wiro sableng 01. Empat Berewok Dari Goa Sanggreng

Discussion in 'Creative Art & Fine Art' started by cerita-silat, Jan 1, 2015.

  1. cerita-silat

    cerita-silat Member

    Joined:
    Dec 7, 2014
    Messages:
    292
    Likes Received:
    6
    Trophy Points:
    18
    Google+:
    Cuplikan :

    ”Bagus...., bagus kau tidak menangkis seranganku
    dengan hantaman tenaga dalam
    Tak satu tenaga dalam yang bagaimana
    hebatnyapun yang sanggup memapaki tusuk
    kundai
    itu Wiro Eeee.... aku haus Hik.... ambilkan air buatku
    Wiro Cepat”
    ”Kalau haus jilat saja air keringat” kata murid yang
    lucu dan seperti kurang ingatan
    pula macam gurunya.
    Dan dasar Eyang Sinto Gendeng manusia aneh, dia
    sama sekali tidak marah
    mendengar gurau yang keliwatan dari muridnya itu,
    melainkan tertawa mengakak.
    Tiba-tiba tawanya lenyap. ”Air, Wiro Lekas” bentak
    perempuan itu.
    Sang murid berlalu juga dari tempat itu. Melangkah
    ke sebuah pondok kecil. Di
    bagian belakang pondok ini ada sebuha gentong
    berisi air putih dingin. Wiro mengambilnya
    segayung.
    Ketika dia melangkah kembali ke tempat tadi untuk
    memberikan air itu kepada
    gurunya maka didengarnya suara Eyang Sinto
    Gendeng menyanyi. Suaranya sama sekali
    tidak merdu. Namun kata-kata yang terjalin dalam
    nyanyian itu membuat Wiro Saksana
    menjadi heran dan bertanya-tanya dalam hati
    Pitulas taun wus katilar,
    Pucuking Gunung Gede isih panggah kaya biyen
    mulo,
    Langit isih tetep biru,
    Wulan lan suryo isih tetep mandeng lan kangen,
    Pitulas taun agawe kang tua tambah tua.
    Pitulas taun ndadekake bayi abang dadi pemuda
    kang gagah,
    Pitulas taun wektu perjanjian,
    Pitulas taun wiwitane perpisahan,
    Pitulas taun wekdaling pamales....
    Artinya: (Tujuh belas tahun telah berlalu.
    Puncak Gunung Gede masih tetap seperti dulu,
    Langit masih tetap biru,
    Bulan dan matahari masih berpandangan jauh dan
    rindu.
    Tujuh belas tahun membuat si tua tambah tua,
    Selama diam di puncak Gunung Gede itu bersama
    gurunya, walau bagaimanapun
    miring otak sang guru, namun baru hari itulah Wiro
    Saksana melihat dan mendengar Eyang
    Sinto Gendeng menyanyi. Kata-kata dalam
    nyanyian itu entah mengapa membuat Wiro jadi
    berdebar. Apakah maksud kata-kata nyanyian itu?
    Perasaan yang bagaimanakah yang tengah
    dicetuskan oleh gurunya karena Wiro melihat
    nenek-nenek itu menyanyi dengan penuh
    perasaan, dengan mata memandang jauh ke muka.
    Tujuh belas tahun membuat aku si tua
    bangka tambah tua. Kata-kata ini jelas ditujukan ke
    diri gurunya sendiri. Tapi pada siapakah
    ditujukan kalimat yang berbunyi: Tujuh belas tahun
    membuat seorang orok menjadi pemuda
    gagah, itu? Apakah ditujukan kepadanya? Berdebar
    hati Wiro Saksana. Kemudian kalimat-
    kalimat: Tujuh belas tahun ujung perpisahan....
    serta.... Tujuh belas tahun saat pembalasan....
    Apakah arti semua itu?
    Ketika Wiro Saksana memandang ke atas pada
    saat itu pula Eyang Sinto Gendeng
    melihat ke bawah. Dan mata yang tajam dari Wiro
    Saksana, meskipun cuma sekilas, namun
    masih dapat melihat pantulan air muka serta
    cahaya mata gurunya yang lain dari biasanya
    Air muka itu. Sinar mata itu menyembunyikan satu
    perasaan sedih Perasaan apakah yang
    menyemaki hati sang guru sebenarnya?

    Link pdf Download
     
Loading...

Share This Page