Pusaka Tuak Setan eps 5

Discussion in 'Creative Art & Fine Art' started by cerita-silat, Dec 25, 2014.

  1. cerita-silat

    cerita-silat Member

    Joined:
    Dec 7, 2014
    Messages:
    292
    Likes Received:
    6
    Trophy Points:
    18
    Google+:
    udara satu kali. Kakinya menjejak pohon tempat
    menancapnya tongkat itu. Dengan satu sentakan
    keras dan
    bertenaga dalam, pohon itu dijejak dan menimbulkan
    bunyi bergemuruh. Daun-daunnya rontok sebagian.
    Tongkat yang menancap di bagian atas itu jadi
    melesat mundur dan jatuh di bawah pohon tempat si
    Gila Tuak tadi berdiri mengawasi latihan sang murid.
    Pluk... Tongkat itu jatuh tergeletak di rerumputan.
    Si Gila Tuak bergegas memungutnya. Namun, baru
    saja ia membungkuk untuk mengambil tongkat, tiba-
    tiba badannya bergerak mundur. Karena pada saat itu
    Suto menghentakkan jari tengahnya ke depan
    dengan satu hembusan napas kencang. Wuuus...
    Dan tiba-tiba tongkat itu bergerak-gerak, kemudian
    segera berubah menjadi seekor ular sanca.
    Si Gila Tuak melompat mundur karena kaget. Suto
    kembali tertawa terpingkal-pingkal. Ular sanca itu
    menatap si Gila Tuak, sejurus kemudian segera
    melesat menyambar kepala si Gila Tuak. Namun
    dengan cepat tangan si Gila Tuak menangkapnya.
    Hup... Kepala ular digenggam kuat, lalu tangan kanan
    si Gila Tuak menarik ular itu dari leher ke ekor, dan
    dengan satu tahanan napas, ternyata ular itu sudah
    berubah menjadi tongkat seperti sediakala.
    Suto masih tertawa. Kali ini ia duduk di
    rerumputan, meletakkan bumbungnya di samping,
    dan ia bertepuk tangan sambil berkata,
    "Bagus, bagus, bagus... Itu baru guruku namanya.
    Hebat..."
    Cepat tubuh tua berbalik menghadap Suto.
    Tongkatnya digenggam dengan tangan kanan, ujung
    bawahnya menyentuh tanah.
    "Rupanya kau telah menerima warisan ilmu sihir dari
    bibi gurumu; Bidadari Jalang itu"
    "Tinggal sebagian ilmu yang belum saya miliki dari Bibi
    Guru," kata Suto seraya menghentikan tawanya.
    "Kapan dia berjanji akan menyelesaikan
    penurunan ilmunya padamu?" tanya si Gila Tuak
    sambil mendekati Suto.
    "Bibi Guru tidak bilang pada saya, Kek. Bibi Guru
    hanya berkata, bahwa ia akan memenuhi janjinya,
    karena saya telah melakukan penyembuhan terhadap
    penyakit racun birahinya."
    "Apa kau percaya dengan omongan bibi gurumu itu?
    Dia sudah terbiasa bertindak curang, Suto."
    "Saya tahu kelemahan Bibi Guru, Kek. Akan saya buat
    dia bertekuk lutut di hadapan saya jika sampai dia
    membohong aku."
    Si Gila Tuak menggumam lirih, "Murid gila Bibi gurunya
    akan dibuat bertekuk lutut. Kurasa..., itu bisa saja
    terjadi, karena seluruh ilmuku telah kuturunkan
    kepadanya. Tinggal satu ilmu yang belum, yaitu
    'Candra Geni' yang dapat membakar lautan walau
    hanya dengan cara memandang saja. Tapi, perlukah
    ilmu itu kuturunkan kepada bocah sinting itu? Aku
    harus pertimbangkan masak-masak," ucap si Gila Tuak
    di dalam hatinya.
    Memang tinggal satu ilmu yang belum diturunkan oleh
    si Gila Tuak kepada murid tunggalnya, tapi bukan
    berarti si Gila Tuak merasa sayang untuk
    menurunkannya. Si Gila Tuak melihat Suto masih
    belum membutuhkan ilmu 'Candra Geni'. Dengan
    bekal ilmu lain yang diturunkannya kepada Suto,
    pemuda tanpa pusar itu sudah cukup mampu
    menghadapi bahaya apa pun. Apalagi sebagian ilmu
    Bidadari Jalang sudah diturunkan kepada Suto,
    pemuda tampan yang punya senyum memikat hati
    setiap perempuan itu tentu sudah lebih tangguh
    menghadapi musuh mana pun.
    Si Gila Tuak yang menentukan perjanjian tersebut,
    ketika Bidadari Jalang membutuhkan bantuan Suto
    untuk menghilangkan racun birahi dari dalam dirinya.
    Pada waktu itu si Gila Tuak berkata,
    "Boleh saja kau meminta bantuan bocah tanpa pusar
    itu, tapi kau harus memberinya upah kebijakan
    kepadanya. Aku tak rela kalau penyembuhan yang
    akan dilakukan oleh Suto terhadap dirimu nanti, justru
    akan membuatmu semakin gila-gilaan di rimba
    persilatan."
    "Aku tahu maksudmu, Sabawana," kata Bidadari
    Jalang dengan menyebut nama asli si Gila Tuak. "Aku
    sendiri sudah menyadari, bahwa kekuatan ilmuku
    yang kuanggap sangat ampuh ini ternyata masih bisa
    dilumpuhkan oleh ilmu lain. Racun birahi ini semakin
    membuatku kehilangan banyak tenaga dan ilmuku
    kian hilang satu persatu."
    "Jangan merasa lebih tinggi dari yang lain. Ada yang
    lebih tinggi dari yang tertinggi. Ingat-ingatlah hal
    itu, Nawang Tresni"
    "Ya. Aku ingat. Karenanya, setelah racun birahiku ini
    hilang, aku bermaksud mengasingkan diri dari rimba
    persilatan. Aku sudah terlalu lelah untuk melanglang
    buana lagi. Aku tidak akan turun di rimba persilatan
    jika tidak ada keperluan yang penting."
    "Aku mendukung rencanamu, Nawang Tresni."
    "Jika begitu, izinkan aku membawa bocah tanpa pusar
    itu ke Lembah Badai. Akan kudidik ia untuk
    pemusatan tenaga intinya, yang kelak bisa digunakan
    untuk melawan racun birahiku."
    "Kuizinkan kau membawa Suto, tapi tetap dalam
    pengawasanku. Sebab, kita sama-sama tahu, bocah
    itu semakin dewasa semakin kelihatan
    ketampanannya. Aku takut kau jatuh hati
    kepadanya."
    Bidadari Jalang tertawa mengikik. "Aku tak keberatan
    kau mengawasinya, karena memang aku sangat
    membutuhkan tenaga intinya."
    Begitulah akhirnya, Suto juga dididik oleh Bidadari
    Jalang, yang selama ini juga belum mempunyai murid,
    kecuali orang-orang suruhan, pelayan, dan beberapa
    anak buah yang dibekali jurus-jurus ringannya.
    Beberapa waktu lamanya Bidadari Jalang
    menggembleng bocah tanpa pusar itu dalam
    pengawasan Ki Sabawana yang berjuluk si Gila Tuak.
    Kadang-kadang mereka melatih Suto secara
    berbarengan, sehingga mereka menemukan jurus-
    jurus baru yang tercipta karena perpaduan dua jurus
    mereka itu.
    Bidadari Jalang kini telah terbebas dari racun birahi.
    Suto telah menyalurkan hawa murninya ke dalam diri
    Bidadari Jalang. Untuk melakukan
    penyembuhan itu, si Gila Tuak sengaja membuat
    mata Suto menjadi buta sementara dengan racun
    tuak simpanannya. Hal itu dilakukan oleh si Gila Tuak,
    supaya murid tunggalnya tidak tergoda pada saat
    melakukan penyembuhan terhadap diri Bidadari
    Jalang. Sebab, cara penyembuhan tersebut dilakukan
    dalam keadaan Bidadari Jalang melepas semua
    pakaiannya di dalam sebuah kamar.
    "Letakkan telapak tanganmu dua-duanya di
    punggungku, Suto," kata Bidadari Jalang waktu
    penyembuhan dulu. Suto melakukannya dengan
    sedikit gemetar, karena ia merasakan kelembutan
    kulit punggung Bidadari Jalang.
    "Jangan berpikiran yang bukan-bukan, Suto
    Pusatkan perhatianmu pada tenaga intimu.
    Keluarkan hawa murnimu melalui kedua telapak
    tanganmu itu," tuntun Bidadari Jalang.
    Suto melakukan hal itu. Tubuh Bidadari Jalang menjadi
    menggigil pada saat hawa murni Suto
    disalurkan ke dalam tubuhnya. Di dalam hati Bidadari
    Jalang berkata,
    "Besar sekali hawa murni yang keluar darinya? Oh,
    tubuhku begitu dingin, bagaikan disekap di dalam
    gunung es. Kalau saja ia mempunyai pusar, tidak
    akan sebesar ini kekuatan hawa murni dan tenaga
    intinya. Oh, luar biasa kekuatan bocah sinting ini...?"
    Bidadari Jalang tetap duduk bersila memunggungi
    Suto. Tubuhnya berjuang dengan keras menahan
    hawa dingin yang membekukan darah. Tubuh tanpa
    pakaian itu gemetar menggigil, namun tubuh Suto
    yang kala itu sudah berusia lima belas tahun jadi
    bermandikan keringat hingga mirip orang habis
    kehujanan.
    "Nah, sekarang lakukan di ulu hatiku. Tekan tanganmu
    seperti tadi. Lakukanlah, Suto" sambil Bidadari Jalang
    berbaring. Suto meraba bagian ulu
    hati Bidadari Jalang. Tiba-tiba perempuan itu memekik
    keras.
    "Hai, jangan yang itu yang kau pegang"
    "Oh, maaf. Maaf, Bibi... saya salah pegang"
    "Nakal kamu"
    Plakkk... Wajah Suto ditampar. Tapi Suto tetap
    tersenyum berkesan meringis, karena ia sadar bahwa
    yang dipegangnya tadi adalah gundukan dada yang
    sekal dan berujung kencang. Suto menahan geli, lalu
    segera kembali bersungguh-sungguh setelah menarik
    napas panjang-panjang.
    Sekarang, usianya sudah lebih dari tujuh belas tahun.
    Suto sudah menjadi pria tampan yang
    menggiurkan hati setiap wanita, walaupun ia sering
    bicara meracau karena pengaruh minuman tuaknya.
    Menurut si Gila Tuak, sudah waktunya Suto muncul di
    rimba persilatan sebagai pendekar pembela
    kebenaran. Tetapi karena sering diajak minum tuak
    oleh si Gila Tuak, maka Suto pun tumbuh sebagai
    pemuda yang sering mabuk, dan ke mana-mana
    selalu membawa tabung bambu yang disebut
    bumbung. Benda itu berukuran satu depa
    panjangnya. Besarnya sedikit lebih besar dari tongkat
    milik gurunya. Dalam genggaman tangan Suto,
    bumbung itu hanya sisa beberapa jari saja. Bumbung
    itu mempunya tali yang biasa diselempangkan di
    dada jika bumbung itu sedang dibawa di
    punggungnya.
    "Suto," kata si Gila Tuak setelah mereka selesai latihan
    tadi, "Ikutlah
     
Loading...

Share This Page