakai.

    Dengan ketentuan tadi dua hal yang hendak dicapai, pertama untuk pemasalan belum diperlukan peralatan yang mahal, yangg harus diimport, tetapi cukup alat-alat yang bisa dibuat di Indonesia. Kedua, Ronde Perpani mempunyai peranan untuk mempersiapkan pemanah-pemanah kita untuk bisa mengambil bagian dalam pertandingan Internasional, tanpa menunggu tersedianya alat yang harus dibeli dengan harga mahal.

    Bagi mereka yang terbukti berhasil membuktikan kemampuannya melalui ronde Perpani, diberi kesempatan memakai peralatan Internasional. Sedangkan Ronde Tradisional dengan ciri-ciri dilakukan dengan gaya duduk dan instinctive, sulit mengambil sumber pemanah langsung dari ronde Tradisional, karena perbedaan-perbedaan yang sifatnya prinsipil tadi.

    Kemudian dengan adanya tiga ronde panahan tersebut, Perpani mengatur waktu untuk kejuaraan nasional sebagai berikut : Setiap tahun genap diselenggarakan Kejuaraan Nasional untuk Ronde Perpani dan Ronde Tradisional, sedang pada tahun ganjil diselenggarakan Kejuaraan Nasional untuk ronde FITA. Kebijaksanaan ini adalah dalam hubungannya dengan ketentuan dari FITA yang menyelenggarakan Kejuaraan Dunia pada setiap tahun ganjil.

    Sehingga Kejuaraan Nasional Ronde FITA tersebut dimaksudkan untuk persiapkan dan memilih para pemanah Indonesia yang akan diterjunkan ke kejuaraan Dunia. Sedangkan pada PON diperlombakan ketiga ronde sekaligus. Sejak Konggres Perpani tahun 1981 bersamaan dengan PON X, pola kebijaksanaan Perpani dirubah, yaitu bahwa Kejuaraan Nasional diselenggarakan setiap tahun (kecuali tahun diselenggarakannya PON tidak ada Kejuaraan Nasional) dan diperlombakan ketiga ronde Panahan sekaligus yaitu Ronde FITA, Ronde Perpani dan Ronde Tradisional .

    Perlu dikemukakan disini bahwa sebelum tahun 1959 yaitu tahun diterimanya Perpani sebagai anggota FITA, pada PON – I tahun 1948 di Solo, PON II/1951 di Jakarta, PON – III/1953 di Medan, PON – IV/1957 di Makasar, panahan hanya memperlombakan Ronde Tradisional, yaitu ronde duduk, dengan hanya satu jarak 30 meter, dengan 48 tambahan @ 4 anak panah dan dengan sasaran bulatan dengan hanya dibagi tiga bagian saja.
     
  2. asmaraganteng

    asmaraganteng Member

    Joined:
    Jun 1, 2014
    Messages:
    47
    Likes Received:
    1
    Trophy Points:
    8
Loading...

Share This Page