Banyak Sumba memandang wajah Pangeran Anggadipati beberapa lama, hatinya terhenyak. Kebencian dan dendam yang disangkanya akan meluap dan mengguncangkan jiwanya, ternyata tidak dirasakannya. Hatinya kosong. Kalaupun ada perasaan, hanyalah perasaan duka- cita. Ia ragu- ragu dan tidak percaya, mana mungkin seorang kesatria yang begitu halus, yang dari wajahnya memancarkan sifat pendeta dan ketenteraman jiwa, dapat menjadi pembunuh keji seperti yang digambarkan oleh pembawa berita ke Kota Medang? Akan tetapi, hatinya berkata pula, justru siluman sering menempati hati orang yang tidak disangka-sangka. Dengan mempergunakan orang-orang yang tidak disangka- sangka seperti itu, siluman dapat menimpakan malapetaka yang sebesar-besarnya kepada manusia. Jadi, mengapa harus ragu- ragu? Banyak Sumba bermaksud mengeraskan hati, ia tidak mau lagi memandang wajah Pangeran Anggadipati. Ia memandang ulu hati puragabaya itu, ulu hati yang akan dijadikan sasaran pisau beracun yang ada di pinggangnya. Tetapi, matanya tertarik oleh Putra Mahkota. Banyak Sumba terpukau melihat wajah Putra Mahkota yang sangat bermuram durja itu. Di samping itu, tampak Putra Mahkota sangat pucat dan lemah. Teringatlah Banyak Sumba akan cerita orang-orang bahwa Putra Mahkota di samping mengelilingi kerajaan untuk menyampaikan belasungkawa kepada rakyat, beliau pun berpuasa. Beliau beriktikad mengunjungi seluruh kuil yang ada di kerajaan, seandainya hujan tidak turun juga. Melihat wajah Putra Mahkota yang sedang tersenyum dan melambai-lambaikan tangan, mendengar rakyat yang berseru- seru bahagia karena dapat melihat wajah.junjungannya, mencairlah tekad Banyak Sumba. Ia termenung dan terharu. Rasa kasih sayang meluap dari hatinya. Ia ragu-ragu sejenak. Tidak disadarinya, ia kemudian berseru-seru seperti rakyat yang lain, "Hidup Putra Mahkota Hidup Pajajaran" Dengan Jasik dan Arsim, Banyak Sumba bertemu di suatu tempat yang telah dijanjikan, yaitu di bawah benteng yang bersemak. Jasik dan Arsim sudah menumpuk jerami agar Banyak Sumba tidak akan cedera jika melompat dari atas benteng. Ternyata, Banyak Sumba tidak perlu turun melompati benteng. Ia datang menemui kedua orang panakawannya melalui pintu gerbang kota. Melihat kedatangannya tidak menurut rencana, kedua orang panakawan itu memandangnya penuh tanda tanya. "Saya menangguhkan rencana itu, Sik," kata Banyak Sumba dengan nada minta maaf. Panakawannya tidak berkata apa-apa, mereka tetap memandang kepadanya, seolah-olah meminta penjelasan. Banyak Sumba terdorong untuk berkata, "Saya tidak dapat melakukan pembunuhan selagi Putra Mahkota berada di sini. Sang Hiang Tunggal akan mengutukku, seandainya upacara suci dinodai dengan darah. Apa pula kata orang tentang keluargaku, seandainya sampai kulakukan pembunuhan yang keji itu," katanya. Mendengar penjelasan itu, kedua orang panakawannya tetap membisu. Arsim melihat ke langit, sementara Jasik menunduk, memerhatikan rerumputan. Sikap mereka itu dirasakan oleh Banyak Sumba sebagai sikap menyesali. Ia malu karena sebelumnya begitu panjang lebar menerangkan rencana pembunuhan itu. Di samping itu, betapa berkobar- kobar cara ia menerangkan rencana itu. Karena itu, Banyak Sumba terdorong untuk menambahkan penjelasan lagi. "Di samping itu," katanya, "saya tak sampai hati melakukan serangan secara licik, Sik, Kang Arsim, betapapun kejinya Anggadipati. Sebagai kesatria, kita harus menghadapinya secara kesatria. Saya malu oleh diri sendiri kalau harus Pertarungan Terakhir - KESATRIA HUTAN LARANGAN - Saini KM
selengkapnya lihat di http://cerita-silat.mywapblog.com/daftar-cerita-silat-terbaru-10-versi-ter.xhtml