Pusaka Tuak Setan eps 1

Discussion in 'Creative Art & Fine Art' started by cerita-silat, Dec 24, 2014.

  1. cerita-silat

    cerita-silat Member

    Joined:
    Dec 7, 2014
    Messages:
    292
    Likes Received:
    6
    Trophy Points:
    18
    Google+:
    SEEKOR kuda berlari dengan cepat melintasi
    pepohonan, menuruni lembah dan menuju ke satu
    arah tertentu. Kuda itu ditunggangi oleh seorang
    perempuan muda bersenjatakan cambuk di
    pinggangnya. Tetapi perempuan muda itu dalam
    keadaan lemas, sehingga sesekali tubuhnya nyaris
    terjungkal dari punggung kuda. Mata perempuan
    muda itu terpejam bagai tak mampu lagi untuk
    memandang ke arah depan. Bahkan ketika kudanya
    melewati jalan menurun, tubuh perempuan muda itu
    jatuh tertelungkup di belakang leher kuda.
    Sekujur tubuh perempuan muda itu ternyata
    memar membiru. Dari telapak kaki sampai bagian
    kepala seperti habis kejatuhan pohon besar. Bahkan
    pada bagian wajahnya sedikit tampak membengkak.
    Sebagian rambutnya pun ada yang rontok, dan
    rontokan helai rambutnya berjatuhan di sekitar
    pundak dan punggung.
    la tak mampu lagi mengendalikan kudanya. Tapi sang
    kuda ternyata sudah terbiasa melewati jalur
    perjalanan tersebut, sehingga tanpa kendali pun
    sudah mengerti arah yang dituju. Seolah-olah sang
    kuda mengetahui bahwa majikannya dalam keadaan
    luka dalam yang cukup berat dan perlu segera
    dibawa pulang ke perguruan.
    Itulah sebabnya begitu mendekati pintu gerbang
    perguruan yang bagian atasnya bertuliskan :
    "Perguruan Merpati Wingit", kuda itu memperlambat
    sendiri langkahnya. Dan tepat di depan pintu gerbang
    yang kokoh itu, sang kuda berhenti. Kedua penjaga
    pintu gerbang terperanjat dengan mata membelalak.
    Salah seorang berseru,
    "Murbawati...? Oh, kenapa dia?"
    "Kelihatannya terluka cukup berat"
    "Lekas antarkan dia menghadap Nyai Guru"
    Murbawati masih belum bisa bicara. Namun kedua
    penjaga pintu gerbang perguruan itu mengetahui
    bahwa Murbawati masih bernapas. Kudanya segera
    dituntun oleh salah satu dari kedua penjaga tersebut
    menuju ke sebuah tempat berbangunan joglo. Di
    sana, murid-murid Perguruan Merpati Wingit sedang
    berkumpul mendengarkan wejangan guru mereka.
    Seorang perempuan berwajah cantik, namun
    sebenarnya sudah cukup banyak usianya, sedang
    duduk di sebuah bangku berupa kotak sederhana.
    Perempuan itu mengenakan pakaian berbentuk jubah
    dengan warna kuning gading. Kain itu tipis, sehingga
    pakaian dalamnya yang berwarna biru tua itu terlihat
    membayang di balik jubah kuningnya.
    Rambutnya yang panjang sebatas pinggang
    dibiarkan lepas terurai ke depan, sebagian di dada kiri
    sebagian lagi di dada kanan, la mengenakan ikat
    kepala bukan dari kain, melainkan dari tali sutera
    yang berwarna merah, berbintik-bintik kuning emas.
    Tali sutera itu sedikit panjang sehingga sisa ikatannya
    jatuh berjuntai melewati pundak kanannya. Di tiap
    bagian ujung tali sutera itu mempunyai semacam
    logam berbentuk mata tombak kecil, berwarna putih
    berkilauan.
    Orang yang mengantarkan Murbawati berseru
    beberapa jarak sebelum sampai di tempat berkumpul
    itu.
    "Nyai Guru... Murbawati terluka"
    Perempuan berselubung kain jubah kuning gading itu
    segera bangkit, karena memang dia itulah yang
    disebut Nyai Guru Betari Ayu. Melihat Murbawati
    terkulai bagaikan celana basah di atas kuda, Nyai
    Guru Betari Ayu segera bangkit dengan mata
    terperanjat. Para murid yang sedang duduk bersila
    dengan rapi itu pun ikut bergegas bangkit, dan segera
    mengerumuni kuda tunggangan Murbawati.
    "Jangan dipakai buat tontonan" seru Betari Ayu.
    "Angkat dia dan bawa masuk dengan segera"
    Murbawati dibawa ke ruang yang khusus untuk
    penyembuhan. Di sana tubuh lunglai tak berdaya itu
    dibaringkan di atas sebuah pembaringan dari batu
    yang dilapisi kain tebal.
    "Tinggalkan kami" kata Betari Ayu kepada para
    penggotong tubuh Murbawati itu. Mereka pun patuh,
    segera pergi meninggalkan ruang penyembuhan. Kini
    yang ada di situ hanya Murbawati dan Betari Ayu.
    Dipandangi sekujur tubuh Murbawati dengan sorot
    pandangan mata yang menyimpan kemarahan. Gigi
    menggeletuk, mata pun menjadi menyipit.
    Betari Ayu menarik napas, menenangkan gemuruh di
    dalam dadanya yang terasa hampir meledak
    melihat orang utusannya terkapar dalam keadaan
    sedemikian menyedihkannya. Terucap gumam,
    mendalam dari sudut berbibir sedikit tebal namun
    tampak indah itu.
    "Keparat Ini pasti perbuatan Bidadari Jalang"
    Pintu kamar penyembuhan dibuka, Betari Ayu
    memanggil kedua murid kesayangannya, yaitu Dewi
    Murka dan Selendang Kubur. Dua perempuan yang
    mempunyai tinggi sejajar namun berwarna kulit beda
    itu segera masuk ke ruang penyembuhan. Wajah
    mereka juga memancarkan ketegangan dan
    kemarahan yang tertahan. Rasa iba melihat keadaan
    saudara seperguruan menderita seperti itu, membuat
    hati Dewi Murka tak sabar menanti tugas
    pembalasan.
    "Kalian tentunya tahu, apa yang membuat tubuh
    Murbawati membiru seperti itu" kata Betari Ayu tanpa
    memandang kedua muridnya.
    Dewi Murka menjawab, "Pasti pukulan beracun yang
    dinamakan pukulan 'Guntur Perkasa', milik Bidadari
    Jalang itu, Nyai Guru."
    "Benar Dan rupanya dia sudah campur tangan dalam
    urusan kita" ujar Betari Ayu dengan nada geram.
    "Nyai Guru," sela Selendang Kubur yang mengenakan
    pakaian merah dadu bak buah jambu
    yang ranum dengan pinggang dililit selendang putih.
    la berucap kata dengan sikap hormat kepada sang
    guru. Mata Betari Ayu pun segera beralih kepadanya.
    "Lanjutkan kata-katamu, Selendang Kubur"
    "Menurut dugaan saya, Guru..., Murbawati bukan
    terkena pukulan 'Guntur Perkasa' milik Bidadari
    Jalang."
    Dewi Murka menyahut, "Ah, tahu apa kau tentang
    pukulan itu? Hanya aku dan Guru yang mengetahui
    ciri pukulan itu"
    "Aku juga tahu tentang pukulan 'Guntur Perkasa'
    milik Bidadari Jalang itu, Dewi Aku pernah melihat ia
    menghantam musuhnya memakai pukulan tersebut.
    Tetapi, kali ini yang diterima Murbawati bukan
    pukulan 'Guntur Perkasa'."
    "Alasanmu?" sergah Betari Ayu.
    "Kalau saja Murbawati telah menderita pukulan
    'Guntur Perkasa' milik Bidadari Jalang, pasti saat ini
    tubuhnya sudah membusuk. Pukulan itu selain
    membuat tubuh lawan menjadi memar membiru,
    juga membuat tubuh lawan menjadi cepat
    membusuk.
    Bukankah tubuh Murbawati tidak membusuk sampai
    sekarang, Guru?"
    "Kurasa sebentar lagi" sahut Dewi Murka. Sikap dan
    wajahnya menampakkan seakan ia sangat tahu
    dalam hal ini.
    Betari Ayu melangkah ke bagian kepala Murbawati,
    memandangnya beberapa saat, kemudian berkata
    kepada kedua muridnya.
    "Kurasa benar apa katamu, Selendang Kubur"
    "Benar bagaimana, Guru?" sergah Dewi Murka.
    "Jika memang Murbawati terkena pukulan 'Guntur
    Perkasa' dari Bidadari Jalang, pasti saat ini tubuhnya
    menguarkan bau busuk. Pada bagian sudut matanya
    mengeluarkan cairan hitam yang baunya sangat
    menusuk hidung. Nyatanya, sudut mata Murbawati
    tidak melelehkan cairan hitam. Berarti ini bukan
    pukulan 'Guntur Perkasa' dari Bidadari Jalang."
    Dewi Murka merasa tidak bisa membantah lagi,
    karena semua keputusan gurunya tak berani
    disanggahnya. Dewi Murka yang berpakaian hitam
    dengan trisula di pinggang, hanya diam dan
    memandangi tubuh Murbawati.
    Sesaat berikutnya, barulah Dewi Murka bertanya,
    "Jadi, apa yang harus kami lakukan sekarang ini,
    Guru?"
    "Lupakan dulu tentang siapa penyerang
    Murbawati. Sekarang kalian berdua bantu aku
    menyalurkan hawa murni melalui telapak kaki
    Murbawati. Aku akan menyalurkan tenagaku melalui
    bagian dadanya. Dewi, di telapak kanan. Selendang
    Kubur, di telapak kiri. Jangan berhenti sebelum
    kulepaskan tanganku dari dada Murbawati."
    "Baik, Guru," jawab Selendang Kubur dengan sikap
    patuh.
    "Apakah pakaian Murbawati perlu dilepas
    semuanya, Guru?"
    "Hmmm..., sebagian saja, sebagian atasnya saja..."
    Di luar ruang penyembuhan itu, para murid
    Perguruan Merpati Wingit saling berkasak-kusuk
    membicarakan nasib Murbawati. Mereka saling
    menduga-duga, tapi tak satu pun mempunyai
    kepastian tentang siapa penyerang Murbawati
    sebenarnya. Mereka saling menggeram dendam,
    merasa marah melihat saudara seperguruan
    mengalami nasib begitu menyedihkan. Tetapi tak satu
    pun dari mereka yang berani ambil tindakan sendiri,
    sebelum ada keputusan dan perintah dari sang Guru
    yang mereka segani itu.
    Murbawati dikenal di lingkungan perguruan
    sebagai murid yang cekatan dan pandai
     
Loading...

Share This Page